18

Romance Series 688

Penderita Alter Ego sering dihantui oleh masa lalunya, dan Jaka sudah cukup terbiasa jika harus memimpikan semua pengalaman pahitnya. Tapi saat melihat sosok dirinya sekarang sedang berdiri tepat di hadapannya, Jaka tidak tahu ini harus dianggap sebagai mimpi atau Vian dengan sengaja ingin menemui Jaka saat sedang tidur.

Yang manapun itu tidak penting, yang jelas Jaka tidak tahu bagaimana harus menanggapi pengalaman pertama yang sungguh membingungkan ini.

"Jadi bagaimana perasaanmu setelah kita akhirnya terhubung?"

"Aneh, apalagi aku harus berhadapan dan bicara dengan tubuhku sendiri."

Vian tersenyum, ekspresi yang membuat Jaka bertanya-tanya apa dia memang dapat menunjukkan wajah seperti itu, "Apa ini akan selalu terjadi saat aku sedang tidur?"

"Tidak kok, aku juga tidak ingin masuk ke dalam ruang pikiranmu. Tapi kita masih bisa berkomunikasi walau tanpa harus bertemu begini."

Jadi ini adalah satu-satunya kesempatan Jaka bicara dengan saling bertatap muka dengan Vian ya? "Kau benar-benar serius pada Putri?"

"Dia tidak menunjukkan reaksi aneh dengan perubahan sikap kita, dan dia juga tidak menatapku. Dia menyukaimu. Jaka tidak keberatan kan?"

Jaka menghela napas melihat ada sedikit rasa bersalah di wajah Vian saat bertanya, "Aku memang masih marah mengenai insiden tentang Rini, tapi sepertinya untuk kali ini tidak masalah."

"Aku sudah memilih perempuan yang tepat kan?" tanya Vian dengan nada riang.

"Putri memang berbeda dengan Rini, dia tidak terlalu ambisius menyukai salah satu dari kita. Bahkan dia masih menganggap kita normal walau mengetahui tentang masalah kepribadian ganda ini."

Vian tertawa, "Maaf harus mengatakan tentang rahasia kita. Habis aku ingin membuatnya mengetahui tentang keberadaanku sih."

Jaka menghela napas, keegoisan Vian membuatnya harus telibat dalam masalah aneh ini, "Dia perempuan yang aneh."

Vian mengangkat kedua bahunya kemudian berbalik untuk mulai berjalan menjauhi Jaka, "Tapi aku menyukainya. Dan aku tidak akan mengganggumu lagi untuk beberapa hari ke depan, sampai jumpa."

.

.

Sudah tiga hari berlalu sejak Jaka menerima tantangan dari Vian. Selama tiga hari ini Jaka menjalankan hari-harinya dengan tenang.

Seharusnya begitu.

Tapi itu tidak terjadi karena Jaka lagi-lagi mendapatkan pernyataan cinta dan juga sering didekati perempuan. Tentu Jaka menolaknya kemudian berlari pergi seperti biasa, walau beberapa detik kemudian langsung sadar kalau Vian tidak akan menggantikannya.

Dan setelah mimpi aneh yang sudah Jaka alami dua hari yang lalu, Vian sampai sekarang benar-benar tidak mengganggunya.

"Kenapa aku tiba-tiba mendapat pernyataan cinta lagi sih?" gumam Jaka dengan nada tidak mengerti.

Yoga yang hari ini juga menghabiskan waktu istirahat bersama Jaka menatap dengan pandangan aneh, "Kau tidak tahu alasannya?"

Jaka menatap Yoga dengan bingung, jadi ada alasannya? "Memang kenapa?"

"Karena Putri saat ini dekat dengan Kevin, mereka pun berpikir Jaka sudah tidak tertarik dengan Putri. Dan ini dijadikan kesempatan untuk kembali mendekatimu."

Ada atau tidaknya Putri bersama dengannya tetap membuat repot ya? Jaka benar-benar lelah sekarang, "Jadi berhubungan ya?"

"Tentu saja. Saat sebelum dekat dengan Putri, kau juga sering didekati perempuan kan?"

Sebelumnya jika ada yang mengatakan suka atau mencoba mendekat, Vian pasti akan menggantikannya. Tapi kali ini tidak, jadi Jaka selalu memikirkan tindakan penolakan yang sudah dilakukannya, "Apa tidak apa-apa aku menolaknya dan lari begitu saja?"

Yoga mengangguk santai, "Semua orang di sekolah sudah tahu kebiasaanmu."

"Apa aku tidak menyakiti perasaan mereka karena menolak dengan cara seperti itu?" tanya Jaka sambil menunduk, merasa bersalah.

"Bagaimanapun caramu menolak, kau tetap menyakiti perasaan mereka kok."

Iya sih, mereka memang bukan orang yang disukainya. Tapi Jaka tetap merasa bersalah karena sudah menyakiti perasaan orang lain, "Apa tidak ada cara menolak tanpa menyakiti perasaan mereka?"

Yoga menghela napas, "Saat kita siap untuk mengatakan suka pada orang lain, kita pasti siap dengan jawaban apapun yang diterima. Kau tidak perlu merasa bersalah begitu."

Ucapan Yoga memang benar, Jaka seharusnya tidak perlu begitu merasa bersalah. Tapi dalam keadaan begini, Jaka mendadak teringat saat pertama kali merasa begitu kesal dengan Vian.

.

.

"Apa Jaka punya saudara kembar?"

Jaka menatap perempuan yang saat ini sedang duduk di hadapannya dengan bingung, "Saudara kembar? Aku tidak punya."

"Masa? Kupikir Jaka punya dan dia pernah menggantikanmu. Habis Jaka terkadang sifatnya bisa berubah sih. Dan lagi saat sedang main basket atau sepak bola Jaka terlihat sangat keren. Aku merasa seperti melihat orang lain."

Jaka mengepalkan tangannya karena merasa kesal, tapi ekspresi wajahnya dipaksa untuk tetap terlihat tenang, "Jadi itu yang membuatmu menganggap aku punya saudara kembar? Dan kau merasa tertarik dengannya?"

"Iya, siswi-siswi yang lain juga kagum loh saat melihat Jaka ikut pertandingan olahraga. Aku suka melihat Jaka yang seperti itu."

Dengan gerakan cepat Jaka berdiri dari posisi duduknya dan langsung berjalan menjauhi perempuan bernama Rini tadi. Vian tidak boleh menggantikannya di depan gadis itu, Rini terlihat begitu terobsesi dengan Vian.

Yang tadi bukan pertama kalinya Jaka berinteraksi dengan Rini. Gadis itu sering mendekati Jaka, dan sering juga membuatnya harus berganti kesadaran dengan Vian.

Terasa begitu menyebalkan karena Jaka tidak tahu apapun saat Vian yang mengambil kesadaran, dan lagi Vian juga yang menentukan kapan ingin mengembalikan kesadaran pada Jaka.

"Ck, ini menjengkelkan," merasa sangat kesal setelah bisa menguasai tubuhnya lagi, Jaka pun memutuskan untuk bertemu dengan Lia. Berhubung hari ini tempat praktik tutup, Jaka memutuskan untuk langsung mendatangi rumahnya.

Saat sudah sampai dan perempuan yang terlalu muda untuk menjadi dokter itu kini berdiri di hadapannya, Jaka bicara dengan sungguh-sungguh, "Aku ingin Vian menyingkir dari tubuhku."

"Eh?"

"Dia terlalu semaunya, bertindak egois. Dia bahkan dengan sengaja membuat gadis-gadis tertarik padaku agar bisa mengambil alih kesadaran. Aku sudah tidak tahan lagi, aku ingin Bu Lia melakukan terapi apapun yang dapat membuat Vian hilang dari tubuhku."

"Tunggu sebentar, Jaka, kamu ingat kan kalau kita sudah mencoba beberapa terapi?"

"Aku tidak tahan, Bu, tolong singkirkan Vian sekarang juga. Aku tidak membutuhkannya, aku ingin menjadi anak normal seperti yang lainnya."

"Jaka," dengan lembut Lia memegang kedua bahu Jaka, "kamu harus menenangkan emosimu dulu. Ingatlah kalau Vian hadir untuk menyelamatkanmu, dia tidak bisa dihilangkan jika kalian sampai bertengkar. Jika Jaka sudah merasa terbiasa dengan kehadiran Vian, dia bisa saja menghilang dengan sendirinya. Jangan melupakan pilihan yang ingin kamu ambil."

Jaka menunduk untuk menghilangkan rasa kesalnya, dia tidak boleh marah, rasa kesalnya ini tak boleh sampai berakhir menjadi rasa marah yang berlebihan, "Maafkan aku."

Lia tersenyum, dengan lembut dia mengelus kepala Jaka, "Sekarang Jaka pulanglah. Dengan istirahat dan tidur, kegelisahanmu pasti secara perlahan bisa menghilang."

Jaka mengangguk perlahan. Tapi Jaka tidak ingat bagaimana perjalanan pulang yang ia tempuh dari rumah Lia.

Saat sadar, Jaka sudah mendapati tubuhnya berada di dalam kamarnya. Dan ada sebuah kertas yang berada di dekatnya. Ada tulisan tangan Vian di sana, hanya ada dua kata yang tertulis. Dua kata yang langsung membuat Jaka mendapat ketenangannya kembali.

'Maafkan aku'

= bersambung =

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience