5

Drama Completed 691

Adora melangkahkan kakinya menuju kelas XI MIPA 3 untuk melihat Attaya. Pria itu akan pulang paling terakhir, ia akan menghabiskan waktunya di kelas bersama tiga orang temannya entah untuk apa.

"Aih, Atha jangan photo-photo mulu dong! Memori gue abis!" seru pria yang Adora yakini adalah Tirta.

Apakah Adora salah mendengar? Seorang Attaya? Photo-photo?

"Pelit amat lo bambang! Gue mau upload buat story tau!" Attaya menjawab.

Adora tersenyum sumringah. Ia harus melihatnya nanti dan harus menyimpan photo itu.

"Tha, lo udah dengar tentang Sixpack belom?" tanya Nando yang sibuk dengan ponsel pintarnya.

"Sixpack apaan jir? Badan kotak-kotak?" serobot Tirta.

"Nora banget si kambing satu ini, Sixpack itu girlband baru yang personilnya cantik-cantik. Dan lo tau nggak sih? Adora itu salah satu personilnya?" Attaya yang mendengar itu langsung tersentak.

"APA!" Tirta yang sama kagetnya.

"APA!!!" Attaya juga menambahkan.

"APAAAAAA!!!!" Adora keceplosan yang membuat ia menjadi pusat perhatian ketiga cowok tampan di dalam kelas XI MIPA 3 petang itu.

"Sejak kapan lo di situ?" tanya Attaya dingin.

Adora tersentak. Kenapa ia bisa keceplosan begini sih? Kan jadi tidak bisa mengintip Attaya lagi. Huh, Adora bodoh!

"Gu-gue hmm-"

"Lo member Sixpack kan?" serobot Farhan seraya membenarkan letak kacamatanya.

Adora melongo. Sixpack itu apa? Ia bahkan tak tau apapun soal itu.

"Tapi kalo di Sixpack lo selalu pakai wig pendek kan? Terus juga di dandanin sampai lebih putih. Iyakan? Iyakan?" tanya Farhan lagi yang semakin membuat Adora bingung.

Adora tak berkata apa-apa lagi. Ia segera berlari menuju rumahnya. Ia akan mencari tau apa itu Sixpack dan siapa yang dimaksud oleh Farhan.

***

"Woy Devan! Udahan main kartunya. Adek gue bilang dia otw pulang!" seru pria dengan wajah paniknya ketika melihat layar ponselnya.

"Yah Dirga, lagi seru. Bentar lagi," sanggah Devan yang diangguki oleh Lana.

Dirga berdecak. "Ck. Lo berdua ngertiin dong. Kalo adek gue pulang dia bisa ngamuk sama gue karena kartu--"

"KARTU UNO GUE! SIAPA SURUH KALIAN MAININ?" potong gadis dengan raut wajah kesal.

Dirga mengangkat tangannya. "Bukan gue, mereka yang mau mainin." ucap Dirga yang langsung mendapati tatapan tajam dari kedua sahabatnya.

"DASAR KALIAN WAHAI EMBER-EMBER BERNYAWA, PULANG SE-KA-RA-NG!!!" seru Adora yang membuat Devan dan Lana mengambil tas selempang mereka lalu ngacir begitu saja.

Sekarang tatapan Adora beralih kepada Dirga. Dirga yang dilihat intens begitu hanya diam tak berkutik.

"Tega lo ya Bang, tega!"

"Duh mulai drama nih, siap-siap gue nggak tidur semalaman." batin Dirga.

Semalam.. Bobo dimana? Bobo sama siapa? Ngapain aja...

Ringtone ponsel Dirga menggelegar di rumah yang hanya ditinggali kakak beradik itu.

Tanpa ragu Dirga mengangkat panggilan itu. Ia langsung tersenyum sumringah. "Oh iya. Dirga otw ke bandara ya."

"Siapa yang telfon?" tanya Adora ketus. Ia masih marah kepada Dirga, namun ia juga penasaran.

"Mama sama Papa, mereka balik ke Jakarta." jawab Dirga dengan wajah datar.

"Oh,"

"Dor, kalau nanti mereka ngomong yang macam-macam nggak usah dimasukkin ke hati ya."

"Tenang aja Bang, gue mah bawa santai aja. Lagipula mereka orang tua gue juga hehe."

Dirga tersenyum lalu mengacak puncak kepala Adora dan kemudian berlalu menggunakan mobil merahnya itu.

Adora menghela nafas. Entah untuk berapa lama ia akan mendengarkan pidato dari kedua orang tuanya.

"Mending gue cari tau tentang Sixpack aja," gumam Adora. Ia kemudian memasang kabel charger pada ponselnya dan segera menyalakannya.

Ya, baterai ponselnya habis. Terakhir dipakai untuk menghubungi Dirga bahwa ia akan pulang.

Ia mulai mengetikkan huruf demi huruf di internet. Akhirnya setelah beberapa saat menunggu muncullah foto-foto gadis cantik.

Ia menyusuri internet sampai tak perduli dengan perutnya yang lapar. Matanya membulat tak percaya. Ia benar-benar melihat salah satu personil girl band itu yang sangat mirip dengannya. Ini pasti tidak salah lagi.

***

Dirga memasuki rumahnya setelah selesai memarkirkan mobilnya. Baru saja ia melangkah satu kaki ke dalam rumah. Sudah ia dengar perdebatan antara ibunya dan Adora.

"Anak perawan malas banget sih, rumah mirip kandang ayam begini bukannya dibereskan!" bentak Amara, ibu Adora dan Dirga.

Adora hanya menghela nafas, ia malas untuk melanjutkan perdebatannya dengan sang ibu itu. "Kamu contoh Kakakmu itu dong. Dia rajin, cantik, pintar juga. Dia bisa sukses di usianya yang masih muda. Kamu ini bisanya apa sih?" cerca Amara. Adora hanya menunduk. Ia tak tau harus berkata apa.

"Stop lah Ma, kasihan Adora. Lagian semua anak punya bakat masing-masing kok." lerai Dirga yang mendapat tatapan intenst dari Amira.

"Bakat? Anak ini punya bakat apa?" tanya Amira sambil menunjuk Adora. "Kamu Dirga, kamu hobby memasak sampai menjadi koki dan memenangkan lomba masak nasional. Lalu Putri, dia senang bermain bola. Akhirnya? Dia menjadi atlet sepak bola wanita yang sedang mewakili Indonesia di ajang AFF." sambung Amira.

"Dan juga Adera, gadis cantik kesayangan Mama hobby menyanyi dan menari, sekarang ia sukses dengan debutnya sebagai bagian dari Sixpack. Lalu apa kabar dengan Adora?" lanjut Amira lagi.

Adora sudah tak tahan. Ia segera pergi ke lantai atas dan memasuki kamarnya.

"Tapi Ma, nanti juga Adora sukses kok. Tunggu waktu yang pas aja!" terdengar suara Dirga yang tak mau kalah.

"Ah, dia memang bukan anak yang berguna." Amira menyahuti.

"Sudah jangan bertengkar, lebih baik kita menonton pertandingan Putri. Kita ke Jakarta kan untuk menonton pertandingan Putri." ucap Bram dengan wajah tenang.

"Yasudahlah,"

Hati Adora sangat sakit. Ia merasa kesal kepada dirinya sendiri. Kenapa ia tak bisa menjadi seperti kakak-kakaknya?

"Vano, gue butuh lo."

Tak lama setlah mengucapkan kalimat itu, muncul seorang pria dengan kaos oblongnya dengan celana selutut berwarna coklat.

Adora tercengang. Apakah Vano mendengarnya? Padahal ucapan Adora sangat lirih tadi. Aneh.

"Tadi gue lihat orang tua lo datang lalu pergi bareng Bang Dirga. Jadi gue kesini buat mastiin lo baik-baik aja. Lo nggak apa-apa kan?" tanya Vano panjang lebar.

Adora tak menjawab. Ia berlari keambang pintu lalu memeluk Vano. Ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Vano. Tanggis Adora pecah saat itu juga. Tangis yang selama ini ia tahan.

"Luapin aja, gue akan selalu ada buat lo." ucap Vano menenangkan seraya menepuk pelan bahu Adora.

"Van."

"Apa?"

"Apa Mama benar ya? Kalau gue ini anak nggak berguna?"

"Ssstt. Jangan percaya, Tuhan nggak akan menurunkan seseorang dari langit ke bumi tanpa tujuan."

"Bohong!" kesal Adora lalu melepas pelukannya dan menghapus bercak air mata dengan ibu jarinya.

"Lo itu berguna Adora, berguna. Tunggu waktu yang tepat aja nanti."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience