17 - Terbiasa

Romance Series 688

Kalau ada suatu hal yang berubah mengenai dirinya, sudah menjadi keharusan bagi Jaka untuk menemui Lia, "Aku bertengkar dengan Vian."

Lia menghela napas. Setelah cukup lama pasiennya ini tidak datang untuk berkonsultasi, sekarang malah datang dengan mengatakan berita yang tidak begitu mengenakan, "Kalian akhirnya benar-benar bertengkar?"

Jaka mengangguk, "Tidak seperti dulu saat aku tidak menyukai kehadiran Vian kok. Aku hanya menerima tantangan Vian untuk menghadapi masalah sendiri."

"Jaka bisa melakukannya?" tanya Lia yang terlihat cukup terkejut.

Seharusnya memang tidak bisa. Karena Jaka melarikan diri saat harus mengatasi hal yang dianggap sebagai masalah, maka Vian hadir untuk menanganinya, "Karena bisa melakukannya jadi aku datang ke sini."

Lia mengangguk mengerti, pantas saja Jaka datang masih dengan memakai seragam sekolah, "Padahal aku sangat yakin Jaka mengalami kecemasan neurotik, tapi dugaanku terbukti salah karena Vian sekarang bisa tidak menggantikanmu."

"Memang aku mengalami ketakutan yang disebabkan oleh orang tua, tapi kan aku yang tidak ingin dekat dengan perempuan juga merupakan salah satu masalahku."

Tentu saja Lia tahu, tapi ketakutan Jaka untuk menyukai orang lain masih ada kaitannya dengan keluarga, "Walau selama ini aku sudah sering berbicara secara langsung dengan Vian, tapi bagaimana Jaka membuat personifikasi Vian?"

Jaka mengerutkan dahinya dengan bingung, "Maksud Ibu gambaran orang lain yang kuwujudkan sampai Vian hadir sebagai kepribadian gandaku?"

Selama ini Lia memang cukup sering menggunakan beberapa istilah yang terkadang cukup sulit dimengerti, tidak aneh Jaka lupa salah satunya, "Iya, siapa orang yang membuat Jaka sampai berpikir kalau dia pasti bisa mengatasi masalah?"

"Aku dulu juga pernah diberi pertanyaan yang sama kan? Dia bernama Vian. Karena iri padanya, aku pun membuat Vian yang ada di dalam tubuhku agar bisa seperti dia," jawab Jaka sambil menunjuk diri sendiri seolah sedang menunjuk Vian.

"Jaka memang beruntung ya dapat membangun kepribadian Vian dengan segala macam hal positif! Vian pasti saat ini senang karena bisa mengujimu."

Entah Jaka harus merasa beruntung atau sial dengan masalah kejiwaan yang dialaminya, "Aku harus bagaimana?"

"Tunggu saja sampai Vian mau keluar sendiri. Karena ini juga merupakan pembelajaran yang baik untuk Jaka, aku tidak bisa memberi saran lain."

Jaka menghela napas. Sepertinya sejak mengetahui kehadiran Vian di tubuhnya, Jaka tanpa sadar sudah menjadi terlalu ketergantungan pada Vian.

.

.

.

"Sekarang hari Jumat, Jaka, kenapa kamu malah memakai seragam batik?"

Jaka menatap kakeknya dengan bingung, "Bukannya sekarang hari Kamis?"

Wijaya menggeleng, "Ini hari Jumat. Bagaimana kamu bisa lupa padahal kemarin sudah memakai seragam yang sama?"

Yang Jaka ingat kemarin adalah hari Rabu, dan seragam batiknya ada di dekat meja belajar walau tidak dalam keadaan dilipat rapi. Apa dirinya membuat kesalahan lagi? "Maaf, aku akan menggantinya."

Ini bukan kali pertama Jaka salah mengenai hari. Pernah juga Jaka bercerita kalau hal semacam ini pernah terjadi beberapa kali. Wijaya yang mulai merasa ada yang salah dengan sang cucu memutuskan untuk menanggapinya dengan sangat serius , "Jaka, bagaimana kalau setelah pulang sekolah nanti kita mendatangi psikiater?"

Walau tidak benar-benar tahu mengenai pekerjaan seorang psikiater, tapi Jaka tetap menurut.

Dan setelah pulang dari sekolah, Jaka sekarang hanya duduk berdua di dalam satu ruangan dengan seseorang yang mempunyai pekerjaan psikiater. Wijaya memang dilarang masuk karena Jaka harus menceritakan masalah sendiri.

Sang psikiater yang sepertinya baru memasuki usia tiga puluhan sama sekali tidak terkejut melihat pasiennya masih tergolong sebagai anak kecil, "Baiklah, bagaimana kalau kita mulai dengan berkenalan? Aku Lia."

Karena sudah membaca name tag yang terpasang di jas putih yang dikenakan Lia, Jaka sudah tahu siapa nama wanita ini tanpa perlu berkenalan terlebih dahulu, "Aku Jaka."

"Apa Jaka tahu mengenai pekerjaanku?" mendengar pertanyaan yang sedikit tak terduga, Jaka mencoba menjawab seadanya saja, "Mengatasi masalah?"

Lia tersenyum, "Jaka benar, jadi apa masalah Jaka? Silahkan katakan apapun yang mau kau katakan, aku akan mendengarkannya."

"Aku sering melupakan sesuatu yang sudah pernah kulakukan sebelumnya. Seperti melupakan orang yang seharusnya sudah pernah berkenalan denganku, kegiatan saat di sekolah, bahkan hari ini aku juga mengira hari Kamis karena ingat tidur saat hari Rabu."

Lia mengernyit, masalah yang cukup aneh, "Ada lagi?"

Jaka terdiam sebentar, "Aku juga pernah lupa saat Ibu datang ke rumah."

Mengerti kalau ada masalah rumah tangga di sini, Lia mengangguk, "Apa Jaka tidak menyukai ibumu?"

"Aku tidak begitu menyukai saat bersama Ayah ataupun Ibu, mereka selalu bertengkar. Mereka bahkan terkadang memarahiku dan memberiku hukuman," jawab Jaka sambil menunduk dengan raut wajah sedih.

Dengan lembut Lia mengelus kepala Jaka. Bagaimapun tingkat KDRT yang sudah diterima anak ini, pasti sudah menimbulkan sebuah trauma, "Kecemasan neurotik ya?"

"Neurotik?" Jaka menatap wanita di depannya dengan tidak mengerti.

Sudah memberikan istilah yang sangat asing untuk anak ini, Lia mencoba menjelaskannya, "Kecemasan neurotik bisa dikatakan sebagai ketakutan terhadap hukuman yang akan diterima, padahal hukuman itu belum tentu diterima dan bersifat khayalan. Ini biasa timbul karena pernah dialami sebelumnya. Jaka mengerti?"

Bukannya mengangguk mengerti, Jaka justru memegangi kepalanya seolah sedang merasa kesakitan.

Mendapat respon yang tidak terduga, Lia memajukkan posisi duduknya dengan cemas, "Jaka baik-baik saja? Apa kepalamu terasa sakit?"

"Ugh... aku tidak mau menemui mereka, tidak mau. Aku tidak mau mendapat hukuman yang sama."

Lia menatap bola mata coklat tua milik Jaka yang sedang bergerak dengan gelisah seolah sedang mencari sesuatu, "Jaka?"

Saat mata mereka bertemu pandang, Jaka justru berdiri dari posisi duduknya seolah merasa panik. Tapi kemudian dia langsung memegangi kepalanya lagi, "Urghhh..."

Lia secara spontan ikut berdiri, sedikit merunduk untuk menyamakan tingginya dengan Jaka dan memastikan keadaan pasiennya ini masih baik-baik saja.

Setelah Jaka sudah tidak merintih kesakitan, Lia mencoba untuk bertanya lagi, "Jaka baik-baik saja?"

Kali ini Jaka mau menatap mata Lia, tapi dia justru terlihat bingung, "Kenapa kita berdiri?"

"Jaka tidak ingat apa yang baru saja terjadi?" tanya Lia yang terkejut mendengar respon Jaka.

"Apa aku baru saja melakukan sesuatu?"

Lia memegang keningnya. Dengan adanya kecemasan neurotik, tidak aneh jika anak ini membuat mekanisme pertahanan dengan berganti kepribadian. Tapi Lia sungguh tidak menyangka akan mendapati pasien dengan masalah kejiwaan yang bahkan kebenarannya masih belum pasti.

Setelah menenangkan dirinya dan menyuruh Wijaya masuk ruangan, Lia bahkan belum tahu bagaimana harus mulai memberi penjelasan.

"Apa cucu saya baik-baik saja?" Wijaya benar-benar terlihat khawatir karena Lia belum angkat suara.

Lia menghela napas, "Apa cucu Anda tipe anak yang ingin mencari perhatian?"

Wijaya menatap Jaka yang sedang menggelengkan kepala untuk menolak pernyataan Lia, "Setahu saya, dia bukan tipe yang ingin mencari perhatian. Apalagi cucu saya sudah punya terlalu banyak masalah di usianya ini."

"Baiklah, kalau begitu kesimpulan yang saya ambil kemungkinan tidak salah. Cucu Anda mengalami kepribadian ganda."

"Kepribadian ganda?"

Mengabaikan Jaka yang bingung, Lia menatap Wijaya dengan serius, "Saat ini saya memang tidak benar-benar yakin, tapi cucu Anda tadi sempat berganti kepribadian tepat di hadapan saya."

"Jadi harus ada pemeriksaan lagi? Kapan harus melakukannya?"

Dan hari Minggunya Jaka kembali ke tempat praktik Lia, dan lagi-lagi sebuah pertanyaan membingungkan diberikan, "Kalau Jaka mempunyai seseorang yang bisa mengatasi masalahmu, Jaka ingin memberi nama siapa?"

"Memberi nama?"

Lia hanya tersenyum melihat wajah bingung Jaka, "Jika Jaka boleh memberikannya nama, Jaka mau memberikan nama apa?"

Jaka terlihat berpikir sejenak, dan setelah berhasil membayangkan seseorang, senyum cerah terlukis di wajahnya, "Vian."

.

.

.

"Sudah lima tahun sejak pertama kali aku ke sini ya?" gumam Jaka yang mengingat segala macam hal yang pernah dilakukannya di ruangan milik Lia.

"Ini menginjak tahun ke enam kan? Sudah cukup lama juga ya? Sepertinya Jaka sekarang sudah benar-benar terbiasa dengan Vian ya?"

Tadi Jaka juga baru mendapat pemikiran yang sama. Mungkin karena terlalu bergantung, Vian sudah seperti mekanisme pertahanan tubuh yang wajib ada.

Padahal Vian bukan semacam obat atau orang lain yang dapat membantu, Vian adalah bagian dari diri Jaka. Atau bisa diartikan Vian merupakan Jaka yang tidak pernah lari dari masalah apapun yang datang dan akan selalu mencoba menghadapinya.

Entah kenapa Jaka harus kembali merasa iri jika harus mengingat peran Vian dalam tubuhnya.

= bersambung =

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience