8 - Vian

Romance Series 688

"Siapa namamu?"

Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan bertanya dengan nada lembut, tapi tidak ada apapun yang dapat dipikirkannya, pikirannya terasa kosong, "Nama?"

"Iya, nama. Kamu memilikinya?"

"Aku tidak tahu."

"Kalau begitu bagaimana dengan nama Vian? Kamu mau?"

"Vian?"

Wanita yang memakai jas dokter itu mengangguk sambil mengarahkan jari telunjuknya ke depan, "Nama yang bagus kan? Orang lain yang berada di tubuhmu memilihkan nama ini untukmu, kamu mau menerimanya?"

Anak berumur sepuluh tahun itu tersenyum sambil menyentuh dadanya, dengan pelan dia menyebutkan nama yang baru diberikan, "Vian."

"Lalu aku bernama Lia, psikiater. Apa ada yang ingin Vian ceritakan padaku?"

Hanya ada satu hal yang tertanam di dalam pikirannya sejak awal, "Aku tidak ingin menemui orang tuaku."

.

.

.

Vian menghela napas sambil mengacak rambutnya dengan kasar, kenapa dia harus bermimpi tentang masa lalu saat pertama kali bertemu dengan Lia? Dulu dia terlalu polos, jika diingat terasa menggelikan.

Oke, lupakan. Sekarang Vian harus buru-buru berangkat ke sekolah agar bisa bertemu dengan Putri secepatnya.

"Sepertinya kamu senang sekali pagi ini."

Vian yang sudah selesai bersiap-siap dan mau pergi dari rumah berpaling untuk menatap sang kakek yang tinggal bersamanya, "Iya, Kek, di sekolah sudah ada gadis manis yang menantiku."

Sang kakek yang bernama Wijaya tersenyum melihat senyum cerah tergambar di wajah cucunya, "Kamu tidak boleh melakukan hal aneh padanya, Vian."

Vian berjalan mendekati Wijaya yang sedang duduk di ruang tamu untuk pamit, "Tenang saja, aku hanya mau membuatnya menyukaiku saja kok."

Dengan ekspresi khawatir, Wijaya memegang bahu sang cucu, "Kamu harus menjaga tubuh Jaka baik-baik ya?"

Vian tersenyum lembut, "Ini juga merupakan tubuhku, pasti akan kujaga sebaik mungkin."

"Baiklah, sebaiknya sekarang kamu pergi ke sekolah sebelum terlambat."

Vian mengangguk kemudian berjalan keluar dari rumah, tapi tiba-tiba dia berhenti melangkah dan kembali menatap sang kakek, "Ayah atau Ibu tidak datang ke sini kan?"

"Minggu ini ibumu tidak akan ke sini."

Setelah mendengar jawaban, Vian baru benar-benar pergi menuju ke sekolah. Dan setelah sampai dan melihat Putri berjalan dengan begitu waspada, Vian tidak bisa menahan diri untuk menggodanya, "Putri~"

Melihat Putri langsung mengambil jarak sejauh mungkin setelah disapa membuat Vian semakin gemas dan ingin terus menggodanya, "Kamu merindukanku?"

"Tidak."

Vian tersenyum puas, memang lebih menyenangkan kalau gadis ini melakukan penolakan, "Tapi aku merindukanmu."

"Jangan bercanda!"

Melihat wajah merengut Putri, Vian sedikit mempercepat langkahnya sambil memasang ekspresi cemberut, "Aku sudah mau repot-repot datang ke sekolah begini untuk bertemu denganmu loh."

"Vian tidak melakukan hal aneh lagi kan?" Putri ikut mempercepat langkahnya sambil menatap Vian dengan cemas.

Beberapa hari kemarin Vian memang sudah cukup keterlaluan, jadi kali ini dia tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh, "Tenang saja, aku bisa menahan diri karena Jaka sudah menerorku."

"Jaka menerormu?"

Vian berdecak kesal, masih kesal dengan ancaman yang diberikan Jaka, "Dia mengancam dengan mengatakan mau mendekati perempuan untuk memanggilku keluar, kan menjengkelkan kalau dia sampai harus melakukan hal yang dibencinya."

"Ternyata Vian sangat perhatian ya pada Jaka?"

"Jangan mengatakan hal menggelikan begitu deh!"

•

Vian nyaris tidak pernah mengambil alih kesadaran saat jam pelajaran sekolah berlangsung. Tapi kalau disuruh memilih satu pelajaran favorit, Vian suka pelajaran olahraga.

Dan sekarang saat jam pelajaran olahraga, Vian mati-matian menahan bibirnya yang ingin sekali tersenyum. Dia tidak boleh membuat masalah lagi, tenanglah. Walau sudah setengah tahun berlalu sejak terakhir kali mengikuti olahraga di sekolah, Vian tetap harus menahan diri.

"Jadi siapa yang ikut melakukan pertandingan basket?"

Dengan gerakan cepat Vian mengangkat tangan kanannya, kedua bola mata coklat tua itu langsung berbinar senang saat guru benar-benar memilihnya.

Dan Vian melupakan niat awalnya. Dia benar-benar menikmati saat harus berlarian di lapangan sambil memantulkan bola basket dan berusaha merebut bola saat dipegang pihak lawan. Bahkan karena terlalu serius bermain, Vian sampai ikut melupakan kemampuan olahraga Jaka.

"Ternyata Jaka jago main basket ya? Aku tidak tahu."

"Kok tidak ikut eskul basket, Ka? Padahal bagus bangat loh permainanmu."

Saat teman-teman sekelasnya mendekat dan memberikan pujian setelah pertandingan berakhir, Vian langsung sadar diri, "Aku tidak jago kok."

"Bisa memasukkan tree point berkali-kali masa masih mencoba merendah sih?"

Yang tadi tidak sengaja, Vian bahkan tak tahu masih memiliki kemampuan olahraga seperti ini, "Kalian terlalu berlebihan."

Dan Vian terselamatkan dari hujanan pertanyaan setelah jam pelajaran olahraga selesai.

Saat jam istirahat di kantin, Vian menatap Yoga yang kini sedang duduk di hadapannya. Temannya ini tidak merasa curiga kan? Yang tadi masih ada ditahap aman kan? Daripada khawatir mendapat pertanyaan mengenai apa yang tadi dilakukannya, Vian mencoba bicara duluan, "Sepertinya aku benar-benar suka deh sama Putri."

"Jadi kau benar-benar serius dengannya?"

Vian mengangguk, dia memang serius sampai mau berlama-lama mengambil alih kesadaran, "Dia terlihat semakin menggemaskan saat kujahili sih. Kan aku jadi makin suka"

"Bukannya kau mengatakan merasa menyesal dan mau minta maaf?" tanya Yoga dengan nada heran.

Jaka yang minta maaf, bukan Vian, "Niat awalnya memang begitu."

"Sepertinya ada saat-saat kau ingin mengusili Putri ya?"

Oh, Yoga menyadarinya ya? Tapi untuk yang satu ini tidak masalah, Vian justru senang karena tindakannya masih bisa dianggap wajar, "Kalau suasana hatiku lagi bagus, aku jadi semangat untuk menjahilinya."

Yoga menggeleng menatap wajah bersemangat temannya ini, "Dasar."

"Oh ya, kalau besok-besok aku mendadak menanyakan apa yang kulakukan pada Putri, tolong dijawab ya!"

Yoga yang sedang meminum teh botol tersedak pelan mendengar permintaan aneh ini, "Kau mau menanyakannya lagi?"

"Iya," jawab Vian dengan santai seolah tidak peduli dengan rasa terkejut yang sempat dialami oleh Yoga.

Dengan jengkel Yoga kembali menutup botol teh yang dipegangnya, "Kau punya Amnesia ringan atau apa sih?"

Vian melirik ke arah lain, ini bukan Amnesia. Kata Lia ini bisa terjadi karena Vian dan Jaka tidak dapat berbagi pemikiran secara penuh, "Aku terkadang bisa melupakan hal penting yang sudah pernah kulakukan."

Yoga yang awalnya hanya berniat bercanda langsung menatap Vian dengan ekspresi tidak percaya, "Serius?"

Vian mengangguk yakin agar tidak membuat Yoga terlalu merasa khawatir berlebihan, "Tenang saja, ini bukan masalah yang terlalu serius kok."

"Baiklah, besok-besok aku pasti akan menjawab pertanyaanmu dengan benar."

Melihat wajah sungguh-sungguh Yoga membuat Vian merasa puas. Ternyata Jaka sudah memilih teman yang baik ya? "Oke, tunggu saja sampai aku bertanya ya! Dan dukung aku untuk bisa mendekati Putri."

Mendapat jawaban sebuah anggukan dari orang yang duduk di hadapannya, Vian tersenyum puas karena merasa Yoga sekarang berada dipihaknya dalam mendekati Putri.

Jaka pasti nanti memarahinya. Tapi untuk kali ini Putri lah yang salah karena sudah seenaknya membuat Vian harus mengambil alih kesadaran.

= bersambung =

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience