28 - Perpisahan

Romance Series 688

Sebagai laki-laki yang baik, tentu Jaka menjadi orang pertama yang datang ke tempat janjian. Tapi walau dia yang mengajak kencan, tetap saja membingungkan harus memilih tempat apa yang harus didatangi. Jaka memang tidak tahu dan tidak mengerti tentang hal-hal seperti ini sebelumnya.

'Kau tidak ada niat ya kencan dengan Putri?'

'Memang kenapa? Kau mau menggantikanku?'

'Tidak. Aku hanya ingin memastikan kau akan menjaga baik-baik gadis yang kusukai.'

Jaka menghela napas dengan malas, kenapa hari ini terasa semakin berat untuknya?

"Maaf sudah membuatmu lama menunggu."

Terlalu sibuk berpikir membuat Jaka tidak sadar kalau sekarang Putri sudah berdiri di hadapannya. Mata Jaka dengan refleks langsung memperhatikan gadis ini yang memakai dress selutut berlengan panjang berwarna coklat, dengan sedikit memakai riasan di wajah, Putri terlihat lebih cantik dibanding biasanya.

"Ini Jaka?" tanya Putri dengan nada ragu.

"Kau berharap pergi dengan Vian?"

Putri tersenyum gugup, "Aku hanya tidak menyangka Jaka mau mengajakku pergi berdua begini."

Jaka tidak menanggapi ucapan itu dan masih sibuk memperhatikan Putri, tidak mempedulikan yang ditatap semakin merasa gugup dan malu.

'Dia manis kan? Sekarang puji dia.'

Mana mau Jaka melakukannya, "Jadi sekarang kita mau ke mana?"

"Ke mall?"

"Yasudah, ayo!"

•

Di hari Minggu tentu ada banyak pasangan yang datang ke mall, dengan niat untuk jalan-jalan, kencan, nonton, atau hanya sekedar menghabiskan waktu berduaan. Melihat mereka berjalan beriringan sambil berpegangan tangan membuat Putri merasa iri karena Jaka tidak melakukan hal yang sama.

"Kalau aku menggandengmu mungkin Vian bisa mengambil alih kesadaran."

Malu karena keinginannya ketahuan, Putri menunduk, "Aku sudah senang karena bisa jalan berdua dengan Jaka seperti ini kok."

Jaka memang selalu menghindari perempuan, bisa jalan berdua begini tentu merupakan sebuah keajaiban.

Tapi karena Jaka tidak pernah melakukan kencan, dibanding membuat perempuan yang bersamanya senang, dia malah tertarik dengan sesuatu yang lain, "Oh, ada rumah hantu yang dibuka di sini ya?"

Pertanyaan itu membuat Putri langsung menatap Jaka, jangan bilang mereka akan mencoba masuk ke sana. Tapi Jaka justru menunjukkan raut wajah yang begitu tertarik, "Bagaimana kalau kita masuk?"

"Ta- tapi–"

"Aku tidak menerima penolakan. Ayo, ke sana."

Tingkat keegoisan Jaka ternyata sama dengan Vian. Karena tidak dapat menolak, sekarang Putri sudah berada di antrian untuk masuk ke rumah hantu. Yang didengar dari pasangan yang antri di depan dan belakangnya, ini sedang populer untuk pasangan. Oke, dia senang karena Jaka mengajaknya, tapi Putri tetap merasa takut.

Dan lagi di depan pintu masuk sudah berdiri seorang perempuan yang memakai makeup menyeramkan, Putri rasanya ingin kabur dari sini. Tapi saat melihat senyum Jaka beserta ekspresi penasaran yang ditunjukkannya membuat Putri merasa rugi jika sampai melewatkan momen ini.

Jadi terpaksa Putri masuk. Ruangan gelap dan back sound menyeramkan sudah menyambutnya, tapi yang penting Jaka tetap berjalan di sampingnya.

"Kyaaa....," dengan refleks Putri menjerit dan merangkul tangan kiri Jaka saat seorang perempuan yang berperan menjadi hantu tiba-tiba muncul.

Putri memeluk lengan Jaka dengan sangat erat, mencoba menyembunyikan wajahnya karena terlalu merasa takut. Tapi kakinya terpaksa digunakan untuk berjalan menyamakan langkah Jaka agar tidak ditinggal.

Sedangkan Jaka masih terlihat tenang dengan suasana horor yang ada, wajahnya masih terlihat cuek saat satu per satu hantu muncul dan mencoba menakut-nakuti. Dia membiarkan Putri merangkul tangannya. Iya membiarkan, Jaka kan tidak setega itu mengabaikan Putri yang ketakutan.

Merasa hantu-hantu yang muncul tidak ada yang menghiburnya, Jaka memutuskan untuk berbicara dengan Vian, 'Kau cemburu?'

'Untuk apa aku cemburu pada diriku sendiri?'

'Sebelumnya kau merasa cumburu padaku.'

'Aku malah merasa senang. Walau Putri memelukmu begini, tapi kau masih bisa mengambil alih kesadaran.'

Benar juga sih. Biasanya yang seperti ini pasti membuat Vian menggantikan Jaka, 'Ini bukan karena kau yang membiarkannya?'

'Kalau memang butuh, aku secara otomatis pasti menggantikanmu. Tapi kau justru baik-baik saja tuh.'

Melihat pintu keluar rumah hantu yang sudah di dekatnya, Jaka menghela napas, 'Mungkin tubuhku jadi terbiasa karena kau selalu dekat dengannya.'

Vian sangat tahu Jaka tidak mungkin mudah untuk mengakui perasaannya, 'Benar kan kataku kalau akan ada kemajuan seperti ini?'

Saat sudah keluar, Jaka menghentikan pembicaraannya dengan Vian, "Kita sudah di luar, sampai kapan kau mau merangkulku?"

Setelah mendengar pertanyaan itu, Putri langsung sadar dengan apa yang dilakukannya. Dia buru-buru melepaskan diri, "Ma- maaf," kemudian menatap cowok yang bersamanya dengan seksama, "maaf karena aku selama di dalam menjerit terus. Jaka pasti terganggu."

"Tidak masalah."

Putri tersenyum senang, Jaka yang biasanya protes dengan hal kecil yang dilakukannya kini merasa biasa saja.

"Oh ya, aku mendapat saran film yang bagus, bagaimana jika kita nonton?"

Kalau hanya sekedar ajakan nonton, Putri akan menerimanya dengan senang hati, "Baiklah, ayo!"

Film yang dimaksud Jaka memang bukan film horor, melainkan film romance. Tapi dengan sad ending.

Sebagai seorang perempuan yang mempunyai perasaan begitu peka, Putri menangis saat melihat akhir dari film itu. Lagian perempuan yang menangis bukan hanya dia saja kok. Tapi hanya Putri yang dibiarkan menghapus air mata sendiri, sedangkan perempuan lain sedang diperhatikan pacarnya.

Daripada ingin melakukan hal yang sama seperti yang lain, Jaka malah merasa risi melihat mereka, "Kita mau ke mana lagi?"

Putri terlihat bingung sejenak mendengar pertanyaan ini, "Ah, aku ingin ke kamar kandi sebentar, tolong tunggu ya!"

"Kau tidak perlu terburu-buru, santai saja. Aku akan menunggu di depan ya?" setelah mengatakan itu Jaka melangkan keluar dari bioskop.

Melihat sikapnya, Putri yakin ini masihlah Jaka. Tapi daripada harus tersenyum-senyum terus, lebih baik Putri cepat menyelesaikan urusannya di kamar mandi agar Jaka tidak menunggunya terlalu lama.

Setelah berada di tempat terjangkau yang mudah ditemukan, Jaka berdiri diam sambil memperhatikan orang yang berlalu-lalang di dekatnya, 'Seperti yang kuduga, dia menangis.'

'Kau benar. Apa dia akan semakin sedih lagi setelah tahu keputusan kita.'

'Aku tidak ingin mengatakannya.'

Vian tahu walau Jaka terkadang sangat cuek, tapi dia tetap tidak ingin membuat seorang perempuan menangis, 'Biar aku yang mengatakannya.'

Ini memang akan menjadi urusan Vian dan Putri, jadi lebih baik Jaka membiarkan mereka menyelesaikan masalah sendiri. Dia tidak ingin ikut campur.

'Ah, Jaka, ayo masuk ke toko itu!'

Pandangan Jaka tertuju pada sebuah toko yang menjual berbagai benda-benda untuk perempuan, sedikit bingung dengan perintah Vian, 'Untuk apa?'

'Aku ingin membelikan Putri sesuatu.'

'Beli saja sendiri!'

Seharusnya Vian tahu Jaka tidak mau menurut, tapi minimal dia diizinkan mengambil alih kesadaran agar bisa melakukannya sendiri. Jadi sebelum Putri muncul, Vian buru-buru masuk ke toko itu.

Vian mungkin jauh lebih mengerti tentang perempuan dibandingkan Jaka, tapi tidak berarti dia bisa memilih barang yang ingin dibeli. Kalau ada banyak pilihan begini justru malah membingungkan, 'Apa yang harus kubeli?'

'Jangan tanya padaku! Lebih baik kau beli sebelum Putri kembali,' mendapat pertanyaan yang terlalu random membuat Jaka mengajukan protes.

Karena tidak ingin ketahuan, akhirnya Vian memutuskan membeli sebuah kalung perak dengan bandul huruf V. Tak salah kan kalau Vian ingin Putri terus mengingat dirinya? Walau hanya diwakilkan dengan satu huruf saja.

"Maaf membuatmu mengunggu, tadi toiletnya ramai sekali."

Jaka menghela napas, perempuan memang suka berlama-lama di toilet dan membuat suatu alasan ya? Tapi yaudahlah, itu malah membuat Vian bisa membeli sesuatu, "Tak masalah. Lalu sekarang kita akan ke mana?"

Yang diinginkan Putri hanya berjalan-jalan dengan Jaka, tapi jika mereka berkeliling tanpa arah tujuan bisa-bisa cowok ini kesal, "Bagaimana kalau makan? Apa tidak terlalu cepat?"

"Yasudah, kau saja yang pilih ingin makan di mana, aku yang akan membayarnya."

•

Setelah merasa cukup puas berkeliling, Jaka memutuskan mengajak Putri ke taman yang berada di dekat mall, "Ada yang ingin Vian katakan padamu."

Putri yang sebelumnya sedang memperhatikan suasana sunset dari taman beralih untuk menatap cowok yang berdiri di samping kanannya dengan bingung.

Jaka mengibas-ngibaskan tangannya, "Tidak, kau tidak perlu melakukan apapun. Cukup tunggu sebentar agar aku bisa melakukan pergantian ini."

Putri mengernyit bingung, apa dia sudah melewatkan sesuatu yang penting? Sejak kapan Jaka dan Vian bisa melakukan pergantian kesadaran dengan mudah?

'Jadi ini perpisahan untuk kita ya? Jangan merindukanku ya!'

'Diam kau! Lagian kita masih bisa terhubung sebelum besok,' karena Vian justru malah meledek sebelum mengambil alih kesadaran, Jaka lagi-lagi harus mengajukan protes dengan kesal.

"Baiklah, hal pertama yang sangat ingin kukatakan adalah, Putri manis sekali hari ini," Vian yang sudah menggantikan posisi Jaka langsung menatap Putri sambil tersenyum.

"Ma- makasih."

Vian menyentuh pipi kiri Putri kemudian mengusapnya dengan lembut, "Kau bahkan sampai berdandan begini, membuatku iri saja."

Putri menunduk gugup, masih belum terbiasa dengan sikap Vian, "Maaf, lain kali kalau kencan dengan Vian aku akan melakukannya juga."

Vian menjauhkan tangannya, "Tidak perlu. Walau tadi aku tidak mengambil alih kesadaran, tapi aku juga menikmati kencannya kok."

Putri menatap cowok yang bersamanya ini dengan bingung, bukannya lain kali mereka masih bisa melakukan kencan? Lalu kenapa Vian malah bicara seolah hal itu tidak dapat terjadi?

"Sepertinya ini lebih mudah dari apa yang kami duga. Aku dan Jaka besok akan menyatu."

"Apa?"

Kedua netra Vian beralih menatap pemandangan taman, menikmati angin yang berhembus pelan, "Kupikir ini baru bisa terjadi kalau Jaka bisa jatuh cinta, tapi ternyata hanya dengan membuatnya tertarik dengan perempuan kami sudah bisa menyatu."

Putri jelas merasa senang karena masalah Alter Ego Jaka bisa terselesaikan, apalagi dengan cara menyatukan dua kepribadian menjadi satu. Tapi kalau artinya dia harus kehilangan Vian... ini terlalu cepat. Putri belum siap.

"Maaf ya, padahal Putri baru saja menyukaiku, tapi aku malah harus meninggalkanmu."

"Ti- tidak, aku tidak apa-apa."

Vian kembali menatap Putri, seperti yang sudah diduga kalau gadis ini seperti ingin menangis, "Aku juga ingin minta maaf karena harus pergi sebelum bisa membuat Jaka menyukaimu."

Putri menggeleng perlahan, "Vian tidak salah."

"Tidak, aku salah karena melibatkanmu dalam masalahku. Tapi aku merasa senang karena Putri sudah mau bersabar dan menerima segala macam masalahku."

Kali ini Putri menunduk, menyembunyikan ekspresi sedih yang tergambar jelas di wajahnya.

Melihat reaksi ini membuat Vian tidak dapat menahan diri untuk memeluk tubuh Putri, "Aku menyukaimu. Sangat suka. Rasanya aku ingin menjadi kesadaran utama lalu menyingkirkan Jaka dan membuatmu menjadi milikku. Tapi Putri tidak ingin aku melakukan hal seperti itu kan?"

Merasakan Putri menggeleng, Vian kembali mencoba menghibur sambil mencoba memakaikan kalung yang tadi sudah dibeli, "Kalau begitu jangan sedih, jangan membuatku merasa sulit melepaskanmu. Walau sudah menyatu dengan Jaka, aku akan tetap ada untuk mencintaimu."

"Iya."

Vian melepaskan pelukannya sambil menatap kalung yang sudah menghiasi leher gadis ini, "Putri boleh saja menangis semalaman, tapi besok kamu harus kembali bersemangat karena masih punya tugas penting, yaitu membuat Jaka jatuh cinta padamu."

Putri membiarkan jemari Vian menghapus air matanya, "Aku akan berusaha."

"Aku sebenarnya tidak yakin Putri bisa menerima sikap baru kami. Tapi seperti yang pernah kau katakan, sifatku dan Jaka akan menyatu, jadi kamu akan menemui kami secara bersamaan. Jadi kuharap nanti Putri bisa semakin lebih menyukai kami."

"Iya, aku menyukaimu kok."

Vian tersenyum, rasanya sangat berat untuk menyelesaikan tugasnya, "Boleh aku menciummu?"

Putri mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.

Vian memisahkan jaraknya dengan Putri untuk mencium kening gadis ini. Dia melakukannya dengan sangat lembut untuk menggambarkan perasaan yang kini sedang dirasakan. Dengan suasana matahari terbenam, ini menjadi akhir bagi Vian bersama dengan Putri, "Terima kasih sudah mengizinkanku menyukaimu, Putri."

=bersambung=

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience