Episode 19

Family Completed 3810

"Wok, besok kita otw. Bapak kasihan sudah menyita waktumu sekian lama." Kata Mat Sokran sambil menggendongnya menuju kamar. Kemudian membaringkan Siska perlahan.

"Terimakasih sudah menemani bapak selama  dua Minggu ini, terimakasih sudah membantu bapak mengusir beban berat yang selama ini menghimpit batin ini." 

"Boleh Siska urun rembuk barang kali bermanfaat."

"Hmmm."

"Ya wis kalau gak berkenan. Siska cuman bilang. Masalah itu bukan untuk di hindari melainkan dicari sumber permasalahannya kalau sudah mendapatkan dicarikan jalan keluarnya. Itu yang Siska ingat dari nasehat bapak.  Sampai saat ini masih mengiang terus dalam pikiran Siska hingga detik ini."  

Siska mengulangi apa yang pernah dinasehatkan olehnya, dan kini dikembalikan dan balik menasehati dirinya. "Benar apa yang kau katakan itu wok, tapi haruskan aku mengatakan semua kepadamu?" Batin si Sokran kembali tercabik-cabik jika mengingat peristiwa yang dia lakukan kepada Arin.

Memang, disatu sisi meringankan beban berat yang diberikan sang istri kepada Arin. Sekaligus merenggut kehormatan anak angkat yang selama ini dijaganya. Tapi keputusan yang telah dia ambil sudah gak mungkin lagi dikembalikan seperti semula. Nasi telah menjadi bubur. Mat Sokroan kini tinggal menyesal, dan tak tau harus berbuat apa. Karena penyesalan dan kata maaf bukanlah jalan keluar.

"Wok." Panggilnya lirih. Saat Siska mendekati dan merangkul sahabat yang tidak lain adalah mantan sang bos yang pernah digandrunginya.

"Ya." Didekapnya dan dua gunung indah menjadi tumpuan wajah sahabat barunya.

"Sebelum kita balik melakukan aktifitas, mending ungkap semua pada Siska, walau mungkin tak memberikan jalan keluar, tapi setidaknya beban itu akan menjadi ringan" Kata Siska tulus terdengar. Kemudian si Sokran melepaskan pelukan Siska perlahan. Siska kemudian duduk bersila di bawah Sokran yang sedari tadi duduk di sofa kamar villa itu. Mereka berdua saling berpandangan.

Mas ganteng berwajah tampan, berwibawa, penuh karisma. Memiliki suara menyejukkan hati, sekaligus membuat orang tak mampu berdiri, mendengar suaranya kala melakukan kesalahan. Karena wibawanya itu.

Tapi kini lunglai, tanpa daya dengan masalah berat yang dihadapinya. Setidaknya dalam ukurannya dan pendapat pribadinya.

"Oke, aku percaya Siska bakal mampu menyimpan, apa yang bakal bapak ceritakan padamu.". Siska gak berkata dan menjawab sepatah katapun. Dalam hati ya berkata. "Seperti jantungku yang tak terlihat siapapun, demikian juga Siska akan menjaga rahasia yang bapak sampaikan pada Siska." 

Kemudian Siska berkata:

"Semoga bapak percaya dengan Siska.". Katanya perlahan. Sokran menceritakan dari awal, mulai dari rencana sang istri ingin berlibur bertiga untuk menghibur Arin yang baru sembuh dari kecelakaan, sang istri yang dapat email dari suplayer dari Korea yang dimajukan kunjungan, hingga mereka berdua bersama di villa itu.

"Jujur, sebagai orang tua angkat. Aku selalu menjaga, dia layaknya seorang bapak yang mengasihi anak kandungnya sendiri. Kadang sampai lupa bahwa Arin sudah dewasa, masih bapak perlakukan seperti anak-anak."  Siska mendengar semua yang dituturkan sang teman barunya itu sampai kadang tak berkedip.

"Siska, percaya itu," katanya dalam hati.

"Suatu ketika, dia merasa bingung dan sedih. Bapak lihat, matanya sampai memerah. Saat bapak bertanya, tangisnya kian menjadi, hingga tak sadarkan diri. Itu berulang hingga dua hari lamanya. Hari ketiga, dia mulai tenang. Semua diceritakan Arin kepada bapak. Memang istriku pernah menjodohkan Arin dengan ku, alasannya agar kami punya keturunan, karena pernikahan kami sudah lebih 10 tahun, namun belum memiliki momongan." Mat Sokran bernafas panjang kemudian melanjutkan ceritanya.

"Ternyata itu yang menjadi beban berat buat Arin, ditengah-tengah ceritanya,dia pingsan lagi, bapak gak berani menanyakan kembali, karena sepanjang yang dia ceritakan. Bapak sudah mengerti apa yang dia maksud." 

si Sokran teringat dan terbayang kejadian itu.

Siang itu, si Arin tak memakai dalaman dan hanya memakai kimono tanpa diikat dan mendekati bapak angkatnya pasrah, berharap apa yang diinginkan ibu angkatnya segera terkabulkan. Tepat di depan si Sokran dia berdiri serta memejamkan mata. Entah berapa lama. Saat itu si Sokran membaringkan Arin dan…. Lamunan tentang kejadian itu buyar, ketika Siska berkata:

"Ceritakan semua pak biar hati bapak terbebas."

Kembali Mat Sokran melanjutkan ceritanya.

"Saat itu terjadi apa yang dia inginkan dan bapak memenuhi harapannya."

Kata Mat Sokran, penuh penyesalan.

"Hal itu terjadi entah berapa kali dalam berapa hari berlangsung." Lanjutnya.

"Sejak saat kami pulang. Arin mulai menjaga jarak dan semakin hari tak pernah bicara sepatah katapun sampai akhirnya dia mengurung diri."  Katanya lirih.

Melihat teman barunya mulai tak sanggup melanjutkan ceritanya. Siska berkata :"Cukup, Siska mengerti apa maksud yang bapak ceritakan, sekarang kita keluar untuk refreshing. O iya antar Siska cari ganti, sudah berapa hari Siska pake celana gemes kayak gini, untung gak ada tikus nyasar ke gerbang sempit yang sudah tanpa segel." Hibur Siska.

Sesampainya di sebuah mall kota Denpasar, Siska dan Mat Sokran sedang fokus memilih 

t'shirt. dan ditempelkan ke badan Siska, di sebelah stand bertolak belakang Arin yang sudah sampai di Bali kemarin, juga sedang mengambil sesuatu di sana dan segera menuju ke kasir.

Perasaan si Sokran terasa gak enak, sepertinya ada sesuatu, dia melihat sekeliling. 

"Sebentar wok." Katanya lalu dia berjalan keluar sambil melihat sekitarnya. Dan meyakinkan hingga sampai keluar mall, tapi tak mendapatkan sesuatu. "Mungkin perasaanku saja." Pikirnya. Kemudian balik menghampiri Siska.

"Ada apa Sam?" Tanya Siska. 

"Gak, mungkin perasaanku saja."

Disisi lain di tempat parkir.

"Bang kita langsung saja pulang.". Pinta Arin.

"Lho gak mampir makan malam dulu mbak,  ini kan sudah jam makan. Soalnya  disana jauh kalau mau beli sesuatu." Kata si Batak.

"Gak dah, badanku lagi gak enak, ntar kalau laper pesan lewat aplikasi saja."

Arin sedang bingung dengan kondisi dirinya saat ini, yang ada dipikirannya hanya ada, yang berhubungan soal, asem, manis dan pedas, serta kepengen buah tapi yang masem. Arin kepingin minta tolong sama bang Batak, tapi masih merasa canggung. Mengingat bang Batak baru kenal dan baru menjadi teman satu team dalam pekerjaan.

Bang Batak, ternyata sama-sama lari ke Bali dengan permasalahan yang berbeda. Saat Arin sampai di apartemen, si Batak bercerita kepada Arin, kenapa dia sampai tinggal di Bali. Pernikahan yang sudah dipersiapkan mereka berdua selama berbulan-bulan lamanya. Bukan keinginan orang tua. Melainkan atas keinginan mereka berdua.

Tapi jodoh memang belum berpihak. dua jam sebelum acara dimulai di sebuah aula hotel berbintang yang dia pilih. Dan tamu undangan sudah berdatangan  namun dengan terang terangan kabur bersama pria lain. Karena si Batak gak kuat menahan malu, hari itu juga dia terbang ke Bali dengan masih memakai pakaian adat,  yaitu pakaian adat. Hingga saat ini dia tak pernah menghubungi keluarga di kampung.

****

Siang itu si Arin mencari info, mobil bekas layak pakai di medsos, berharap dapat harga miring. 

"Slamat siang pak." 

"Siang."

"Saya mendapat info bapak menjual mobil tangan pertama ya?"

"Berer Bu, kebetulan istri saya minta  keluaran baru, jadi ini mau saya jual buat DP."

"Bisa ke alamat saya pak, soalnya saya baru tiga hari tinggal di Bali."

"Bisa bu, sharelock saja."

"Ok,"

Ternyata pemilik mobil itu juga ada di komplek apartemen tempat Arin tinggal. Transaksi berjalan dengan mulus dan sang pemilik juga memberikan harga dibawah pasaran, karena memang dapat tangan pertama.

Malam itu Arin bertujuan belanja keperluan alat-alat dapur sendiri berharap tidak merepotkan bang Batak, namun ketika dia mau masuk ke mobil yang baru saja dibelinya, ternyata bang Batak kebetulan ingin menemuinya.

"Mbak Arin mau pergi kemana?" Tanya bang Batak. 

"Wah, Arin sudah diam-diam biar gak ketahuan sama Abang, eeee malah kepergok." Kata Arin tersenyum.

"Yah,janganlah begitu kakak. Biar begini kan Adik ini bawahan kakak, secara struktural," Balas bang Batak. Kemudian ngakak.

"Ayo lah Adik antar, kakak kemanapun kakak pergi..kecuali kekamar mandi. Kan gak bakalan sampai kesasar dan salah jalan." Lanjutnya.

Sengaja dia memanggil kakak, agar Arin tidak canggung dan tidak punya pikiran lain. Karena menurut bang Batak, seorang yang berusaha dijadikan teman akrab berpikir bahwa dia sedang pdkt. Setidaknya itu yang dipikirkannya.

"Ya sudah, nanti kalau kesasar, kita kesasar bareng-bareng ya."

"Kan, sekarang ada Mbah Google map. Jadi gak bakalan kesasar lah mbak. Dijamin."

“Okey, kalau begitu abang yang bawa mobilku, hati-hati awas lecet. ini anget masih baru beli.” Canda Arin. sejak kepulangan dari Bali bersama bapak angkatnya, baru kali ini Arin bisa bercanda lepas, walau ternyata bagi  melaksanakan tugas yang diembannya itu sangat-sangat menyakitkan hati dan merupakan perjalanan berat baginya, diluar dari bayangannya semula. tapi ini sudah terjadi sebuah bayar harga, sekaligus konsekuensi dari sebuah kata “ya” yang telah diucapkan didepan ibu angkat yang dimana dia merasa sebagai balas budi.

“kayaknya kita gak jadi pergi bang.”

“Kenapa mbak?”

“Abang mau mendengarkan, aku hari ini pengen nangis. tapi tolong  jangan dihibur dan sejenisnya, cukup Abang disampingku saja.” Bang Batak memang gak mengerti apa yang dikatakan Arin, namun dia mengangguk sambil berkata lirih, “Ya.”

Arin keluar dari mobil kemudian masuk ke apartemennya. Bang Batak mengikutinya dari belakang. pintu kamar dibukanya, kemudian Arin masuk dan duduk dipinggir tempat tidurnya, sesaat kemudian pindah duduk di sofa. “Maaf, adik boleh masuk, mbak?”  tanpa menunggu jawaban Arin, dia masuk dan duduk di samping Arin di kursi kecil yang terdapat di samping meja rias di kamar itu.

Arin menutup mata dengan kedua tangannya. karena tangis Arin kian menjadi, ditutupnya kamar itu, bermaksud supaya suara tangis Arin tak terdengar sampai keluar.

Dilihatnya jam di tangannya, ternyata Arin sudah lebih dari satu jam menangis, tanpa dia berusaha untuk mencari tau penyebabnya. diambilnya sebotol air mineral dalam kulkas, dibukanya, lalu di letakkan di depan meja yang diseretnya mendekati Arin. Karena semakin menjadi tangis arin, maka bang Batak memberanikan diri untuk duduk disampingnya dan berkata: “Maaf,” kemudian di pegangnya pundak Arin direbahkan kepala Arin dipundaknya, sambil mengusap air mata Arin dengan handuk kecil yang terdapat di dekat laptop tempat Arin mengerjakan tugas harian. 

Entah sudah berapa lama Arin menangis, tapi tetap saja bang Batak gak berani mencari penyebabnya. yang pasti bagi dia satu hal positif yang dia dapatkan, bahwa Arin teman seprofesi ini, tidak malu meminta tolong untuk menemani disaat lagi ada masalah, yang mungkin teramat berat, sehingga dia tak mampu untuk mengungkapkannya.

………………………..Bersambung

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience