20

Romance Series 688

Putri memperhatikan rumah yang berada di hadapannya dengan seksama. Rumah Jaka berada tidak terlalu jauh dari sekolah, terletak di sebuah perumahan dan membuatnya jadi terlihat sama dengan rumah di samping kanan-kirinya.

"Bisa kau buat Vian menggantikanku sekarang?"

Aktifitas memperhatikan rumah yang dilakukan Putri langsung beralih untuk menatap cowok yang sedang bersamanya, "Apa?"

"Panggilkan Vian keluar," ulang Jaka dengan nada memerintah.

"Aku tidak mau. Memang kenapa harus membuat Vian menggantikanmu?" Putri langsung menolak, dia sungguh tidak ingin melakukan hal yang berpotensi merugikan diri sendiri.

Jaka menyilangkan kedua lengannya sambil menatap pintu rumah yang masih tertutup, "Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada kakekku. Jauh lebih wajar jika Vian yang membawa perempuan ke rumah."

Putri mengerti kondisi Jaka yang tidak bisa berdekatan dengan perempuan, dan pasti menjadi sangat aneh jika Jaka yang mengajaknya begini, "Jaka sendiri yang pernah memperingatiku tentang Vian, aku tidak mau dia melakukan hal aneh."

Sebenarnya Jaka juga mengkhawatirkan hal yang sama, mungkin dia harus mengambil pilihan lain, "Yasudah, aku akan berpura-pura menjadi Vian. Jadi anggap aku sebagai Vian apapun yang terjadi."

Sebelum Putri mengerti, Jaka sudah dulu membuka pintu rumah, "Aku pulang."

Walau tidak ada yang menyahut, Jaka dengan cuek tetap melangkah memasuki rumah. Putri yang mengikuti dari belakang hanya dapat memperhatikan ruang tamu yang sudah dimasukinya.

"Oh, kamu sudah pulang, Jaka. Siapa perempuan ini?" tanya seorang perempuan yang baru keluar dari salah satu ruangan.

"Pacarku."

Wanita paruh baya itu menghela napas, "Vian... Jaka bisa marah kalau tahu kamu membawa perempuan ke rumah."

Jaka tersenyum melihat wajah khawatir orang yang berdiri di hadapannya, "Tante Dian tidak perlu cemas, aku tidak akan melakukan apapun kok."

"Yasudahlah. Oh ya, ibumu mau datang sebentar lagi, jadi Tante kembali pulang dulu ya?"

Jaka menunduk, kenapa ibunya harus datang sekarang?

Dian tersenyum kemudian mengusap kepala Jaka dengan lembut, "Jika Vian tidak ingin bertemu dengan dia, suruh saja Jaka yang melakukannya."

Jaka kembali tersenyum, Dian memang selalu baik pada dirinya ataupun pada Vian, "Tidak apa. Aku lebih takut pada Jaka yang marah padaku, apalagi kalau dia tahu aku membawa perempuan ke rumah."

"Baiklah kalau begitu, Tante pergi sekarang ya!"

Kenapa terburu-buru sekali? Apa ibunya akan datang dalam hitungan menit? Walau merasa bingung, Jaka tetap memastikan kalau Dian sudah benar-benar pergi dari rumah barulah menatap Putri yang terlihat bingung dengan interaksi yang tadi dilakukannya, "Dia tanteku, adik dari ayahku. Vian sudah menceritakan kalau orang tuaku berpisah kan?"

Putri mengangguk, "Kupikir kamu hanya tinggal dengan kakek saja."

"Karena rumahnya bersebelahan, Tante Dian memang sangat sering datang ke sini."

"Ja- Vian, siapa yang kamu bawa?" kali ini seorang pria yang terlihat sudah tua muncul dan Beliau langsung menganggap Jaka sebagai Vian.

Jaka menarik Putri untuk mendekati kakeknya, "Dia pacarku, Kek. Namanya Putri."

Wijaya menghela napas, "Apa yang harus kukatakan pada Jaka nanti?"

Dirinya sudah tahu kok, jadi tidak perlu repot-repot untuk mengatakan apapun. Justru sekarang Jaka lebih merasa bersalah karena harus berbohong pada Wijaya, "Tenang saja, nanti aku yang bicara pada Jaka."

"Tapi Kakek tidak menyangka kalau kamu benar-benar akan membawa perempuan yang tahu rahasiamu ke rumah."

Jadi Vian sudah pernah menceritakan hal seperti itu? Pantas saja kakeknya langsung memanggil dengan nama Vian. Jaka mengangguk mengerti, "Habis dia tidak pernah menyerah mengejar Jaka, aku jadi semakin menyukainya."

Putri melirik cowok yang berdiri di sebelahnya dengan pandangan aneh. Ini pasti Vian, pasti Vian, pasti mereka sudah berganti. Putri tidak mau menganggap kalau ini masihlah Jaka.

"Yasudah sana kamu ganti baju dulu baru temani pacarmu makan."

"Oke."

Tunggu dulu, kenapa Putri ditinggal sendiri begini? Dan kenapa dia diajak makan juga? Putri ingin menahan Jaka agar tetap bersamanya, tapi cowok itu malah berlenggang pergi memasuki salah satu ruangan dengan cuek.

"Maaf ya kalau Vian selalu bertindak semaunya, kamu pasti tadi dipaksa ke sini kan?"

Putri tidak benar-benar dipaksa kok, dan yang tadi adalah Jaka, "Tidak apa-apa kok."

Wijaya tersenyum, "Kamu tidak perlu merasa canggung begitu. Jika Vian melakukan sesuatu yang tidak membuatmu nyaman, katakan saja pada Jaka."

"Aku melakukannya kok," tapi tetap saja tanggapan Jaka terlalu santai dan terkadang malah tidak peduli. Jaka sungguh cuek dengan apapun yang sudah Vian lakukan pada Putri.

"Bagaimana kalau kita tunggu Vian di ruang makan saja?"

"Ah, iya, silahkan Kakek duluan," Putri mempersilahkan Wijaya berjalan lebih dulu, karena rasanya kurang sopan kalau dia jalan duluan.

Setelah masuk ke ruang makan, Putri duduk di kursi meja makan yang diperuntukkan untuk enam orang. Walau meja makan ini memang dapat ditempati oleh sebuah keluarga yang anggotanya banyak, tapi entah kenapa ada kesan kosong yang Putri rasakan saat duduk di sini.

"Nak Putri benar-benar pacar Vian?"

Putri yang sedang memperhatikan kursi-kursi kosong lain langsung beralih untuk menatap Wijaya yang duduk di depannya, "Tidak, kami tidak pacaran."

Wijaya tersenyum mendengar jawaban ini, dia bisa mengerti kalau anak perempuan yang berada di hadapannya pasti jauh lebih menyukai Jaka karena tidak menunjukkan rasa senang saat sudah diajak berkunjung ke rumah.

Tidak lama kemudian Jaka masuk ke ruang makan kemudian duduk di samping Putri, dan mereka bertiga pun makan bersama tanpa melakukan pembicaraan apapun. Lalu setelah melakukan kegiatan makan yang sangat membuat Putri merasa canggung, dia tidak lupa untuk mencuci piring yang sudah dipakainya sebagai ucapan terima kasih karena sudah ditawari makan.

"Put, setelah selesai nanti ke kamarku ya?"

Putri menatap piring yang sedang dicucinya dengan pandangan curiga. Ini pasti Vian, kali ini pasti mereka sudah bertukar. Tapi setahu Putri mereka tidak bisa bertukar tanpa alasan yang jelas. Jadi ini masih Jaka?

"Apa yang mau kamu lakukan di kamar? Cukup di ruang tamu saja," tolak Wijaya sambil menatap Jaka dengan serius.

Jaka melirik ke arah lain, kenapa dia benar-benar seperti Vian sekarang? Ini efek karena mereka sekarang bisa saling berbagi pikiran? Rasanya sekarang Jaka dapat mendengar suara seseorang yang sedang tertawa senang dari dalam kepalanya, "Iya, iya, di ruang tamu."

Setelah selesai mencuci piring, Putri menuju ke ruang tamu bersama Jaka dan duduk di sofa. Sedangkan Wijaya sudah masuk ke kamarnya, sebelum masuk tidak lupa untuk mengatakan agar Vian tidak melakukan hal aneh.

"Aku masih Jaka," gumam Jaka sambil menyalakan tv yang ada di ruang tamu.

"Ugh... tolong jangan lakukan hal seperti ini lagi. Hatiku tidak kuat," Putri menutupi wajahnya yang memerah, terlalu malu menerima fakta kalau ini memang Jaka.

Jaka menatap gadis yang duduk di sampingnya, "Aku juga tidak suka melakukannya, jadi sekarang cepat buat Vian mengambil alih kesadaran."

"Aku tidak mau."

"Apa aku harus memaksamu?"

"Apa Jaka bisa melakukannya?" tanya Putri sambil menatap Jaka dengan nada menantang, merasa tidak yakin Jaka mau melakukannya.

Tanpa ragu Jaka melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk tubuh Putri, dagunya juga disandarkan di bahu gadis ini sambil menunggu proses Vian menggantikannya.

Jika rasa malu bisa membunuhnya, Putri pasti sudah mati sekarang! Rasanya dia ingin menjerit senang, tidak menyangka Jaka mau melakukan sesuatu yang bisa membuat Vian mengambil alih kesadaran.

"Kau kecewa karena Jaka tidak menciummu?"

Putri menghela napas saat mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh suara bariton cowok ini, "Jantungku lemas. Tolong lepaskan aku sekarang, Vian."

Vian tidak menurut dan malah menikmati aroma tubuh Putri yang bisa dirasakannya dengan sangat jelas. Terasa begitu lembut, dan juga membuat nyaman.

"Ah, Jaka, dia pacarmu?"

Dengan panik Vian langsung mendorong tubuh Putri menjauh darinya lalu berpaling untuk menatap orang yang bertanya. Ibunya, "I- iya, dia pacarku. Namanya Putri."

Wanita yang berumur empat puluhan itu tersenyum, "Akhirnya kamu membawa pacar ke rumah juga ya!"

Saat Vian berdiri untuk mencium tangan ibunya, Putri ikut berdiri untuk memperkenalkan diri, "Salam kenal, Tante. Saya Putri, pacar...," mustahil jika Jaka yang mempunyai pacar, jadi, "pacar Vi–"

"Putri memang suka malu mengaku menjadi pacarku," Vian dengan cepat memotong ucapan Putri sebelum selesai bicara.

"Pacarmu manis ya! Oh ya, Tante bernama Puspa."

"Ibu sendirian ke sini?" tanya Vian untuk mengganti topik pembicaraan.

Tapi Puspa masih sibuk memperhatikan Putri, "Iya, Ibu ke sini untuk melihat keadaanmu. Apa nilai ujian kenaikan kelasmu bagus?"

Vian menghela napas, bersyukur dia tidak mengambil alih kesadaran saat masa ujian, "Tentu saja."

"Sepertinya suasana yang tenang memang berpengaruh pada nilaimu ya?"

Tidak, Vian lah yang mempengaruhi nilai-nilai Jaka, "Iya, aku merasa nyaman di rumah Kakek."

Perhatian Puspa kembali pada Vian, "Yasudah kalau Jaka sudah merasa nyaman, Ibu tidak akan menyuruhmu pulang. Ngomong-ngomong, kenapa kalian di ruang tamu? Seharusnya ajak pacarmu ke kamar."

"Kakek bisa marah padaku. Dan apa tidak apa-apa aku meninggalkan Ibu?"

Puspa mengusap kepala anaknya dengan lembut, "Ibu yang akan menjelaskannya pada kakekmu. Ibu sudah merasa senang kok karena tahu Jaka sekarang punya pacar."

"Baiklah, kalau begitu kutinggal dulu ya, Bu," setelah meminta izin, Vian langsung menyeret Putri agar mau mengikutinya, kali ini dia benar-benar tidak ingin menerima penolakan.

"Ibu mungkin tidak lama berada di sini, nanti Ibu titip uang bulanan untukmu pada Kakek ya? Kamu minta saja padanya."

"Iya," jawab Vian yang kemudian masuk ke kamarnya.

Sedangkan Putri yang berhasil terseret ke kamar sudah menunjukkan wajah pucat. Ini adalah tempat yang paling tidak ingin dimasuki jika bersama dengan Vian, tapi dia tidak bisa kabur karena cowok itu sekarang sedang bersender di depan pintu.

"Aku tidak akan melakukan apapun, jadi ayo kita mulai penjelasan ini," Vian berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di sana.

Melihat raut wajah kesal Vian, Putri justru merasa sekarang berada di posisi aman. Kedua netranya memperhatikan kamar sejenak kemudian duduk di kursi yang berada di dekat tempat tidur.

"Kedua orang tuaku tidak tahu aku mengalami Alter Ego."

Putri mengangguk paham, pantas saja tadi Puspa tetap memanggil Jaka, padahal Dian dan Wijaya langsung memanggil dengan nama Vian, "Kenapa tidak tahu? Kamu tidak cerita?"

"Lebih tepatnya aku tidak ingin mengatakannya."

Putri mengerutkan alisnya dengan bingung, "Memang kenapa?"

Vian menyilangkan kedua kakinya sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, "Setelah bercerai, Ibu menikah lagi dan Ayah bekerja di luar kota. Kalau Ibu sampai tahu, aku pasti dipaksa untuk tinggal dengannya, dan aku tidak ingin tinggal bersama dengan ayah baruku."

Putri sedikit setuju dengan keputusan yang diambil Vian, tapi tetap saja aneh kalau orang tua sendiri sampai tidak tahu, "Jaka juga setuju dengan ini?"

"Tentu saja. Aku yang paling malas jika harus bertemu dengan orang tua, biasanya kalau begini Jaka pasti menggantikanku. Tapi Jaka tadi malah memanggilku keluar."

Jika Jaka tidak ingin berurusan dengan perempuan yang menyukainya, Vian malah tidak ingin menemui orang tua ya? "Maaf."

Vian menatap Putri dengan heran, ini pertama kali Putri minta maaf padanya, "Sudahlah. Sekarang sesi tanya jawab, tanya saja tentang apa yang tidak kamu mengerti."

Putri sama sekali tidak mengerti dengan situasi ini, "Kenapa orang tuamu tidak tahu masalah kepribadian gandamu sedangkan Kakek Wijaya dan Tante Dian tahu?"

"Setelah orang tuaku bercerai, aku langsung tinggal dengan Kakek, jadi jelas dia merupakan orang pertama yang tahu. Dan Tante Dian tahu karena sering sekali melihatku berinteraksi dengan perempuan, mau tidak mau Jaka jadi menceritakannya."

"Kalian tidak begitu dekat dengan orang tua? Padahal ibumu terlihat baik."

Vian mendesah pelan, tidak mengerti kenapa orang lain selalu beranggapan kalau keluarganya baik-baik saja, "Aku dan Jaka? Tidak. Kami memang sengaja sedikit mengambil jarak. Ibu ataupun Ayah sama-sama membuat masalah yang cukup besar sampai membuatku mengalami Alter Ego. Apa yang dilihat orang tidak sebaik yang kami rasakan."

Yang membuat cowok ini mengalami Alter Ego karena kedua orang tuanya bercerai kan? Atau masih ada alasan lainnya? "Memang masalah apa?"

"Aku belum mau menjelaskannya padamu."

Melihat raut wajah Vian yang terlihat murung, Putri tidak menuntut penjelasan lagi. Lebih baik dia mencoba menanyakan hal lain saja, "Um, lalu seperti apa ayahmu?"

Vian terdiam sejenak, merasa tidak yakin harus menjawab apa, "Lebih baik kau tahu sendiri setelah bertemu secara langsung."

Bagaimana bisa Putri bertemu kalau ayah cowok ini sedang tidak berada di rumah? Putri menggaruk pelan kepalanya dengan heran, "Vian yang menyuruhku untuk bertanya, tapi sekarang kau malah tidak mau menjawab."

Iris coklat tua milik Vian menatap Putri dengan pandangan malas. Gadis ini bertanya sesuatu yang cukup sensitif, mana mungkin dia bisa memberi penjelasan semudah itu? "Kau tahu? Ada beberapa hal yang tidak dapat dikatakan oleh penderita Alter Ego, dan itu adalah orang-orang yang menjadi pemicu terbentuknya aku dalam diri Jaka."

Sepertinya sampai kapan pun, Putri tidak akan pernah mendapatkan penjelasan langsung dari Jaka ataupun Vian. Ini jadi terasa membebankan, "Lalu bagaimana aku bisa membantumu?"

"Yang perlu kau lakukan cukup membuat Jaka bisa jatuh cinta saja, itu secara otomatis akan menyelesaikan masalah yang lainnya."

=bersambung=

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience