20

Drama Completed 691

"Sampe kapan sih Van, kangen sama Attaya tau!" seru Adora sambil menarik-narik lengan Vano.

"Sebentar lagi.".

"LAMA."

Vano menghela nafas. "Sabar Ador, gue cuma mau pastiin kalau dia juga mau berjuang."

Adora hanya mencebikkan bibirnya.

Tiba-tiba Adora memegangi kepalanya. Matanya terpejam, ini terjadi lagi. Kepalanya sangat pusing.

"Dor? Kenapa?" tanya Vano sedikit panik.

Adora menggeleng. "Pusing dikit."

"Akhir-akhir ini lo sering pusing ya, gimana kalau kita ke dokter?"

Adora tersentak. Ia tak mungkin ke dokter, nanti penyakitnya bisa ketahuan. Ia tak mau merepotkan orang lain.

"N-nggak usah Vano. Ador nggak apa kok." Adora mencoba menenangkan Vano dengan senyum nya. Melawan sakit kepala yang semakin jadi.

Vano hanya mengangguk, ia sangat tidak setuju tentunya. Adora harus di periksa, harus. Bukan hanya sekali-duakali saja Vano melihat ekspresi Adora seperti itu. Pulang sekolah, Vano akan membawa gadis itu ke rumah sakit.

***

"Jadi gimana Om?" tanya Vano.

Benar, Vano membawa Adora ke rumah sakit dengan paksaan. Adora tak jarang meronta, namun ia terus memaksanya. Bahkan Vano mendorong Adora memasuki mobil. Dibantu dengan Vallen, Baim, Karina dan Stefanny tentunya. Vano mengajak mereka. Entah untuk apa.

Dokter Andres--Om Vano-- menjentikkan jemarinya di atas meja kerjanya. Tangan sebelahnya ia pakai untuk memijit pelipisnya.

"Dia ... terkena penyakit--"

***

Vano mendorong pintu kamar rawat Adora kuat-kuat. Hal itu membuat orang di dalamnya terkejut. Mereka semua menatap Vano dengan tatapan membingungkan.

"Lo kenapa sih Va--"

"KENAPA LO NGGAK BILANG?!"

Baim terdiam. Omongannya baru saja dipotong oleh Vano. Apalagi dilihat dari nada bicara Vano, ia sedang marah.

"M-maksud Vano apa?" Adora membuka mulutnya.

"Lo nggak usah pura-pura Dor! Sekarang, lo jujur. Kenapa lo nggak bilang ke gue?!" Vano semakin menjadi, ucapannya semakin membuat semua orang bingung.

Adora tercekat. Sepertinya, ia tau kemana arah pembicaraan Vano. Ia bingung mau menjawab apa. Takut.

"JAWAB DOR!"

Adora tersentak, bukan hanya Adora, semua orang di tuangan itu tersentak.

"Van, ngomong baik-baik." Vallen angkat bicara. Ia tak mau keadaan semakin keruh.

Vano menatap Vallen tajam. "Lo nggak tau Len! Diem aja udah!"

"Gimana bisa tau kalo lo dateng-dateng marah nggak jelas--"

"Dia leukimia!" potong Vano. Semua orang beralih menatap Adora.

Adora semakin bingung. Ia tak mengerti harus mulai darimana menjelaskannya.

"Dor, ini nggak bener kan?" tanya Karina lembut. Ia kemudian mendekati Adora.

Sementara, tubuh Stefanny sudah bergetar hebat. Ia menanggis tanpa suara di sofa. Baim pun menjadi semakin bingung. Ini terlalu mengejutkan.

Adora semakin bingung. Ia tak tau harus berbuat apa, menjawab dengan bohong juga tidak ada guna nya. Tapi, rasanya menyakitkan bila mengakui jika apa yang dikatakan Vano itu sebuah kebenaran.

"Terserah Dor, gue muak." setelah mengucapkan itu Vano merunduk. Mentap lantai dengan tatapan kosong.

Lagi. Vano lagi-lagi mengatakan kata-kata itu. Dan lagi-lagi air mata Adora mencelos. Ia benci jika Vano mengatakan itu.

"Van, maafin Ador," lirih Adora.

Vano hanya diam.

"Van. Ador mohon. Maafin."

Vano mengadahkan kepalanya. Ia mengucek matanya yang nampak kemerahan. "Terserah lo."

Adora mencengkram selimut yang menyelimuti bagian kaki nya. Sekarang, Adora semakin terisak.

Adora berdiri. Mencoba menghampiri Vano dengan langkah berat. Kepalanya sangat pusing. Namun, ia tak mau Vano pergi. Tak mau Vano menjauh. Gadis itu juga terus menggumamkan kata maaf di setiap langkahnya.

"Gue capek. Urus aja diri lo sendiri."

Deg.

Hanya satu kalimat. Hati Adora trasa mencelos, kakinya rasanya lemas. Tak mampu menahan berat badannya sendiri. Apa benar Vano mengakatan itu?

Tak lama Adora melihat Vano pergi keluar ruangan. Adora beringsut. Ia duduk di lantai ruang rawat inap yang dingin dengan air mata yang terus mengalir.

Dalam hatinya Adora mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia tak mengatakannya sejak awal? Sejak dua tahun belakangan? Ini murni kebodohannya.

Karina dan Vallen saling melempar tatap. Mengerti tatapan Karina, Vallen menggendong Adora menuju ranjangnya. Adora masih terus menanggis. Karina juga terus menenangkan, namun gagal.

"Udah Dor, nggak baik buat kesehatan lo." Karina kembali mengingatkan.

Adora menatap Karina. "Ng-nggak, Ador me-memang harusnya mati aja," ucap Adora di tengah isakannya.

Karina tersentak. Air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Tapi, Karina mencoba tegar. Ia tak mau menanggis lagi di hadapan Adora.

"Lo nggak boleh ngomong begitu, banyak yang sayang sama lo," ucap Vallen tiba-tiba.

Karina hanya memandang Adora dengan tatapan tak percaya. Pantas saja sahabatnya ini agak kurus, sering pingsan, sering mimisan. Ternyata ada alasan.

"Ng-nggak ada yang sayang sa-sama Ador! Vano ng-nggak sayang!"

Vallen terdiam. Ia mengelus puncak kepala Adora. "Vano cuma emosi, gue bakal bicarain sama dia nanti. Lo istirahat aja ya."

Adora menghapus air matanya kasar. "Ya-yang bener?" wajahnya berubah, menjadi ceria.

Vallen hanya mengangguk.

Adora tersenyum kecil. Ia kemudian berbaring. Tak lama sepertinya gadis itu sudah terlelap, nafasnya sudah teratur.

"Na, lo ikut gue."

Vallen segera menarik Karina. Ntah kemana, Karina tidak perduli lagi. Ia hanya ingin menanggis. Ia hanya ingin bertanya kepada Tuhan, kenapa harus Adora? Kenapa?

Vallen mendorong Karina ke mobilnya. Di kursi belakang. Kemudian ia menghidupkan mobilnya lalu kembali ke kursi belakang.

Ia mendekap Karina.

Karina sempat heran, namun ia membutuhkan dekapan saat ini. Dan detik berikutnya, Karina Larasati menanggis sejadi-jadinya di dekapan Vallen.

Setelah hampir setengah jam menanggis. Karina mengangkat kepalanya. Menatap Vallen yang tersenyum kepadanya, Vallen tersenyum?

"Udah?"

Karina mengangguk. "Makasih ya."

Vallen melepas jaket yang dipakainya sedari tadi. Ia melipatnya kemudian menjadikannya bantal lalu menaruhnya di atas paha nya.

"Lo tidur, capek kan abis nanggis?"

Karina hanya menurut. Energinya memang habis. Ia lelah, terlalu terkejut untuk info semacam ini.

***

Vano menyandarkan tubuhnya pada dinding kamarnya. Ia memeluk lututnya. Salahkah bila anak lelaki menanggis?

Ia hanya tak terima, kenapa harus Adora? Dari banyaknya manusia di bumi, kenapa harus Adora?

Gadis yang paling Vano sayangi. Bahkan ia lebih sayang kepada Adora ketimbang Stefanny. Ia merasa gagal, benar-benar gagal. Ia tak mampu memenuhi janjinya pada Om Arsya.

"Kenapa harus Ador, Tuhan? Kenapa?" lagi. Vano kembali terisak, ia memegangi kepalanya. Bayang akan senyum manis Om Arsya kembali muncul.

"Om titip Ador. Kamu jaga dia ya, dia ini orangnya lemah. Hehe." ucap Om Arsya sembari mengelus puncak kepala anak perempuan berumur 12 tahun yang dengan mata tertutup itu.

Vano hanya mengangguk di tengah tanggisnya.

"Kalau dia salah, kasih tau dia hal yang benar. Jangan biarkan dia menjalani pahitnya hidup sendirian ya," lanjut Om Arsya. Masih mengelus puncak rambut anak perempuan yang matanya terpejam.

Om Arsya mencium kening anak itu. Lalu seorang dokter datang.

"Ruang operasi telah tersedia. Apakah Bapak yakin ingin melakukan ini? Jika Bapak membutuhkan donor, kita bisa menunggu orang yang hampir mati." ucap dokter itu, Om Arsya hanya menjawab dengan senyuman.

"Ini puteri saya, saya sayang dia. Lagipula membutuhkan donor cepat kan? Ambil saja jantung saya. Agar ia bisa hidup dengan debaran jantung saya di tiap harinya," jawab Om Arsya.

Air mata Vano tambah deras.

"Baiklah jika Bapak sudah yakin, silahkan ikuti saya menuju ruang operasi."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience