24

Drama Completed 691

Attaya mendorong kursi roda milik Adora untuk menjelajahi taman. Adora nampak senang, wajahnya sangat ceria hari ini.

Sepertinya, mawar putihku ini sudah mulai membaik. -batin Attaya.

"Eh, Tha. Ador normal nggak sih?" tanya Adora tiba-tiba. Attaya tersentak, pertanyaan apa ini?

"Ma-maksudnya gimana?"

Adora menoleh ke arah Attaya. "17 tahun tapi belum pernah makan kinderjoy."

Attaya tertawa lalu mengacak rambut Adora gemas. "Mau kinderjoy?"

Adora mengangguk antusias mendengar tawaran Attaya. "Ya udah, tunggu sini. Gue ke minimarket depan dulu ya."

Attaya pergi. Gadis dengan wajah pucatnya itu menghela nafas, sesekali mencengkram bajunya.

Adora memejamkan matanya, ia terus-terusan memohon kepada Tuhan dalam hatinya agar bisa bertahan lebih lama lagi. Ia sangat menginginkan Tuhan memberi keajaiban kedua kali kepadanya.

"Hey, ini kinderjoy nya," suara Attaya tiba-tiba membuat Adora membuka matanya lalu tersenyum manis.

Attaya juga membalas senyum gadis manis nya itu. "Sini, gue bukain."

Attaya membuka bungkus kinderjoy itu. Adora nampak kepo sekali sampai kepalanya dimiringkan ke samping.

"Eh, ada hadiahnya kan? Mana? Ador pingin lihat dong!" Attaya mengangguk lalu memberikan Adora sebuah barbie kecil dengan sayap berwarna hijau.

Sifat kekanakan Adora lah yang membuat Attaya mencintai gadis itu. Ia manja, gadis itu juga cengeng. Intinya, Attaya mencintai gadis itu.

"Tha, kalo misalnya Ador pergi. Apa yang bakal Attaya lakuin?" tanya Adora di sela-sela melahap kinderjoy miliknya.

Attaya tercekat. Ia menatap Adora tepat pada manik gadis itu. "Kamu nggak boleh ngomong begitu! Mana sih semangat Adora yang aku kenal? Mana sih semangat Adora yang tetap hadir meski nggak diinginkan?"

Adora tercengang. Attaya baru saja mengganti panggilannya menjadi aku-kamu. Tapi, bukan hanya hal itu yang membuat Adora tercengang. Kata-kata Attaya sangat berdampak baginya.

"Emang lo tega? Ninggalin semua orang di sini? Ninggalin Bang Dirga, Kak Putri, Vano, Mama lo, Fanny, Karina, Vallen ... gue? Lo tega? Kita semua ada di sini, jangan menyerah Dor. Kita semua sayang lo, apapun bakal kita lakuin agar bisa membuat lo sembuh, masa lo nggak ada semangatnya sih?"

Lagi dan lagi, Attaya memojokkan Adora. "A-Ador kan cuma nanya--"

"Gue tahu ke mana arah pertanyaan lo, gue mohon Dor. Mohon se mohon-mohonnya. Gue janji kalau nanti lo sembuh, gue bakal makan bekal buatan lo yang banyak, yang lahap!" Attaya kembali nyerocos, akhir-akhir ini ia menjadi pria yang sangat bawel.

Mata Adora mulai berkaca-kaca. Ia tak menyangka bila sosok Attaya dan dingin bisa menjadi seperti ini. Sekarang ia semakin bingung. Di satu sisi, ia tak mau meninggalkan banyak orang yang di sayanginya. Namun, di sisi lain ia sepertinya tak akan mampu melawan penyakit ini. Apalagi kemarin, dokter menyatakan keadaannya semakin parah.

Adora mulai sesegukan. Attaya yang paham segera memeluknya, membawa gadis itu dalam dekapannya.

"Tha, Ayah Ador pernah cerita kalau misalnya kita kangen sama seseorang yang sudah meninggal. Lihat bintang yang paling terang di langit, itu adalah orang yang lagi kamu kangenin. Dia hadir, melalui bintang," ucap Adora yang masih dalam dekapan Attaya.

Attaya tersenyum sekilas. "Lalu?"

"Ador pingin deh lihat bintang paling terang, mau ngobrol sama Ayah."

Attaya menyengrit. "Ini masih sore, kalau mau nanti malam."

"Kan Ador nggak bilang sekarang."

"Kan lo juga nggak bilang mau lihat pas malam."

Adora mendorong Attaya pelan, namun Attaya langsung tersungkur ke rerumputan taman. "Aduh, aduh."

Attaya akting, Adora tahu itu. Adora berdiri dari kursi rodanya. Ia menibankan dirinya ke atas Attaya. Mereka membeku, saling mengunci tatapan selama beberapa detik.

Lalu, Attaya menggelitiki pinggang Adora. Mereka bermain di sana. Dengan tawa Adora yang terdengar, semakin membuat Attaya beranggapan bahwa gadis ini akan sembuh.

Sungguh, 15 Oktober yang sangat indah.

***

Attaya benar-benar menepati janjinya, ia membawa Adora menuju taman rumah sakit. Kali ini tidak menggunakan kursi roda, Attaya menggendong Adora di punggungnya.

Attaya menaruh Adora di salah satu kursi taman rumah sakit. Mereka langsung mengadahkan kepala, melihat langit. Salah satu bintang nya sangat terang.

Adora mengulum senyum. "Itu, bintang paling terang."

Attaya hanya tersenyum. Sesekali mengelus rambut Adora lembut.

"Ayah, besok Ador ulang tahun. Attaya juga, ini Attaya. Si cowok yang ngasih Ador kotak musik babi itu lho," ucap Adora. Ia memandang Attaya sekilas.

"Adora ini, perempuan yang berhasil membuat hati saya nggak kosong lagi, Om. Saya memilih dia, Om. Boleh ya puteri Om saya jadikan Ratu saya?" Attaya, ini semua adalah ucapan Attaya. Adora sampai melongo takjub mendengar ucapan Attaya barusan.

Attaya menoleh ke arah Adora lalu tersenyum kecil. Ia menggenggam lengan Adora lalu kembali menatap langit.

"Om, saya minta tolong dong. Tolong sampaikan kepada Tuhan, jangan ambil dulu mawar putih kesayangan saya ini," ucap Attaya lagi.

Adora tersenyum sekilas. "Tha, Ador boleh minta kamu peluk Ador nggak? Yang lama, Ador kedinginan,"

Raut wajah Attaya berubah panik. "Kita masuk aja kalau lo kedinginan."

Adora menggeleng. "Maunya dipeluk."

Attaya tersenyum lagi. Ia banyak tersenyum hari ini. Ia mendekap Adora. Gadis ini membuatnya terus tersenyum, Attaya menyukai gadis ini.

Tanpa Attaya sadari, Adora merasakan sakit yang sangat. Ia menyembunyikan raut wajahnya dengan cara ini. Bersembunyi dalam dekapan Attaya.

"Attaya, boleh nggak kalau Ador cium kening Attaya?"

Attaya terkejut. "Hah?"

Tak perlu mendapat jawaban, Adora langsung mengecup kening Attaya lama, sangat lama. Seperti orang yang tak mau kehilangan.

"Nggak adil kalau lo doang! Sini, gantian!"

Attaya mencium kening Adora. Adora tertawa tanpa suara. Kemudian, Adora menguap. "K-kayaknya Ador ngantuk d-deh. A-ayo kita ke kamar!"

Adora sudah tak bisa melihat apapun. Pandangannya benar-benar gelap. "A-ayah, Ador pamitan dulu ya."

Attaya tersenyum lalu menggendong Adora. Di sepanjang jalan Attaya terus mengajak Adora bicara. Namun tak ada sahutan. Attaya pikir, Adora sudah tertidur karena lelah.

Attaya membaringkan Adora di ranjang nya. "Selamat tidur, mawar putih."

Attaya baru saja ingin beranjak. Namun saat memegang kenop pintu, ia menoleh ke arah Adora. Perasaannya mengatakan ia ingin kembali ke Adora.

Attaya berjalan lagi menuju Adora. Ia mengecup kening gadis itu. Pupil Attaya membesar.

Adora, dingin.

Attaya memegang lengan Adora. Ia mulai panik. Pria itu mencoba menempelkan jari telunjuknya ke bawah hidungnya. Mengecek nafasnya. "Masih ada."

Attaya memanggil dokter. Tak lama, dokter dan para asistennya berdatangan. Ia diminta keluar. Attaya pun menurut.

Attaya tak tahu, saat ia melewati pintu ruangan, nyawa seseorang telah kembali ke pemilik aslinya. Iya, Tuhan.

***

"Lo tenang-tenang di sana, jangan mikirin gue melulu," ucap seorang pria sembari mengelus batu nisan bertuliskan Adora Najma Orlin.

Pria itu menghapus air matanya kasar. "Hari ini hari ulang tahun kita, benar ya kata tukang peti mayat yang pernah gue temui. Manusia akan berpulang mendekati ia datang ke dunia ini,"

Attaya kembali menanggis. Air matanya susah di kontrol akhir-akhir ini. "Lo bikin gue jadi cowok cengeng, Dor."

"Sampe kapan lo di sini? Gue juga mau ketemu kembaran gue," ucap suara ketus yang nada bicaranaya sama dengan Adora saat ia sedang merajuk.

Attaya menghapus air matanya. "Lo tuh cewek bukan sih? Nggak ada lembut-lembutnya amat!"

Gadis dengan nama lengkap Adera Najma Orlin itu tersenyum miring. "Lo tuh cowok bukan sih? Kerjaannya nanggis melulu. Mending pulang, doa in dia. Dengan lo nanggis begini, nggak ada perubahan yang bakal terjadi."

"Siapa yang nggak nanggis kalau orang yang disayang pergi?"

"Semua sayang Adora, mereka juga nanggis tapi nggak se-drama elo, kunyuk."

"Bintang dance macam apa ini! Omongan kasar," ucap Attaya lalu berdiri dengan wajah menantang.

Adera menaikan sebelah alisnya. "Mending lo pergi, badan lo lebih bau dari walang sangit. Jijik gue."

Attaya berdecih. Gadis ini tak ada sopan-sapannya. Attaya kemudian berjalan menuju mobilnya dan menginjak gas menuju rumah.

Kini gantian, Adera yang duduk di samping makam kembarannya. Ia membacakan doa lau menaburkan bunga serta air mawar. Adera tersenyum kecil. Di sana, ada sebatang bunga mawar putih.

Adera mengambil bunga itu. Di sana, ada amplop berisi kertas dengan warna kuning. "Oh shit, cowok itu tolol amat sih! Nggak ada mayat yang bisa baca surat."

Adera membuka surat itu. Kertas kuning dengan tulisannya yang semerawut, namun masih bisa ia baca. "Gue bacain nih Dor, dari cowok tersayang!"

Dear Adora.

Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun juga untukku. Ya, hari ini ulang tahun kita kan? Aku mau cerita banyak hal. Kemarin aku sudah meminta kepada Om Arsya agar menyampaikan kepada Tuhan jangan ambil kamu dulu. Tapi, Tuhan mengambilmu. Mungkin, itu adalah yang terbaik. Aku harap kamu bahagia, kamu udah terbebas dari pedihnya dunia, 'kan?

Aku sangat mencintaimu, maaf untuk pengalaman buruk yang dulu-dulu. Maaf tak pernah menerima bekal darimu, maaf juga atas kata-kata kasar yang sering terucap.

Selamat jalan, mawar putihku.

-Tuan Ekada.

Adera melipat surat itu. "Kayaknya cowok kunyuk itu sayang banget sama lo ya, Dor." Adera lalu memasukkan surat itu ke amplopnya.

"Hm. Gue bakal jagain dia dari tingkah konyol nya."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience