Episode 26

Family Completed 3810

"Mas, aku mau pulang mengambil sesuatu buat mbak Arin, mas Endut ikut pulang?" Ajak Kotheo.

"Bener juga, nanti mbak Aisyah khawatir, melihat mas Endut gak ada di apartemen sampai jam segini. Seperti yang saya katakan kemarin tolong jangan ada yang tahu keberadaanku," pesan Arin.

si Endut memegang tangan mbak Arin, serta memandanginya, tak satu katapun mampu terucap dari bibir Endut.

"Terima Kasih, atas kepedulian Mas, serta bantuannya," kata Arin lirih, matanya berkaca-kaca menahan kesedihan.

"Mbak jaga diri baik-baik ya. Kalau ada perlu penting hubungi nomor saya saja, saya bakal tetap menjaga kerahasiaannya kok," kata si Endut. "Ya sudah saya pamit ya mbak," tambahnya. Kemudian memberanikan diri untuk mengecup kening Arin.

Saragih dan Kotheo memandangi dengan perih, namun kembali lagi mereka berdua berusaha menahannya.

Saat keduanya pergi, tinggal bang Batak dan Arin. "Bang, sepertinya aku sudah gak aman disana, jalan satu-satunya harus pindah apartemen," kata Arin. Wajahnya sudah terlihat segar. "Bang tolong anakku bawa kesini aku ingin menggendongnya," pinta Arin. Diambilnya bayi mungil yang sedari tadi memejamkan mata. "Anak cantik, mama pengen gendong,"kata bang Batak lirih.

Dokter serta perawat datang memeriksa catatan medis, kemudian berkata: "hari ini ibu sudah boleh pulang, buat ibu tolong bilang sama bapak ya, meskipun kelahiran bayi melalui operasi caesar, untuk sementara jangan boleh berkunjung dulu sebelum bekas operasinya sembuh," kata sang dokter sambil memandangi bang Batak. "Siap dok," jawab bang Batak sambil tersenyum. 

Sementara itu. Saat si Endut menikmati sarapan pagi seadanya berdua, karena mereka memang tak tau pasar untuk belanja keperluan dapur. Kedua majikannya datang membawa belanjaan untuk mereka berdua.

"Wah berdua romantis bingit ya, sarapan lauk apa nich?" Tanya Bu Surti.

"Sup iga bakar goreng, sama sisa sambal kemari Bu," jawab si Endut. Sambil menunjukkan kerupuk dan sambal sisa semalam.

"Menu masakan baru ya?, Ada sup Iga Bakar Goreng?" Tanya Bu Surti sambil tertawa. "Tadi sama bapak mampir ke pasar buat keperluan kalian," kata Bu Surti.

Aisyah bergegas menghampiri Bu Surti, berdiri di depannya. "Ibu sama bapak mau minum apa?" Tanya Aisyah. "Gak perlu, ibu dan bapak cuma sebentar kok, o iya kalau kalian berdua mendapatkan info tentang Arin segera hubungi ibu ya," jawab ibu Surti. "Ya sudah, bapak sama ibu siang ini pergi, biar bapak istirahat dulu sebentar," sambung ibu Surti

SETAHUN KEMUDIAN.

"Bang aku titip Yolan ya, mau tak ajak dia masih bobo. Nanti kalau dibangunin malah cerewet," pinta Arin,bang Batak hanya mengangkat jempol, karena dia lagi sibuk dengan tugasnya. " Sebentar lagi Kotheo juga pulang, dia memang agak terlambat soalnya mampir belanja keperluan Yolan sekalian," kata bang Batak, kemudian berdiri meninggalkan pekerjaan, menghantarkan Arin lalu membantu untuk memutar mobil, yang mau dipakai Arin.

Sesampainya di pantai Berawa, Arin tak segera turun dari mobilnya. Arin bersandar memejamkan mata, entah sudah berapa lama. Pikiran Arin kalut, dan jenuh.

"Tak semudah saat ketika aku mengambil keputusan, seperti waktu itu," katanya dalam hati.

Hatinya terasa perih, sakit dan terasa sesak dalam dada setiap kali dia mengingat kala ia mengambil keputusan besar itu.

"Ku kira dengan menyerahkan keperawananku, dan meminjamkan rahim itu sudah cukup, dan bisa membantu ibu yang telah berjasa dalam hidupku," katanya lirih. Air mata itu mengalir deras dipipi dan dibiarkan berlinangan.

Pikirannya melayang ke masa itu.

"Pak, sudahlah jangan terlalu keras bekerja. Nanti kalau sudah sehat baru bekerja lagi," pinta Arin, saat itu sang bapak memanggilnya dengan Iren. "Mumpung ada kerjaan lumayan besar ini," kata sang bapak.

"Ya sudah, biar Iren membantu bapak," mendengar Iren si tomboy berkata seperti itu, sang bapak marah, dan gak mengizinkan. Tapi Iren terus mengikutinya, sehingga dengan berat hati sang bapak mengizinkan membantu

Mulai mengaduk semen, mengusung pasir dan batu bata serta memindah andang, dikerjakan tanpa rasa malu, dan ketika melihat layangan putus, Iren berlari dan mengejarnya.

Saat pekerjaannya rampung.

Karena Bu Surti, dan sang Suami tak tega melihat Iren menjadi kuli bangunan di usia sekolah, apalagi dia adalah seorang cewek. Maka keluarga itu mengangkat menjadi anak asuh, serta menjadikan pak Sujak sang bapak menjadi tukang kebun di keluarga itu

Pikiran Arin kembali kemasa-masa itu saat bersama orang tua tunggal yang menyayanginya dalam masa-masa sulit, dimana sang bapak tak memiliki keahlian lain, kecuali menjadi tukang bangunan. Diperparah oleh penyakit yang diderita, membuat Arin harus rela membantu orang tuanya. Bu Surti lah yang memangkas semua kesulitannya itu. Rumah sakit adalah langganan tempat pak Sujak, entah berapa duit yang sudah dikeluarkan oleh orang tua angkatnya, bersamaan dengan rumah tinggal warisan dari sang kakek yang hampir roboh karena tak mampu memperbaiki, dan orang tua asuhnya lah yang tanpa kata mbangun menjadi rumah layak huni seperti sekarang ini.

Menyayangi dan memperhatikan, memperlakukannya seperti tuan putri, tanpa kata namun dirasakannya setiap saat setiap detik.

"Keputusanku untuk membantu Bu Surti dengan tulus telah kuambil dengan sadar dan tulus, tapi seiring berjalannya waktu kenapa ketulusanku menjadi pudar?" Jerit Arin dalam hati sambil meremas rambut dengan kedua tangannya. Rasa sakit akibat remasan itu tak dirasakan, hingga ketika jemari tangan melepas remasannya itu banyak rambut yang terbawa sela jarinya.

Arin memandangi rambut yang ada di sela-sela jemari tangannya.

"Sekarang apa yang harus kulakukan?" Katanya lirih disela jeritan hatinya. Sambil memukul-mukul apa yang ada didepannya.

Tin ..Tin..Tin..Tin Bunyi klakson mobil berkali-kali akibat tersentuh tangan Arin saat emosi sesaat. Saragih yang entah sudah berada di kejauhan mengawasi dan membuntutinya langsung menuju ke tempat Arin parkir. Bergegas keluar dari mobilnya lalu membuka mobil Arin serta bertanya: "Ada apa mbak?" Tanya bang Batak membuyarkan pikiran Arin yang tak terkendali itu melihat bang Batak datang. Arin merangkulnya dan menangis sejadi-jadinya. "Aku tak tau apa yang harus kulakukan,"teriak Arin dalam tangisnya. Banyak kata yang terucap dalam tangis histerisnya. Mendengar itu bang Batak berkata. "Mbak tenangkan hati mbak Arin dulu," Arin semakin berteriak dalam tangisnya dan kian menjadi. Karena Arin tak mampu mengendalikan diri dalam tangis yang semakin menjadi itu, bang Batak berkata:" habiskan, terus,luapkan, hingga mbak Arin merasa lega. Dan gak perlu ditahan… luapkan saja," dalam pelukan bang Batak, Arin menumpahkan semua rasa, semua derita, semua kesedihan, bang Batak diam tanpa kata, hanya mendengar dan memeluknya. Suasana sedih berlalu seiring rintik hujan yang menyapa, seakan ikut merasakan pedihnya hati Arin saat itu. Perlahan mendung kian tebal, kilat sesekali terlihat di kejauhan. "Mbak, bujan mulai deras, yuk kita pulang," ajak bang Batak lirih.

"Abang pulang duluan saja, menemani Yolan," pintanya, sambil mengangkat kepalanya dari pundak bang Batak. Disekanya sisa air mata, menghela nafas panjang dan membuangnya perlahan.

"Sepertinya, aku gak bisa seperti ini terus, lari dari masalah bukanlah solusi, kata Arin kemudian diam, merapikan rambutnya yang berantakan. Saragih memandangnya pilu, dan itu tak bisa disembunyikannya.

"Rencana mbak Arin apa?" Tanyanya lirih.

"Aku masih berfikir, yang pasti kembali pada rencana semula," Saragi mengerti apa yang dimaksud sahabatnya, karena memang semua telah diceritakan kepadanya selama ini. Kepedihan yang dirasakan oleh Arin seakan perih yang ia rasakan juga, itulah sebabnya saragih dengan tulis mendampinginya selama ini.

"Mbak bagaimana kalau kita hubungi ibu secara pribadi," usul bang Batak. Lama Arin berfikir. "Kasihan jika kita merepotkannya lagi," jawab Arin ragu.

"Itu jalan terbaik," kata Saragih,namun tak menjelaskan kenapa cuma bu Surti yang dihubungi, tidak suami istri, bukankah itu demi mereka berdua?.

"Benar juga sarannya, kalau aku sampai ketemu dengan bapak, masalahnya bakal menjadi lain," kata Arin dalam hati.

"Bang, maafkan Arin selama ini terus merepotkan abang," 

"Jangan terucap kata itu lagi mbak, percayalah, kalau kita bertemu itu berarti jodoh, dan jodoh itu kan bukan hanya hubungan suami istri, ya kita dipertemukan bukan secara kebetulan," kata Saragih.

"Terimakasih," katanya sambil menatap mata bang Batak serta memegang kedua tangan sang penolongnya itu. 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience