23 - Bicara

Romance Series 688

Berbicara dengan seorang cowok adalah hal normal. Tapi jika cowok ini terkenal karena susah didekati perempuan dan juga merupakan orang yang disukai oleh teman sendiri, itu bukan hal wajar yang bisa terjadi.

Mengerti jika ada kesalahpahaman yang terjadi, Tiara harus memberi penjelasan pada Putri setelah semua jam pelajaran habis.

Karena sudah cukup lama tidak mengobrol dengan Putri, dan kini temannya itu malah salah paham, tentu saja Tiara panik. Jadi saat bel pulang berbunyi, Tiara langsung mengejar Putri yang keluar dari kelas dengan langkah terburu-buru, "Putri, tunggu sebentar, tolong jangan salah paham."

Putri tidak mau menghentikan langkahnya. Dia yakin yang tadi pasti Jaka, tapi kenapa cowok itu bisa mengobrol dengan Tiara sesantai itu? Kenapa Jaka yang seolah selalu menghindari perempuan bisa mengobrol akrab seperti tadi?

"Sejak awal aku mendukungmu kan? Aku hanya sekedar mengobrol dengan Jaka kok, tidak ada yang khusus."

Putri tahu Tiara tidaklah bersalah. Lagian ada hak apa dia merasa cemburu begini? Dia kan bukan pacar Jaka. Tapi Putri tidak dapat membendung rasa irinya pada Tiara karena bisa dekat dengan Jaka tanpa melakukan usaha apapun.

"Tadi aku dan Jaka membicarakan Kevin."

Putri menghentikan langkahnya dengan bingung. Kenapa Jaka membicarakan Kevin? Dan bersama dengan Tiara juga juga lagi. Ini jelas bukan hal biasa, "Kalian membicarakan Kevin?"

Tiara terlihat senang karena Putri sudah mau mendengar penjelasannya, "Aku dan Jaka dulu sama-sama mengenal Kevin, jadi kami cuma membicarakannya kok."

Putri menatap Tiara yang sudah berdiri di depannya dengan bingung, "Mengenal Kevin?"

"Iya. Aku dan Kevin satu SMP, sedangkan Jaka katanya saat kecil tetanggaan dengan Kevin dan sering bermain bersama. Karena Kevin sejak dulu tidak pernah berubah, jadi kami membahasnya. Itu saja kok."

Sepertinya Putri memang belum banyak tahu tentang Jaka. Tidak, lebih buruk dari itu. Ternyata dia belum begitu mengenal Tiara, "Urghh.. maaf, seharusnya aku tidak perlu cemburu padamu."

Tiara tersenyum, dia mengerti kenapa Putri bisa bertindak cukup berlebihan, "Tidak, bagiku itu wajar kok. Jaka memang tidak mudah dekat dengan perempuan kan? Wajar Putri cemburu padaku."

Putri ikut tersenyum, tapi karena masih ada yang membuatnya penasaran, dia kembali bertanya, "Memang kenapa Tiara dan Jaka membicarakan Kevin?"

Tiara terdiam sesaat. Dia belum siap menceritakan mengenai hubungannya dengan Kevin, mungkin lebih baik mencari alternatif jawaban lain saja, "Putri dan Kevin mendadak dekat, jadi kami malah membahas sikap Kevin yang sepertinya tidak berubah."

"Tidak berubah? Memang Kevin kenapa?" tanya Putri dengan bingung.

"Kevin masih tetap baik pada perempuan. Pandanganku dengan Jaka sepertinya memang sama."

"Kenapa kau ikut-ikutan mengintip?" tanya Vian dengan nada tidak suka.

Kevin menghela napas dengan malas, "Memang kau saja yang merasa penasaran?"

Vian senang karena tadi ada seorang perempuan yang mengatakan suka pada Jaka jadi dia bisa mengambil alih kesadaran begini. Tapi kalau dipertemukan dengan Kevin... dia jadi malas.

Apalagi setelah tahu kalau namanya diambil dari nama cowok yang sedang berdiri di sampingnya, Vian semakin malas berurusan dengan Kevin, "Untuk apa kau mengintip mantan pacarmu?"

"Darimana kau tahu?" tanya Kevin yang terlihat cukup terkejut, padahal dia yakin kalau satu sekolah belum ada yang mengetahui tentang masa lalunya dengan Tiara.

Jari telunjuk Vian mengarah ke depan, "Tentu saja dari Tiara."

Kevin kembali menatap dua orang perempuan yang berdiri cukup jauh darinya, "Aku merasa bersalah jika mereka sampai bertengkar."

"Mereka seperti ini karena aku tahu."

"Jadi ini salahmu?"

"Kau juga salah!"

Hari Minggu adalah hari Jaka melakukan konsultasi. Banyak hal yang sudah terjadi, tapi tidak banyak yang bisa dia bicarakan pada Lia. Ya, tidak banyak karena sebelumnya Jaka sudah ke sini untuk bercerita.

"Jaka sudah benar-benar bisa terhubung dengan Vian?" tanya Lia dengan bingung.

Jaka mengangguk, "Sejak aku mendengar suara Vian, aku mulai tahu apa yang dipikirkan atau yang dirasakan Vian."

Pada dasarnya Jaka dan Vian memang satu orang yang sama, wajar kalau hal ini bisa terjadi. Tapi Lia tetap penasaran karena Jaka belum memberi penjelasan secara detail, "Memang apa yang sedang terjadi saat Jaka bisa mendengar suara Vian untuk pertama kalinya?"

"Saat temanku mengatakan aku mungkin cemburu pada Putri, tiba-tiba Vian juga mengatakan hal yang sama."

Ohh, jadi Jaka benar-benar merasa cemburu pada Putri? Berarti tidak salah keputusan Lia membiarkan Vian dekat dengan Putri. Ini membuat Jaka jadi harus memikirkan gadis itu, "Sepertinya dengan kehadiran Putri membuat kemajuan dalam masalah Alter Ego-mu."

Kenapa ucapan dokter ini selalu benar sih? Jaka merengut tidak terima, "Vian dan Putri sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah dengan menyatukanku dengan Vian."

"Jaka setuju?"

"Aku tidak yakin. Tapi melihat Putri bisa membuat kemajuan seperti ini, aku memilih membiarkannya dulu. Mungkin saja kan dia benar-benar dapat melakukannya?"

Walau sebelumnya Jaka sudah setuju dengan memilih dirinya atau Vian untuk mengambil alih kesadaran utama, tapi cowok ini masih menginginkan menyembuhkan Alter Ego dengan cara menyatukan Vian dengan dirinya.

Lia tersenyum, senang karena Jaka memilih cara penyembuhan yang tepat, "Jika Jaka sudah setuju, aku juga akan ikut membantu. Ini mungkin tidak mudah untukmu, tapi ini memang penyelesaian masalah yang paling benar."

"Iya, aku akan berjuang."

"Aku mungkin akan merindukan Vian jika ini semua sudah selesai."

Jaka menghela napas, dokternya ini ada-ada saja, "Sepertinya aku terlalu lama ya?"

Lia memang memberikan Jaka waktu konsultasi setelah jam praktiknya selesai, tapi tidak berarti mereka bisa menghabiskan waktu terlalu lama, "Kau benar. Sepertinya aku selalu lupa waktu jika sudah mendengar konsultasimu."

Jaka berdiri dari duduknya, "Maaf merepotkan. Dan terima kasih atas waktunya."

"Ah, Jaka, jika sampai Vian bisa mengambil alih kesadaranmu dengan mudah tanpa syarat harus dekat dengan perempuan dahulu, tolong kembali ke sini ya!" sebelum Jaka berbalik pergi, Lia memberikan peringatan terakhir.

"Apa itu sesuatu yang buruk?" Jaka terlihat khawatir karena setelah sekian lama ini pertama kalinya Lia memberikan peringatan lagi.

Walau Lia sudah menjadi dokter kejiwaan, tapi tidak berarti dia mengetahui semua hal mengenai kepribadian ganda, "Tidak juga sih. Aku hanya khawatir jika Jaka dan Vian kembali saling berebut kesadaran."

Masalahnya memang merepotkan, Jaka memegang kepalanya untuk menahan rasa pusing, "Aku tidak mengerti kenapa harus sampai mengalami keribadian ganda."

Lia terkikik, padahal pasiennya ini sangatlah tahu mengenai masalah yang terjadi, "Ini lebih baik daripada Jaka kehilangan kesadaran dan menjadi gila kan?"

Jaka tersenyum, kehadiran Vian memang jauh lebih baik dibanding dia harus kehilangan kewarasannya, "Iya, baiklah aku akan pulang sekarang sebelum Kakek khawatir."

"Hati-hati di jalan ya!"

"Iya."

Lia memperhatikan Jaka yang perlahan berjalan keluar dari ruangannya. Dari semua pasien yang ingin konsultasi padanya, dia selalu menunggu kedatangan Jaka. Ekspresi Jaka yang terlihat selalu khawatir membuat Lia ingin memberi bantuan.

"Auntie Lia."

Dokter muda yang sedang bersiap-siap untuk pulang melihat ke arah pintu ruangannya, ada seorang anak berusia 16 tahun berdiri di sana, "Ah, tumben sekali kau datang ke sini, ada apa?"

"Aku kebetulan lewat, jadi sekalian mampir. Aku ingin tanya, yang tadi Jaka Mahardika kan?"

"Kamu mengenalnya?" tanya Lia sambil menatap keponakannya dengan bingung.

"Dia teman sekelasku"

Lia mengangguk mengerti, "Iya ya, kalian memang seumuran. Lalu kenapa wajahmu terlihat pucat, Kevin?"

=bersambung=

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience