Episode 24

Family Completed 3810

"Pa," sapa Surti.

"Hmmm," perlahan kemudian Sokran merebahkan kepala dipangkuan Surti, hanya dalam hitungan detik desah si Surti kian kentara, jelas dan kian panjang terdengar.

Seperti kebiasaan pasutri lainnya. Entah apa yang telah mereka lakukan berdua.

Berulang hingga pagi menjelang. 

"Terima Kasih," bisik si Surti lirih.

Mungkin si Surti kelelahan, atau semacamnya, sehingga dia hanya mengenakan lengre transparan warna abu-abu muda, sehingga sang suami bebas menikmati pemandangan indah itu.

"Pa," sapaa lembut Surti kali ini salah diartikan oleh sang suami. Digendongnya si Surti, ditanggalkannya satu-satunya yang menempel pada si Surti. "Ah…sudahlah," pikirnya. si Sokran mengekspresikan kepiawaiannya menjelajah wilayah yang tahu begitu luas, hingga sang istri pun dibuatnya tak berdaya, entah untuk yang keberapa kali.

"Cukup,", bisik si Surti. Walau, selalu menikmati setiap jurus yang dipakai suaminya, namun pikiran si Surti mengembara, antara dirinya dan Arin yang kini tak tau dimana rimbanya. 

"Seperti ini, mungkin saat bersama Arin," katanya dalam hati saat merasakan getaran yang menggugah gairah kepramukaan. 

Sedangkan Sokran memang, bisa membuat istrinya menikmati, namun pikirannya terus tertuju kepada Arin, kadang sebagai anak yang dikasihinya, terkadang hadir dalam lamunan sebagai Arin dewasa yang ada di Bali waktu itu. Kadang juga bertanya dalam hatinya dimana keberadaan Arin saat ini.

Saat mereka berdua rehat sehabis meluapkan aksi dewasa, sebagai pasutri.

"Pa, kira-kira Arin dimana sekarang?" Tanya sang Istri.

"Gak Taulah Ma?" Jawab Sokran, kemudian meneguk kopi buatan sang Istri.

"Papa, sudah mencarinya?"

"Sudah,  bahkan sudah minta tolong sama temen-temen komunis," jawabnya dengan wajah tampak sangat kecewa.

"Perasaan mama sih kuat banget. Kalau Arin berada di Bali," 

"Papa, juga begitu,"

"Bagaimana kalau kita ke Bali, untuk beberapa waktu, tapi harus bawa mobil, biar bisa keliling,"

"Kapan kira-kira Mama punya waktu luang,"

"Sepertinya, dibulan-bulan ini bisa, ntar Mama ajak si Endut supir Mama saja,"

"Biar, si Endut berangkat sama istrinya, kita berangkat nanti kalau mereka sudah sampai di Bali, lagian apartemen yang Papa sewa ada tiga kamar,"

"Oke, nanti Mama ngomong sama mereka berdua,"

"Ndut, bilang sama temen-temen kalau kamu ada tugas luar, biar jadwalmu dirubah," pinta sang bos dalam telepon.

"Siap Bu,"

"O iya, jemput ibu di rumah sekarang,"

"Nggih Bu,"

Tak lama kemudian, ndut sudah di depan rumah bu Surti,namun dia menunggu di mobil.

****

"Kamu ikut suamimu ya, temani dia dalam perjalanan biar ada yang diajak ngobrol," pinta Bu Surti, sesaat berhenti, mata Surti tertuju pada leher Aisyah, kemudian bertanya: "Tuuh, lehermu kenapa?" 

Mendengar pertanyaan Bu Surti, Aisyah  tersenyum malu, dan merunduk.

"Mas Endut Bu, emang  nakal dia. O iya mas Endut dapat tugas kemana?" Tanya Aisyah penasaran.

"Ya, tanya tuh suamimu," kata Bu Surti sambil tersenyum, .menoleh ke arah si Embul.

"Begini lho sayang. Dinda tau kan kalau suami Dinda biar gak cakep-cakep amat, tapi bikin para wanita klepek-klepek jika, liat senyum suamimu. Lha Bu Surti gak mau kalau mas ini sampai gak bisa pulang, akibat kecantol mereka semua, begitu," kata si Endut sambil sesekali merapikan rambutnya.

"Terus, apa hubungannya dengan tugas yang diberikan ibu?" si Endut menggelengkan kepala sambil bilang: "gak ada,"  Mereka berdua tertawa melihat si Endut berlagak konyol seperti itu, bibir bawah dibiarkan ndower dan mata membelalak seperti itu.

"Serius dikit kenapa?"  Pinta Aisyah.

"Iya Dinda manis pujaan hati yang selalu ada dipelupuk mata, hingga akang gak sempat menoleh pada yang lain,"

"Stop…stop," pinta ibu sambil ketawa, kemudian melanjutkan: "Siapkan perabotan buat masak secukupnya saja, panci buat, penggorengan, piring dan sendok secukupnya saja, kalian berangkat, besok pagi subuh, atau besok sore terserak. Bawa mobil ibu saja," kata Bu Surti.

"Pastikan mobil siap pakai, surat lengkap,*

"Nggih Bu,"

****

Pagi itu, tiga sekawan jalan pagi. Saragih, Kotheo Pumakedi dan Arin berada di tengah.

"Sedikit,perlahan dong. Dedek sepertinya capek nich," kata Arin perlahan, melepas tangan dari gandengan tangan mereka berdua, dan Arin memegangi perutnya yang tampak besar.

Mereka berdua menghentikan langkah. Kotheo berlari menuju tempat duduk di taman kota, dan membersihkannya. Saragih menuntun ke tempat duduk, yang dibersihkan oleh Kotheo.

Ketulusan mereka berdua dalam mendampingi Arin sungguh patut diacungi jempol. Kata yang sering terngiang dalam pikiran Arin dari nasehat mereka berdua. "Sesedih apapun, seorang ibu yang sedang mengandung, harus dibuang jauh-jauh dan diganti dengan ketenangan dan kebahagiaan, karena Mempengaruhi bayi." Itulah sebabnya mereka berusaha membuat Arin tetap merasa nyaman dan membuat situasi nyaman.

"Terimakasih, buat kalian berdua, yang selalu membuat Arin tersenyum," kata Arin lirih, sambil menoleh kiri, kanan. Arin memang selalu diapit oleh Saragih dan Kotheo. Tak habis-habisnya bahan untuk membuat Arin selalu tersenyum.

"Sabar ya, sayang tinggal menunggu hari. Sebentar lagi dedek bisa menghirup udara segar,bisik Ko Teo sambil mengelus perut Arin. Si Bayi bergerak lincah, membuat Arin kesakitan.

"Perlahan dong tayank geraknya, Mama jadi kaget nich,"pinta Arin. Seakan jabang bayi itu mengerti apa yang diminta sang Mama. 

Pagi itu,mereka fokus kepada bayi yang ada dalam kandungan Arin. Bertiga mereka bercanda, bahagia. Seakan tak pernah ada masalah berat yang ada dalam diri mereka bertiga. 

"Yuk, cari yang hangat, itu ada dagang angsle, tunggu ya," kata Kotheo. Ia berlari kecil menuju dagang angsle yang mangkal di pinggir jalan itu. 

"Pak buatin angsle empat, tapi yang dua tolong dibawa ke sana ya pak," pinta Kotheo.

"Beres mas," jawab dagang angsle.

Sesampainya di depan Arin dan Saragih

"Pak, minta tolong bawakan juga semua macam jajan yang ada ya, masing-masing empat ya," pinta Kotheo. 

"Asik," kata Arin lirih sambil menikmati angsle. "Dedek sama Mama saja ya?" 

"Tenang saja dedek, porsinya dobel kok," saut Kotheo.

Seperti ini aktifitas pagi setiap hari mereka bertiga. Jalan-jalan pagi, bergantian karena banyak tempat buat jalan pagi. Terkadang membawa mobil ke taman kota di Renon yang tempatnya memang jauh dari apartemen mereka.

perlengkapan sang bayi semua sudah disiapkan oleh Kotheo, walau dia tau bahwa bayi itu bakal diberikan kepada ibu yang membiayai Arin, namun Kotheo tak mempedulikan, karena ujarnya bahwa dia menyiapkan untuk si jabang bayi, bukan menyiapkan orang yang bakal mengasuhnya.

**** 

"Hari ini Arin, harus kontrol," ujar Kotheo.

"Males, lagian Arin lagi males, pengen di rumah," pinta Arin, memohon sedikit memelas.

"Ya sudah, gak perlu sampai seperti itu,"

"Arin pengen apa?" kata Saragih sambil memberikan jus alpukat permintaannya. Arin tersenyum. Diteguknya jus alpukat. "Enak bingit, sayang kurang susu, sedikiiiit," kata Arin, bermaksud minta  tambah

"Siap, tuan putri," jawab si Saragi.

Sementara itu, disisi lain.

Aisyah dan si Endut sudah sampai di Apartemen.

Terdengar ketukan pintu, Kotheo membuka pintu.

"Permisi pak, numpang tanya, apa alamat ini benar di sini,saya mengikuti map kok berhenti pas disini," tanya si Endut. Kotheo membaca alamat yang diberikan Endut.

"Ya, memang kalau pakai map selalu diarahkan kesini, tapi kalau alamat ini yang bapak cari, ada di depan jalan itu pak, nah itu ada mobil putih yang baru saja parkir, itu alamat yang bapak cari,"

"Kalau begitu maaf pak sudah mengganggu,"

"Gak apa pak," jawab Saragih.

"Terimakasih, kalau begitu saya pamit,"

Tak berapa lama Arin keluar.

"Ada siapa Bang?"

"Enggak, ada orang salah alamat. Sepertinya yang dicari apartemen sebelah,"

"Kok suaranya, seperti si Endut," pikir Arin.

Arin duduk di teras sambil menikmati jus Alpukat. Tiba-tiba jantung Arin terasa mau copot, ketika matanya tertuju pada moncong mobil yang dikenalnya. Arin bergegas masuk, menemui Saragih. 

"Bang, minta tolong, coba liatin nomor plat mobil warna putih gading itu," pinta Arin

"Mobil putih yang mana?"

Arin menuntun Saragih menunjuk ke mobil yang sama-sama warna putih.

"Itu yang nomor dua," jawab Arin. Saragih memberitahukan bahwa, sopir mobil itu baru menanyakan alamat. Saragih keluar dan melihat plat nomor kendaraan. Tak lama dia memberitahukan pada Arin.

"Hmmm, ciri-ciri gimana orang tadi?"

"Gendut, tampangnya sedikit lucu," jelas Saragih

"Tepat sekali, itu sopir dari bosku,"

"Darimana dia tau alamat itu, apa mbak Arin pernah cerita ke teman- teman, kalau mbak di apartemen ini?"

Sambil bergegas masuk, Arin menggelengkan kepala.

"Untuk sementara mbak Arin gak perlu keluar," pinta Saragih Mendengar apa yang dikatakan Saragih, Kotheo bertanya, "emang kenapa dia gak boleh keluar untuk sementara waktu?"

-Bersambung-

 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience