9 - Menghindar

Romance Series 688

Hari ini Putri berjalan di lorong sekolah masih dalam keadaan waspada, dia tidak ingin bertemu atau sekedar berpapasan dengan Vian. Lebih baik hindari sedini mungkin sebelum menyesal.

"Pagi~"

Tapi kewaspadaan Putri kembali berakhir dengan sia-sia, Vian masih memberikan sapaan yang sama, "Apa maumu?"

"Aku ingin Putri memilihku."

Kenapa rasanya Putri seperti terlibat cinta segitiga? Kan mereka hanya berdua di sini, "Aku sukanya pada Jaka."

"Aku juga memiliki tubuh Jaka kan? Apa Putri tidak gugup saat cowok yang kau suka dan tidak dapat dekat dengan perempuan bisa sedekat ini denganmu?" tanya Vian yang sengaja mendekati wajah Putri dan tidak lupa untuk menunjukkan senyum milik Jaka.

Ugh... Putri benar-benar lengah jika harus melihat senyuman yang membuatnya sudah memanggil Vian keluar. Dengan gugup Putri mendorong tubuh cowok ini untuk menjauh, dia tidak ingin Vian melihat wajahnya yang sedang memerah malu, "A- aku juga tidak suka kalau terlalu dekat begini."

Tangan kanan Vian memegang dagu Putri untuk dipaksa agar mau menatap wajahnya. Melihat mata hitam itu bergerak dengan gelisah, Vian mendaratkan bibirnya di pipi kiri gadis ini, "Percaya padaku, cowok jahil lebih menyenangkan."

Putri mematung. Apa-apaan tadi? Vian mencium pipinya? Dengan gerakan lambat Putri menyentuh pipi kirinya, tadi dia benar-benar dicium kan?

Dan kenapa Vian langsung kabur begitu saja tanpa mau mendengar protesannya? Jaka, tolong kembalilah ke tubuhmu. Jantung Putri tidak kuat menghadapi kepribadian gandamu yang sungguh sangat jahil ini.

Di jam istirahat, Putri berharap saat di kantin dan duduk bersama Tiara, Vian tidak mau mendekatinya lagi. Tapi ternyata pemikirannya salah.

Vian dengan cuek duduk di sampingnya seolah bersikap kalau ini memang adalah hal wajar yang sering terjadi, "Bolehkan aku duduk bersama kalian?"

Tiara terpaku melihat Vian yang bisa tersenyum dengan mudahnya. Cowok ini memang memiliki wajah Melayu yang tampan, dia juga merupakan salah satu siswi yang dapat merasa terpesona, "Tentu boleh. Tidak apa kan, Put?"

Melihat wajah temannya yang berbinar senang, Putri merasa tidak enak kalau menolak, "Iya."

"Aku tidak mengganggu kalian kan?"

Tiara menggeleng dengan cepat, "Aku yang merasa telah mengganggumu dan Putri."

Vian menatap Putri yang sedang memalingkan wajah ke kiri karena tidak ingin menatapnya, "Aku malah senang jika ada orang lain yang melihat interaksiku dengan Putri."

"Apa kalian sudah pacaran?" walau tahu kalau Putri sudah ditolak, tapi Tiara tetap saja merasa penasaran. Siapa tahu sekarang ada jawaban yang berbeda kan?

"Putri tidak ingin jadi pacarku, dia hanya ingin bisa dekat denganku."

Tiara langsung menatap Putri, meminta penjelasan karena setahunya temannya ini sudah mengatakan suka pada Jaka.

"Aku memang mengatakan hanya ingin dekat dengan Jaka karena kupikir akan ditolak jika aku meminta menjadi pacar," jelas Putri yang sengaja menyebut nama Jaka dibanding memakai kata 'kamu' atau 'dia'.

"Kata siapa aku akan menolak menjadi pacarmu?"

Oh, sial. Bagaimanapun Putri mencoba menghindar, Vian selalu saja punya cara untuk menjebaknya, "Walau kau mau, untuk sekarang aku tidak ingin jadi pacarmu."

"Baiklah, aku bisa menunggu saat Putri siap menjadi pacarku," ucap Vian yang dengan cepat kembali mencium punggung tangan kanan Putri, tidak lupa juga untuk memberikan sebuah senyuman jahil, dan setelahnya Vian meninggalkan meja itu.

Sementara siswi-siswi lain yang berada di kantin sedang histeris melihat kejadian tadi, Putri justru sibuk mengumpati Vian.

Vian memang pernah mengatakan mau menjemputnya kalau sedang mengambil alih kesadaran, tapi Putri tidak menyangka hari ini dia benar-benar dijemput.

Padahal sejak Vian membuat deklarasi mau terus mengambil kesadaran tubuh Jaka, Putri sengaja berangkat dari rumah sepagi mungkin. Tapi usahanya lagi-lagi terbuang percuma karena Vian sekarang sudah duduk manis di motor Honda Vario putih miliknya yang terparkir di depan rumah Putri.

"Aku sengaja datang untuk menjemputmu loh!" saat Putri sudah berdiri di dekat Vian, cowok ini justru tersenyum dengan santainya. Sama sekali tidak mempedulikan aura penolakan yang Putri tunjukkan.

"Kenapa harus dijemput?"

"Aku sudah janji kan?"

Putri sama sekali tidak ingat pernah melakukan suatu perjanjian dengan Vian, ini hanya keputusan sepihak yang sangat tidak disetujui olehnya, "Aku punya kakak laki-laki yang protektif tahu! Bagaimana kalau dia sampai melihatmu?"

"Mungkin aku harus minta izin padanya karena mau mengantarmu ke sekolah."

Melihat Vian yang ingin turun dari motor, Putri dengan cepat langsung duduk diboncengan motor untuk mencegah cowok ini pergi, "Sekarang ayo cepat berangkat ke sekolah!"

"Ini masih terlalu pagi, Putri. Tidak perlu terburu-buru karena kita tak mungkin datang terlambat."

"Aku ingin kita berangkat sekarang juga, Jaka."

Vian menyalakan mesin motornya dengan gerakan tidak niat, "Aku Vian."

Putri memegang kepalanya, dia benar-benar lupa, "Aku belum terbiasa dengan ini, dan nama Vian masih terasa asing untuk kuucapkan."

Tanpa memprotes karena sudah salah memanggil, Vian mengendarai motornya sampai sekolah. Dan karena letak rumah Putri yang tidak terlalu jauh dari sekolah, perjalanan yang mereka tempuh hanya memakan waktu kurang dari lima menit. 

"Padahal sudah kukatakan kalau tidak perlu terburu-buru," Vian mengeluh dengan malas karena saat ini hanya ada satu dua siswa saja yang juga baru sampai di sekolah.

Putri juga tidak ingin sampai sekolah secepat ini, rasanya sungguh berbahaya jika harus berduaan dengan Vian di suasana sepi begini, "Kamu yang menjemputku terlalu pagi."

"Kalau aku tidak menjemputmu, Putri bisa pergi meninggalkanku."

Ini apa? Kan Putri cuma pergi meninggalkan Vian untuk pergi ke sekolah lebih dulu, kenapa Vian bicara seolah-olah Putri mau pergi ke tempat jauh yang tidak bisa terjangkau?

Sedangkan Vian yang penasaran karena ucapannya tidak ditanggapi menatap Putri yang berjalan di sampingnya dengan penasaran, "Ngomong-ngomong, untuk beberapa hari ke depan tidak ada pelajaran yang melakukan ulangan kan?"

Putri terdiam sebentar untuk dapat mengingat kembali apa yang sudah pernah dikatan oleh guru, "Seharusnya tidak ada, kecuali ada guru yang memberikan ulangan dadakan."

Melihat Vian yang mengangguk mengerti, Putri justru merasa curiga, "Jangan bilang kamu tidak membawa buku pelajaran lagi."

"Aku membawanya kok, semua buku pelajaran dari Senin sampai Jumat kubawa semua."

Putri menatap ransel hitam yang dipakai Vian dengan pandangan tidak percaya, pantas saja tadi benda itu memakan tempat berlebih saat mereka naik motor, "Kenapa harus membawa semuanya? Apa tidak berat?"

Vian menyeringai senang, "Putri mengkhawatirkanku?"

Hampir saja melupakan bagaimana sifat usil Vian, Putri mempercepat langkahnya untuk menghindar. Cukup kemarin saja cowok ini seenaknya mencium pipi Putri, jangan sampai hal yang sama terulang kembali.

= bersambung =

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience