23

Drama Completed 691

Sorry nih kalo feel nya nggak dapet.

Attaya sibuk mondar-mandir di depan ruang rawat Adora. Ia baru saja diberitahu Vano bahwa Adora terkena leukimia stadium 2. Dan maksud ucapan Adora tadi, ia akan berangkat ke Singapura untuk menjalani pengobatan di sana.

"Mana anak sial itu?"

Attaya menoleh, ia melihat perempuan paruh baya yang diyakini nya adalah Ibu dari Adora.

Tapi, kenapa Ibu Adora berkata sekasar?

"Ma, Mama tuh kenapa sih?!" tanya Dirga, Attaya sudah mengenal Dirga. Setiap ia izin untuk mengajak Adora bermain pasti meminta izin kepada Dirga.

"Kenapa? Hallo, Dirga. Anak sial itu udah ngebunuh Ayah kamu, sadar Dir!"

"Mama yang sadar! Itu semua takdir Ma, kalau Mama begini terus, Ayah nggak akan bisa tenang di sana." Dirga meninggikan intonasi bicaranya.

Amara tersentak. "Oh, kamu berani bentak Mama? Berani kurang ajar sama Mama? Cuma demi belain anak sial itu?" tanya Amara tak mau kalah.

Dirga emosi, jika tak ingat yang di hadapinya ini adalah seseorang yang pernah melahirkannya ke dunia, pasti Dirga sudah meninju nya sedari tadi.

"Udahlah, Ma."

Suara lembut, suara yang sering Attaya dengar. Attaya menoleh, itu ... itu Adora, lalu siapa yang di dalam ruangan ini?

Drama gila apa lagi ini, Ya Tuhan.

"Ma, Dera tahu Mama itu sedih karena Ayah pergi. Mama kecewa sama Adora karena Mama berpikir bahwa Adora yang membuat Ayah meregang nyawa," gadis dengan nama Adera itu menjeda.

"Tapi, coba Mama pikir. Ayah mengorbankan jantungnya untuk Ador. Lalu sekarang, Mama benci Ador? Apa Ayah bakal senang dengan tindakan Mama?"

"Dera juga nggak suka jika selalu di beda-bedain sama Ador. Selalu jadi anak tersayang atau apalah itu. Semua anak sama, Mah. Coba bayangin bagaimana perasaan Ador atas perlakuan Mama selama ini?"

Amara terdiam. Detik selanjutnya, ia memeluk Dirga dan menanggis di pelukan anak sulungnya itu. Dirga tersenyum lega, ia sangat tenang jika Mama nya sudah menyadari akan perbuatannya yang salah itu.

Adera sendiri menghela nafas lega lalu kembali memakai masker hitam dan jaket hitam. Biar bagaimanapun, Adera adalah seorang bintang. Ia tak bisa melakukan sesuatu dengan bebas. Bisa habis dicubiti fans yang gemas akan dirinya jika ia berpenampilan normal.

Amara berhenti menanggis. Ia menghadap ke ruang perawatan Adora. "Masih lama, Dir? Mama mau minta maaf sama Adik kamu."

"Tunggu Tante, sebentar lagi."

Bukan, itu bukanlah jawaban Dirga, tak mungkin Dirga memanggil ibu kandungnya dengan sebutan Tante. Itu adalah jawaban Attaya.

"Kamu, siapa ya? Kok saya nggak pernah lihat?" tanya Amara seraya menghapus jejak air matanya.

Attyaa berdehem kecil. "Saya Attaya, teman Adora."

"Teman apa teman?" sindiran itu khas, itu adalah sindiran dari Vano yang biasa Attaya dengar dulu.

Ya, Vano dan Attaya dulu berada di geng motor yang bermusuhan. Bukan tanpa alasan geng motor mereka bermusuhan, alasannya hanya sepele. Hanya karena sindiran Vano kepada Attaya dan sebaliknya. Dasar, remaja labil dan emosional .

"Pacar kali ah," sambung Putri.

Attaya merutuk Kakak perempuan Adora itu, ia memang belum pernah bertemu dengan Putri. Sejak ia kecil, Putri jarang sekali berada di rumah. Kata Adora, Putri sibuk mengikuti turnamen sepak bola.

"Oh, jadi ini pacar Adora. Nggak salah pilih ya dia. Ganteng." ucap Amara lalu berjalan mendekati Attaya. Attaya gugup, bahkan keringat dingin sudah bercucuran di keningnya.

Amara mengerlingkan matanya. "Sama Tante aja pacarannya, mau nggak?" sebuah pertanyaan mahadahsyat yang mampu menggoncangkan bumi dengan seluruh isinya.

"MAMA!"

"TANTE!"

Pekik semua orang yang berada di sekitar ruang rawat Adora. "Mama bercanda yaampun, anak muda jaman sekarang mah pada baper. Nggak seru ah!"

Attaya hanya menggelengkan kepala mendengarkan tuturan calon mertuanya? Hah, mertua? Apa yang Attaya pikirkan, Tuhan.

"Bisa berbicara dengan keluarga Adora?"

"Saya, Ibunya."

Amara pergi bersama dokter sedangkan yang lain sibuk menggunjing hubungan Adora dengan Attaya.

"Kan, Ador udah bawain lo bunga mawar putih. Berarti udah jadian dong?" tanya Stefanny dengan nada meledek.

Attaya hanya berdecih. Gadis yang dipikirnya polos dan tak tahu apapun justru merupakan gadis yang menyebalkan. Attaya tak menyukainya, ia mirip dengan Adora.

Tak lama, Amara kembali dengan wajah yang tampak lesu. Bahkan sekarang wanita paruh baya itu beringsut di dinding rumah sakit.

"Ma, Mama kenapa?"

"Adora gimana, Ma?"

"Adora, baik-baik aja 'kan?"

Amara menaruh tangannya yang sudah bertumpuk di atas kedua lututnya yang tertekuk. Ia menanggis di sana. Meluapkan segala amarahnya di sana.

"Ma, jawab! Kita butuh kepastian!"

"Iya, Tante. Cukup Attaya aja yang nggak dapat kepastian, kita jangan." celetuk Vano yang mendapat tatapan tajam dari Attaya.

Amara mengadahkan kepalanya lalu menghapus jejak air matanya.

Ia menggeleng.

Semua orang tercekat. Apa ini? Kenapa Amara menggeleng? Sebenarnya, apa yang terjadi?

"Ma, yang jelas dong."

Amara menghela nafas. "Kita nggak usah bawa Adora ke Singapura. Di sini aja, dia nggak--"

Attaya menerobos masuk ke ruang rawat Adora. Ia melihat gadis itu, terbaring lemah. Ia menatap wajah gadis itu sendu.

"Dor, kenapa lo nggak bangun sih?" tanya Attaya mulai berbicara sendiri.

Attaya kini duduk di kursi samping ranjang pasien. Ia mengusap rambut Adora lembut. Lalu, menggenggam punggung tangan gadis rapuh itu.  "Lo nggak mau ngomong sama gue lagi nih? Katanya kalau lo nolak gue, lo nggak mau ngomong sama gue. Berarti, secara nggak langsung--"

Attaya tak kuat. Ia menenggelamkan wajahnya pada punggung tangan gadis itu. Ia menumpahkan semua yang ia tahan di sana, di punggung tangan gadis itu.

Attaya mengadahkan kepalanya. Ia menghapus jejak air matanya. "Dor, mau gimanapun nantinya. Gue tetap sayang sama lo. Akan selalu," ucap Attaya lirih lalu mengecup punggung tangan Adora.

"Cie, Attaya sayang sama Ador nih ya," suara itu. Suara yang lemah tapi membuat Attaya melotot kegirangan.

"Dor? Sadar? Serius? Ini bukan mimpi kan?" cerocos Attaya, tak lama ia mencubit pipinya. Dan terdengarlah suara rintihan.

Adora tertawa kecil tanpa suara. "Ador boleh minta diajak ke taman waktu itu nggak?"

Attaya menyengrit. "Mau ngapain? Udah malem tau! Besok aja ya?"

Adora memajukan bibirnya. "Janji?"

"Iya, janji."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience