Episode 17

Family Completed 3810

Hari pertama Arin bekerja di depan laptop. Kerjaan baru suasana baru.  yang masih dirahasiakannya. Yang pasti dia bisa mengerjakan di rumah, dengan gaji sesuai pendidikan terakhirnya. 

"Selamat pagi mbak, aiiis laptop baru ya?". Sapa si Gendut. Arin hanya tersenyum sambil melihat ke sumber suara itu.

"Iya mas, selamat pagi juga. Sudah mau berangkat kerja?".

"Iya mbak, terimakasih buat pertolongannya." Kata ini terus setiap kali bicara sama Arin.

"He,mas. Kesini sebentar tak bisikin." Kata Arin si Gendut pun menghampiri Arin dan merunduk.

"Ini, kali terakhir Arin dengar kata ucapan terima kasihnya. Okey?!".

"Okey. Terimakasih… e lupa." Katanya sambil nyengir-nyengir.

"Yo wis. TTDJ. Mas.. ntar pulangnya bawakan Arin Tahu campur dua porsi super pedas dan tiga porsi sambal di pisah, ini uangnya." Kata Arin.

"Mbak selembar saja dah cukup." Kapa si Gendut.

"Ya sudah bawa saja,barangkali kurang, atau mungkin Arin titip sesuatu yang lain."

Tak lama kemudian si Aisyah keluar sehabis menjemur pakaian yang baru saja dicuci.

"Mbak, hari ini pengen dimasakin apa?.

 Ini saya mau belanja." Kata Aisyiah.

"Wah sudah selesai semua pekerjaan ya?". 

"Iya mbak, makin cepat dan irit tenaga, karena dirumah ini serba ada alat lengkap. Nyuci seabrek-abrek juga gak sampai setengah jam sudah kelar. Biasanya tangan saya sampai ngilu baru selesai.".

"Buat Arin pribadi sih apa saja yang penting ada pedes-pedesnya. O iya habis masak nanti kita rujakan seperti biasa ya?".

"Siap mbak." Jawab Aisyah.

Kehadiran keluarga si Gendut memang membuat Arin gak pernah merasa sepi, dan Arin gak pernah merasa kesepian, seperti beberapa waktu yang lalu. Walaupun wajahnya sedikit pucat, tapi itu bukan karena pikiran, melainkan lagi ngidam. Namun belum ada seorangpun yang mengetahuinya.

Sebenarnya Aisyah, sudah merasakan hal itu, terlebih sepuluh hari terakhir ini Aisyah bersama Arin, namun Aisyah tak berani membahas soal itu, terlebih pada sang suami.

kembali kita melihat keberadaan Mat Sukran dengan Siska yang berada di Bali tepatnya di villa tempat mereka menginap. sampai siang itu sang Owner masih tidur dipangkuan Siska,  sang Owner terbangun saat Siska mencium keningnya. dan ketika dilihatnya sudah membuka mata, Siska berkata:”pak, sebentar ya, Siska kebelet pipis.” Bisiknya sambil tersenyum. diangkatnya kepala sang Owner dipindah dari pangkuannya dan diganti dengan bantal, lalu si Siska berlari kecil menuju kamar kecil. tak lama kemudian si Siska sudah berada disisi sang Owner, dan mengembalikan kepala sang Owner  di pangkuannya, walau dia sudah terbangun. 

mata sang Owner tertuju pada pusar si Siska yang terpasang anting. hal itu terlihat jelas karena sejak semalam si Siska memakai jean gemes dan memakai tanktop ketat diatas pusar.

“berarti sejak semalam dirimu belum ganti ya say?”. Tanya Mat Sokran sang Owner. Siska manggut-manggut dan balik bertanya. “Kenapa boss?”.

“Enggak… …cuman.” jawabnya tersenyum

“Cuma apa?”. Desak Siska.

“Mangkanya kok bapak lelap banget tidur bahkan sampai hari sudah siang begini.” lalu tertawa ngakak. mendengar jawaban si bos dia mengerti apa yang dimaksud. untuk menutupi rasa malu siska menjawab dan membisikkan di telinga sang Owner.

“di balik hutan rimba yang lebat itu mengeluarkan aroma yang memabukkan bapak, terlebih segelnya baru terbuka, jadi lewat lorong sempit dan terhimpit, aroma itu perlahan keluar dan bikin mabok.” mereka berdua tertawa sampai terpingkal-pingkal.

Dua hari bersama Siska, terasa bebannya sedikit hilang, namun Siska tau bahwa sang Owner dalam menghadapi masalah besar, namun. dia berusaha untuk menutupi dan menyembunyikannya.

“Sis.”

“Apa.”

“Gak jadi ah.”

“Mau dibukain tha?”. siska berdiri dihadapan si sokran sambil membuka kancing celana gemesnya. kemudian menyodorkan kepalan tangannya; “Hmmm.” Sambil melotot.

“Kali ini aku serius. tolong jadikan bapak ini sahabat karibmu.”

“Maksud bapak.” kembali Siska duduk, persis di kepala sang Owner yang lagi berbaring di pinggir tempat tidur.

“jadilah sahabat karibku.”

“Terus selama ini siska sebagai apa di mata bapak?”. sang Owner bangun dan duduk di pinggir spring bed itu.

“Jangan banyak mengajukan pertanyaan, katakan saja iya, atau tidak.” melihat pria yang berada disampingnya itu benar-benar tertekan dan membawa beban yang cukup berat, Siska langsung duduk di pangkuannya  dan menjepit pinggang mantan sang Ownernya dengan kaki kiri dan kanan kemudian merangkul dengan kedua tangannya, lalu berkata. “Percayalah Siska akan menjadi teman setia seperti yang bos inginkan.” Kata siska lembut dan menyibakkan rambut sang bos keatas lalu mencubit hidung panjangnya dengan gemas.

“Terima kasih.” Kata si Sokran.

“okey Sam sekarang rencana kita apa?”

“kok Sam.” Protesnya.

“Sam itu panggilan mesra yang artinya “mas” begihtzu mas bro.”

“Okey terserah Siska saja.”

"Aku masih ingin berbaring dan." Sengaja tak meneruskan, langsung merebahkan diri di samping Siska.

"Sebentar Siska mau ganti dulu."

"Gak usah,aku sudah terbiasa dengan aroma itu."  Dicubitnya hidung Sokran gemas.

"Aduh." Siska melepaskan cubitannya.

"Sis."

"Apa."

"Gak jadi dah." Kemudian memejamkan matanya. Dipandanginya lelaki ganteng yang merebahkan kepala di pangkuannya itu dengan rasa iba.

"Bapak sudah mengenal aku, melebihi aku mengenal bapak. Jadi ceritakan walau itu sangat berat seperti ketika Siska mau menyerahkan kehormatan Siska dulu kepada bapak." Saat Siska Mengatakan itu air mata Siska menetes dan jatuh ke wajah si Sokran.

"Maafkan bapak." Pintanya. Namun ia tetap memejamkan matanya.

"Bukan kata maaf yang Siska minta. Namun mari kita berbagi kesedihan yang ada saat ini. Meski Siska tak mahir mencari jalan keluarnya, namun setidaknya." Siska tak melanjutkan, dan diam.

Lama mereka berdua diam membisu. Hingga waktu yang lama.

…………

Sementara itu dalam waktu yang sama.

Tiba-tiba Arin teringat pada seseorang, dimana dia telah merelakan kehormatannya malam itu. Tapi secepatnya dia usir dari ingatannya dan kembali meneruskan pekerjaannya.

"Mbak, sudah malam. Istirahat dulu, besok kerja lagi." Kata Aisyah yang sedari tadi duduk di sampingnya.

"Iya, kurang sedikit lagi." Jawab Arin tersenyum dan menatap Aisyah.

"Mbak Arin sudah tiga hari gak maem sama sekali lho. Yuk maem dulu. Aisyah masakin kesukaan mbak. Pepes pindang pedas bumbu asam manis dan sup makaroni serta perkedel kentang banyak daun seledrinya."

"Sebentar mbak nanggung, kurang sedikit lagi,tapi temenin Arin maem ya." Pinta Arin

Aisyah mengangguk. 

"Aisyah angetin sayur dulu ya?".

"Gak usah nasinya kan sudah panas." Jawab Arin.

"Ternyata kejadian itu sangat menyakitkan." Pikirnya dan air mata kembali menetes di pipi Arin. Segera ia berpura-pura mengambil sesuatu di bawah, namun ia menyeka air mata itu. Berharap Aisyah tak melihatnya. 

Aisyah memasang tak tau penyebab kesedihan yang dirasakan Arin. Namun entah kenapa hati Aisyah ikut tercabik-cabik melihat Arin bersikap seperti ini. Sebagai wanita seakan,merasakan kesedihan yang mendalam. Air mata Aisyah Pun menetes deras. Dan ia bergegas masuk ke kamar. Ditutupnya mulut Aisyah, agar Arin tak mendengar tangis kesedihan, ketika melihat kesedihan Arin walau tak terucap namun dia merasakan kepedihan itu. 

Setelah beberapa waktu,Aisyah membasuh muka, melihat dimuka cermin berharap bekas tangisnya tak terlihat oleh Arin. Kemudian kembali mendekatinya.

"Sudah selesai mbak. Hmmm… sepertinya pekerjaan yang mengasyikkan, sampai-sampai mbak Arin lupa makan. Ayo lah masak gak bisa ditinggal walau sejenak. Biar ada tenaga untuk melanjutkan ke asikannya itu."

"Iya yuk… Arin juga sudah terasa lapar ini." Jawab Arin. Ketika berada di meja makan, Aisyah menceritakan pahitnya. Dengan harapan Arin pun bisa terbuka padanya.

"Waktu, anak kami satu-satunya divonis dokter mengalami gagal ginjal. Kami tak tau harus mencari biaya rumah sakit kemana. Kami tahu bahwa Bu Surti adalah majikan yang paling peduli dengan semua karyawannya. Tapi kami tak berani pinjam uang kepadanya, di samping terlalu banyak, apa yang kami pakai untuk membayar hutang itu. Karena sudah tak ada jalan akhirnya kami memutuskan untuk menjual rumah satu-satunya peninggalan orang tua. Itu Pun habis untuk biaya rumah sakit selama hampir 2 tahun. Kemudian mas John menawarkan kami sejumlah uang, dan entah berapa kali sampai terakhir ketika anak kami dipanggil Tuhan mas John lah yang menolong kami." Aisyah berhenti bercerita. Karena dia merasa telah menghabiskan waktu Arin untuk mendengar ceritanya.

"Terus." Tanya Arin.

"Ah, jadi gak enak. Kok acara makan malah curhat." Kata Aisyah.

"Lanjutin donk mbak."

"Ya sudah mbak Arin tambah lagi, itu pepes pindangnya dihabisin. Didalam masih ada kok mbak." 

Terdengar mobil parkir di halaman.

"Suamiku sudah datang itu suara mobilnya."

Aisyah berdiri lalu pergi kedepan untuk menyambut sang suami.

"E….. ibu tho, tak kira suami Aisyah yang datang. Ayo Bu sekalian kita makan malam bareng." Kata Aisyah.

"Iya, ibu numpang suamimu. Kebetulan ibu juga pengen ikutan ngerumpi bareng malam ini. Oo iya masak apa, ibu juga lapar banget ini. Boleh ikutan kan?"

"Monggo Aisyah masak pepes pindang asam manis tapi level 20 pedasnya." Jawab Aisyah.

"Wah…kok Yo tau kalau ibu paling suka dengan pepes pindang asem manis pedas Yo?... Jangan-jangan si Endut yang kasih tau ya." Kata si Surti membuka pembicaraan agar gak ada jarak diantara mereka. Mendengar jawaban ibu. si Gendut langsung mengumbar semua perbendaharaan kocaknya biar semalam suntuk mereka pada tertawa.

Melihat ibu angkatnya sering ke rumahnya. Pikiran Arin mulai menduga: "Jangan-jangan bapak sudah menceritakan semua tentang selama seminggu di villa itu" Pikirnya. Arin jadi sedikit bingung. Walau dia sudah berusaha mengatasinya. "Apakah sebaiknya kuceritakan semua pada ibu, kemudian aku pergi jauh saja." Pikirnya dalam kekalutan itu.

"Mungkin lebih baik aku segera menjauh saja daripada ibu tau sebelum dedek lahir."

Nampaknya keputusan untuk menyendiri  dan memberikan kabar saat menjelang kelahiran sang buah hati, adalah final. Hanya saja menunggu waktu yang tepat.

“Malam ini bobo disini nemenin Arin ya bu, kalau perlu besok kita bertiga rame-rame bikin rujak bareng.” Pinta Arin sebelum sang ibu meminta untuk menginap  disini pikir Arin.

mendengar permintaan si Arin, si gendut pun berlari dan bersimpuh di depan sang majikan serta berkata :”Sungkem sama ibu, hamba juga memohon kepada paduki berkenan untuk menginap disini, besok kita bikin rujak bareng bareng. jangan kuatirkan soal dana.” Kata si endut.

“Apa itu paduki, ndut.” Tanya ibu gak bisa nahan tertawanya, karna ulah si endut karyawan Mattia collection satu ini.

“lah… paduka. kan buat sang Tuan, kalau buat tuin kan paduki.. ya kan mbak Arin?”.

“Ya…ya…ya.. Tuan dan tuin, paduka dan paduki. ndut tolong belikan ibu cabe merah keriting di Atambua, kalau kurang jauh nblikan di Timika ya biar agak lama nyampe nya disini.” Kata bu Surti.

“Ampun bu, di pasar depan juga ada, atau di kebun belakang masih cukup banyak kok, gak perlu jauh-jauh beli cabe sampai ke Timika.” Jawab si Endut, sambil tertawa.

“Habisnya, kamu selalu bikin ibu tertawa, sampai gigi ibu kering nich lihat.”

“Jujur mas  ndut, candaanmu bikin stres ku hilang. kalau saja Arin gak lagi mengemban tugas berat. Arin gak mau tinggalkan tempat ini.” Kata Arin dalam hati.

“iya… iya ndut, karena besok libur makanya ibu nginapdisini, sudah bangun jangan kayak anak kecil minta dibelikan mamanya mainan begitu, bangun sendiri, ibu gak kuat 1oll loopngangkat kamu.” candaan itu mengalahkan suara binatang malam yang tiap hari mulai petang menguasai waktu, tapi tidak terkhusus malam ini, terusir oleh gelak tawa di keluarga ini.

“Mas bro, ibu bisa minta tolong, pasti bisa kan?”

“Siap bis!!!”

“Wis kumat!”

“Siap Bos, sudah sembuh kok.” Katanya sambil nahan ketawa.

“Tolong pinjam tangannya, sebentar saja.”

“Siap laksanakan.”

“Tolong cubit bibirmu yang agak ndower itu.”

“Siap bos…eee… tapi jangan bos, nanti kalau nangis gak ada yang kuat gendong bis..e.. bos.” Jawab si endut kemudian menutupi mulutnya. melihat majikan dan anak buah bercanda lepas, Arin dan Aisyah tertawa, terkadang sampai cekikikan. sungguh merupakan pemandangan baru yang tak pernah dilihat sepanjang hidup Aisyah. biasanya, anak buah selalu menunduk kepada sang majikan, tapi kali ini benar-benar berbeda.

…………………………..Bersambung

  

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience