8

Drama Completed 691

Hari itu...

Gadis kecil cantik yang masih memakai seragam sekolah dasar itu duduk di persimpangan jalan sepi sambil mengamati benda ditangannya. Sebuah kotak musik yang dalamnya adalah babi berjas dan babi memakai gaun dengan alunan yang dapat menyayat hati.

Gadis kecil itu hanya memperhatikannya sambil sesekali memutar sesuatu di pojok kanan benda itu.  Gadis kecil itu terus tersenyum mengingat kejadian tadi pagi yang ia alami. 

Ada seorang anak lelaki yang memberikannya itu, anak yang selalu ia mimpikan akhir-akhir ini, anak yang sering ia lihat ditaman bersama dengan orang tuanya, anak yang ceria dan sepertinya hidupnya sangat bahagia.

Kata anak lelaki itu, kotak musik babi itu adalah hadiah ulang tahunnya, namun karena ia lelaki ia tak menyukainya. Menurut gadis kecil ini seharusnya ia bersyukur karena masih ada yang perduli dengan hari ulang tahunnya, sedangkan gadis kecil ini? Tak ada yang perduli dengan hari ulang tahunnya, Mama dan Papa nya sibuk dengan Kakak-nya, perhatian itu sangat mahal ternyata.

Tak terasa bulir air mata meluruh tanpa izin dari gadis kecil itu dibawah senja yang indah. Apa ada salahnya bila anak sekolah dasar ingin diperhatikan? Bahkan ucapan selamat ulang tahun saja tidak diberikan, kadang gadis kecil itu berpikir bahwa ini adalah surprise dan saat pulang nanti ada yang membawakan kue ulang tahun tujuh tingkat dan saat ia disuruh meniupnya Papa harus menggendongnya terlebih dahulu.

Hal yang selalu ia pikirkan setiap hari ulang tahunnya, namun itu hanya ekspetasi. 

"Selamat ulang tahun Ador!" pekik seorang lelaki kecil di depannya, dengan cepat senyum gadis yang dipanggil Ador ini tersenyum merkah.

"Jangan nanggis lagi ya, nanti aku juga sedih." kata lelaki kecil dihadapannya sekarang yang disambut anggukan oleh gadis kecil itu.

"Maaf juga aku belum bisa beliin kamu boneka babi yang kamu mau, belum bisa beliin kue ulang tahun tujuh tingkat terus gendong kamu ya Ador, aku cuma bisa beli ini. Ini juga uang patungan aku sama Fanny, oh iya si Fanny nggak bisa datang soalnya dia ada les." sambung lelaki itu sambil menyodorkan satu buah lilin untuk mati lampu.

"Eh, tiup dong. Panas tau." suruh lelaki itu yang membuat Ador tertawa lalu meniup lilin itu dengan senang di bawah langit senja.

"Makasih ya Vano, kamu inget ulang tahun aku." kata Ador dan lelaki kecil yang dipanggil Vano itu segera mengangguk lalu menyeka air mata Ador menggunakan ibu jari-nya setelah menaruh lilin di tanah.

"Pulang, aku antar." kata Vano yang menyambut gelenggan kepala oleh Ador.

"Kenapa? Soal Adera? Kamu kan tahu kalau Dera sakit, jadi wajar aja orang tua kamu lebih ngurusin Dera. Tenang aja, kan ada aku. Aku janji bakal selalu ada di dekat kamu kok, bikin kamu ketawa juga dan jagain kamu sampai kamu nemu pengganti aku." kata Vano meyakinkan.

"Yaudah deh, tapi lilin-nya aku bawa pulang ya?" pinta Ador yang disambut anggukan Vano lalu Vano mengambil lilin yang tergeletak di tanah dan menggandeng Ador agar berjalan setara dengannya.

Ditengah perjalanan, Vano memberikan Ador sebuah kotak kecil yang indah. Ador menerima dengan mata berbinar. Ia langsung membukanya, namun alisnya saling bertautan saat melihat apa isi kotak cantik itu.

"Kenapa pisau?" tanya Ador polos.

Vano tersenyum seraya mengeluarkan sesuatu di dalam sakunya. Sebuah pisau yang mirip dengan yang ditangan Ador. Hanya berbeda warna, biru dengan ungu.

"Kamu harus bawa itu kemana-mana, aku takut ada yang jahat sama kamu saat aku lagi nggak ada di samping kamu."

Ador tertegun. Mereka baru kelas 4 sekolah dasar. Apakah tak apa memiliki senjata tajam, nanti kalau ditangkap polisi bgaimana?

"Apakah tak apa?"

Vano hanya menggeleng dan menarik lengan Adora agar berjalan lebih cepat karena hari sudah mulai malam.

"Ekhem."

Adora kembali tersentak saat Vano berdehem. Vano memberi kode lewat lirikan matanya agar Adora cepat memotong kue di tangannya.

Adora tersenyum kikuk lalu memotong kue mungil itu. Vano tersenyum lalu meletakkan kue itu di tanah begitu saja.

Vano mengambil lengan Adora seraya tersenyum manis. "Dor, maaf ya. Sampai sekarang gue belum bisa beliin boneka babi dan kue tujuh tingkat serta gendong lo buat niup lilinnya."

Adora tertegun. Apakah Vano masih mengingatnya?

"Van... nggak apa-apa. Udah ayo makan kuenya."

Malam itu Adora menjadi perempuan paling bahagia bersama Vano, namun apa jadinya jika Vano sudah tak lagi di sisinya? Apakah Adora masih akan menjadi perempuan paling bahagia di dunia?

***

Hari sudah mulai pagi, Adora dengan sejuta keceriaan yang kini telah kembali segera lari ke sekolahnya tanpa menunggu Dirga yang sedang memanaskan mobil.

Semalam, Dirga hilang entah kemana. Padahal hanya Dirga yang bisa membela Adora atau setidaknya menenangkan Adora. Adora marah kepada Dirga, anak yang tidak bisa diharapkan.

Tin ... tin ... tin ...

"Heh pagi-pagi udah bacot!" bentak Adora sambil memandang motor matic berwarna merah dengan pengendaranya.

"Ini klakson bego! Mana ada klakson bisa ngebacot," kesal cowok itu dan membuka helm miliknya.

Adora mencibir, cowok menyebalkan yang selalu membuatnya naik pitam. "Mau ngapain lo buka helm. Pagi-pagi jadi pengin muntah gue liat muka lo!" tutur Adora menggebu-gebu.

Baim Jackson, cowok yang kerap namanya dipelesetkan menjadi Baim Tajudin, teman-temannya merasa bahwa nama Jackson tak sesuai dengannya. Akan lebih baik jika namanya Baim Tajudin.

"Mau bareng nggak?" tanya Baim memasang wajah sok kerennya yang membuat Adora kembali mencibir.

"Nggak sudi."

"Sok jual mahal lo."

"Emang gue mahal!" ketus Adora.

"Bensin gue sama lo juga mahalan bensin gue." ucap Baim dengan wajah menantang.

Kini, wajah Adora sudah memerah akibat kesal ditambah lagi melihat kejelekan wajah Baim menurutnya.

"Halah, kayak pernah beli bensin aja!"

"Lo jangan sembarangan ya, gue kalau beli bensin sama abangnya gue beli! Kurang kaya apa gue?"

"Hello Baim Tajudin, omonganmu ketinggian Nak. Sekolah dulu yang benar sana." ucap Adora dengan nada mengejek lalu berlalu meninggalkan Baim yang masih mengumpat.

Kini, Adora telah sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin depan gerbang sekolahnya. Tepatnya di pos satpam ada sebuah cermin, entah mengapa diletakkan di sana.

"Udah cantik Neng,"

"Eh--" jika saja Adora tak cepat sadar ia pasti akan menoyor kepala satpam sekolahnya, Pak Dodi. "Pak Dodi, ngagetin aja."

Pak Dodo cengengesan sendiri. "Neng Dora, Peta kemana?" tanya Pak Dodi dengan nada meledek.

"Pak, jangan sampai saya toyor beneran ya," ancam Adora.

"Yailah Neng, baper."

Adora tak perduli, ia pergi begitu saja. Meninggalkan Pak Dodi yang masih cekikikan sendiri.

Adora berjalan santai di koridor, banyak pasang mata yang menatap kearahnya. Sebenarnya Adora agak risih, namun bagaimana lagi?

Adik dari koki terkenal?

Adik dari pemain sepak bola puteri yang mewakili Indonesia dalam ajamg AFF?

Saudara kembar dari salah satu personil Sixpack?

Mereka berfikir hidup Adora sangat indah, namun pada kenyataannya? Nol besar.

"Dor," panggil gadis mungil dengan beberapa tumpuk kertas di tangannya.

Adora menoleh ke belakang. "Ah, kenapa Fan?"

"Lo liat Vano?" tanya Stefanny.

Adora menatap lurus wajah Stefanny. "Lo kan adiknya, kenapa nanya ke gue?"

"Kali aja lo liat, sensi amat!"

"Hey guys, whats up? Sikidap-dap." cerocos Baim, anak titisan Tinkerbell.

"Apaansih apaan Bai, apaan?!" tanya Stefanny tambah sewot.

"BIASA AJA DONG, KOK LO NYOLOT!" kesal Baim.

"LO YANG NYOLOT!" balas Stefanny tak mau kalah.

Adora hanya diam memperhatikan dua orang yang gila akan bakso Mang Sabar bertengkar. Pertengkaran unfaedah tentunya.

Perhatian Adora teralih kepada pria yang baru saja memasuki pagar. Ia mencoba tersenyum kepada pria itu, namun seperti biasa. Tak digubris.

"Sabar Dor, harus sabar. Mecahin es batu nggak segampang makan takoyaki pakai garpu," gumam Adora. Ia harus berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas untuk sikap Attaya yang dingin itu.

Adora berjalan sambil sesekali bersenandung melewati koridor yang mulai ramai menuju kelas, baru saja ia melangkah ke dalam kelas, pemandangan tak sedap kembali terlihat.

"GUE BILANG JANGAN GIGITIN PULPEN GUE! TELINGA LO BERMASALAH YA?!" pekik seorang gadis lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Alah, pulpen begini doang mah murah. Lagian juga lo pasti nemu di jalan, nggak mungkin beli," sahut pria yang masih dengan wajah tenangnya.

"UDAH MINJEM, NGGAK TAU DIRI. NANTI GUE CEKEK YA PENY LO ITU!"

Pria itu tersentak dan langsung menutup mulut gadis yang sedang ngomel itu. "Sekalu lagi lo bahas Peny, gue gigit semua pulpen lo,"

"Apaan si? Apaan? APAAAN?!" pekik Stefanny yang membuat Adora kaget. Lagi-lagi Stefanny berbicara dengan kata 'APAAN'.

"Lo nggak usah ikutan ya, gue bilangin Mbak Nunung nih!"

Dan lagi-lagi Adora hanya bisa memasang wajah polos dan nggak tau apa-apa lalu menyaksikan debat unfaedah kawan-kawannya.

"Adora." panggil seorang pria dengan wajah bingungnya.

"Eh? Siapa yang manggil gue?"

"Blo'on deh, mulai." ucap Vallen dengan wajah datar.

Adora menenggokan wajah ke segala arah, namun tak menemukan apapun dan siapapun.

"Siapa sih?"

"Belakang lo, astaga."

"Hah? Eh?"

Adora ternganga. Ia lupa, ia bisa menoleh kanan-kiri tapi tak bisa menoleh ke belakang, kan ini Adora. Bukan burung hantu punya Mbak Nunung. Fyi, Mbak Nunung rumahnya mirip kebun binatang guys.

"Kak Tirta? Ngapain?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience