25 - Keluarga

Romance Series 688

Jaka sangat tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidaklah baik. Ayah yang selalu pulang kerja saat malam hari lalu menyebabkan Beliau cepat mudah merasa marah, dan ibu yang cukup sering pergi dari rumah tanpa memberi kabar apapun. Karena dua hal itu Jaka menjadi kurang mendapat kasih sayang.

Memang di rumah ada orang yang masih merupakan tentangga dibayar untuk mengurusi semua keperluan Jaka, tapi yang dibutuhkan Jaka adalah kehadiran orang tua. Bukan orang asing yang hanya menemani jika Jaka sendirian di rumah.

Jadi kalau sedang bermain dengan anak-anak seumurannya yang tinggal di dekat rumah, Jaka hanya bisa merasa iri jika ada yang membicarakan mengenai keluarga.

"Vian enak ya liburan kemarin jalan-jalan ke luar kota sekeluarga."

"Aku kemarin liburan hanya diajak main ke rumah Nenek doang."

"Ah, kalau aku diajak ke taman bermain loh."

Jaka tidak pernah sekalipun diajak jalan-jalan oleh orang tuanya, jadi dia hanya bisa menjadi pendengar saat teman-temannya sedang membicarakan mengenai liburan sekolah.

"Kalau Jaka selama liburan ke mana?"

Jaka menatap ke arah Kevin yang sepetinya sadar kalau dia sedari tadi hanya diam mendengarkan, "Aku hanya di rumah saja."

"Tidak pergi ke mana-mana? Apa Jaka tidak meminta orang tuamu untuk diajak jalan-jalan?" tanya Kevin untuk memastikan.

Jaka menggeleng, mana mungkin dia berani meminta hal egois semacam itu, "Mereka terlihat sibuk, jadi aku tidak memintanya."

Kevin tersenyum mendengar jawaban ini, dan dia lebih memilih untuk duduk bersama Jaka yang sedikit menyingkir dari teman lainnya yang masih membicarakan mengenai liburan. Walau terkadang ada beberapa teman perempuan yang sesekali menanyai Kevin, tapi sepertinya dia lebih memilih untuk menemani Jaka.

Memang tidak ada satu pun teman atau tetangga yang mengetahui masalah di keluarganya, Jaka juga tidak ingin bercerita kepada orang lain. Jadi kalau sudah bersama dengan Kevin seperti ini, Jaka benar-benar merasa iri, "Vian enak ya punya orang tua yang sayang padamu?"

Kevin menatap Jaka dengan raut heran, "Walau sibuk kerja, orang tua Jaka juga pasti sayang kok padamu."

Jaka hanya dapat memaksakan diri untuk tersenyum, dia bahkan tidak yakin dengan hal simpel seperti itu, "Iya sih, tapi aku tetap saja iri pada Vian."

Kevin tertawa, "Apa sih? Orang tuaku juga bisa marah juga kok padaku. Jaka salah jika mengira aku sangat dimanja oleh mereka."

"Apa yang Vian lakukan kalau sedang dimarahi?" tanya Jaka yang merasa penasaran.

"Aku sih lebih memilih diam dan mendengarkan saja, lagian marahnya juga sebentar saja kok."

Jaka menghela napas, kali ini dia merasa iri pada Kevin yang bisa mengatasi masalah sendiri. Andai dirinya juga dapat melakukan hal yang sama, pasti akan jauh lebih mudah bagi Jaka untuk bisa tenang walau harus menghadapi masalah.

.

.

.

Jaka menatap layar ponsel yang kini sedang menampilkan SMS dari ayahnya yang mengatakan kalau akan pulang ke rumah Wijaya.

Sudah hampir satu bulan ya? Ayahnya memang sangat fokus bekerja, sejak dulu Jaka sangat tahu akan hal ini. Dan sejak berpisah dari ibunya, sang ayah sekarang mendapatkan pekerjaan baru yang lebih disukai.

Memang pekerjaannya berada di luar kota dan membuat ayah tidak tinggal satu rumah dengan Jaka. Jadi bisa pulang ke rumah adalah kesempatan yang cukup langka, apalagi saat tidak ada libur panjang.

Tanpa sadar Jaka tersenyum saat ingat kalau dulu dia sangat ingin seperti Kevin yang selalu bisa terlihat senang walau terkadang orang tuanya bisa marah. Sekarang dia memiliki sisi itu pada Vian ya?

"Aku marah karena kau tidak pernah mengatakan namaku diambil dari nama Kevin."

Jaka tidak benar-benar berteman dekat dengan Kevin kok. Jaka hanya menganggap Kevin sebagai orang yang selalu membuatnya iri. Tapi karena sangat menginginkan memiliki sifat yang sama seperti Kevin, Vian bahkan dibentuk dengan beberapa sifat yang tidak disukai Jaka. Sifat yang terlalu baik pada perempuan. Ah, tapi Vian tidak selalu bersikap baik pada semua perempuan sih.

"Aku tidak mengerti kenapa aku juga bisa mengikutimu untuk sulit jatuh cinta."

Jaka dan Vian berbagi rasa sakit yang sama, wajar ada beberapa hal yang membuat mereka memiliki pemikiran yang sama. Seperti alasan kenapa sulit jatuh cinta. Mereka punya rasa trauma untuk bisa mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh.

Dengan lemas Jaka menaruh ponsel yang dipegangnya di atas meja, kemudian tiduran di tempat tidur, "Kan karena Ayah dan Ibu bercerai."

Walau Jaka dapat menjawab pertanyaan dari Vian, tapi dia tidak cukup yakin mengenai hal ini. Kan Vian bisa ada karena Jaka melarikan diri dari masalah, tapi kenapa untuk masalah ini Vian juga memiliki rasa trauma yang sama?

Memang sekarang Vian menyukai Putri, tapi kan awalnya hanya iseng mencoba saja. Vian juga tidak begitu mempedulikan kehadiran Putri sebelum ada insiden mengatakan suka. Jika pernyataan cinta itu tidak dilakukan secara tiba-tiba, Vian tidak mungkin bisa begitu bebas untuk mengambil alih kesadaran begini.

Jaka menghela napas dengan lelah, "Kau harus menggantikanku saat Ayah di sini."

Terasa semakin memusingkan jika mengingat hal merepotkan apa lagi yang harus dihadapi. Sekarang Jaka sudah sangat mengerti kalau ayahnya dulu bisa tempramental karena lelah mengurusi pekerjaan kantor, dan ibunya bisa menikah lagi karena kurang dapat perhatian juga. Hanya saja masih ada satu sisi pada diri Jaka yang masih sulit menerima apa yang sudah terjadi di masa lalu.

Dan lagi ini adalah tugas Vian. Walau sejak awal Vian juga tidak suka melakukan tugas ini, dia tetap harus mau melakukannya karena masalah bisa bertambah buruk jika Jaka yang mengambil alih kesadaran.

Karena mengetahui yang kini sedang dipikirkan Vian, Jaka mendecak kesal. Terlambat jika mau protes sekarang karena pembagian tugas ini diatur sendiri oleh Vian, jadi untuk apa Jaka harus diprotes?

Kenapa setelah akhirnya bisa berbagi pikiran justru Jaka jadi harus lebih sering merasa pusing? Sifat mereka memang terlalu berbeda, rasanya malah menjengkelkan jika ada dua pikiran yang bertolak belakang muncul secara bersamaan.

"Yaudah sih, kan kau yang membuatku bisa punya sifat seperti ini. Lagian kalau kita tidak berbeda, aku tak mungkin bisa menjadi alter-mu."

Iya, Jaka tahu, protes pada Vian sama artinya dengan protes pada diri sendiri. Apa lebih baik Jaka mendatangi Lia lagi ya? Ah, tapi Wijaya berniat untuk datang karena ada yang ingin dibicarakan. Jaka tidak mau semakin membuat sang kakek cemas, jadi mungkin lain kali saja dia menceritakan tentang rasa pusing yang dialaminya ini pada Lia.

=bersambung=

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience