12

Drama Completed 691

Adora berjalan santai menuju taman, ia malas pulang. Ingin bersantai di sini sambil melanjutkan menulis novel buatannya. Adora memang sering menulis, beberapa naskahnya bahkan sudah dikirim ke penerbit dan menjadi buku cetak.

Namun, ia tak memberi tau ini kepada siapa-siapa kecuali Vano. Ia mengurusnya sendiri, ia juga hanya memakai nama Najma Orlin.

Ia merasa tak penting, lagipula memangnya ada yang perduli dengan hidupnya? Paling hanya Vano yang perduli. Ia sudah bercerita kepada Adera, namun Adera hanya berkata "Jadi penulis itu nggak punya masa depan." Adora tersenyum mendapati komentar pedas saudara kembarnya itu.

"Dor," panggil seseorang yang membuat Adora kaget.

"Kebiasaan, lo manggil kayak ngagetin." Adora mencebikkan bibirnya kesal.

Pria itu duduk di samping Adora. "Lagi ngapain?" tanya pria itu lalu memberikan sebungkus es krim kepada Adora.

"Nulis, lagi mikir epilog. Bingung deh," jawab Adora lalu membuka bungkus es krimnya.

"Emang ceritanya gimana?"

"Ibu yang pilih kasih kepada anak-anaknya."

Vano tertegun. "Hm, gimanana kalau ibunya menyesal?"

"Boseen."

"Ooh, ibunya meninggal dibunuh anaknya?."

"Creepy anjir ide lo Van, tapi oke juga."

Adora mengetikkan sesuatu di layar laptopnya dengan cepat. Lalu setelah selesai ia menutup laptopnya dan beranjak pergi.

Vano tersenyum tipis.

***

Adora membuka pintu rumahnya kemudian berjalan masuk dan duduk di sofa besar depan tv ruang keluarga.

"Eh udah pulang?"

"Iyalah, masa masih di sekolah."

"Mau makan nggak? Nanti gue ambil," tawar Putri dengan wajah berbinar.

"Iya, nasinya banyakan. Gue abis gali kuburan soalnya," pinta Adora.

"Eh buset."

Sepiring nasi dengan ikan goreng dan air mineral telah ada di pangkuan Adora, ia serius memakan itu semua.

Sementara Putri hanya memperhatikan adik kecilnya. Rasanya, sudah lama saat terakhir ia bertemu Adora. Sekarang, Adora bertambah kurus. Putri menyengrit. Kurus?

"Dek, lo nggak dikasih makan sama Dirga ya? Kok kurusan sih?" tanya Putri sembari memegang tangan Adora.

Adora berkedip. "Ini lagi diet, buar Attaya jatuh cinta sama Ador."

Putri tertawa terbahak-bahak. "Diet tapi makannya udah kayak orang abis macul?" tanya Putri sambil menunjuk piring Adora.

"Kan dietnya pagi sama siang aja, kalo malem nggak diet lagi," jawab Adora yang membuat Putri tambah meninggikan suara tawanya.

"Mana bisa diet kayak begitu, astaga. Emang cowok yang bikin lo diet itu yang mana? Coba mau liat."

Adora mengambil ponselnya dan membuka instagram milik Attaya. Ia lalu menyerahkan ponsel nya kepada Putri.

Mata putri berbinar, foto pria yang ditunjukan adiknya sangat tampan. Sepertinya cocok dengan adiknya, jika pria itu mempunyai jiwa yang sabar dan tabah tentunya.

"Ganteng juga, kapan-kapan bawa lah ke rumah."

"Dia nggak mau sama gue Kak," jawab Adora apa adanya.

"Usaha lah."

"Capek, kadang rasanya mau berhenti. Dia itu melelahkan untuk dikejar." Adora menjadi puitis secara tiba-tiba.

Putri menghela nafas. "Coba lo lebih keras lagi kejarnya. Inget bedebah itu? Siapa namanya, gue lupa?"

"Kak Devan?"

"Iya, Devan. Pacar gue itu emang nggak mirip sifatnya sama cowok yang lo ceritain. Justru gue yang selalu cuekkin dia, tapi? Dia nggak pernah nyerah. Dia selalu berjuang dan akhirnya gue luluh sama cowok tolol itu. Keep strong My Lovely Sister." Adora menatap Putri, ia sangat tersentuh kepada kata-kata Putri.

"Terima kasih Kaput. Ador sayang Kaput."

"Kaput juga sayang kamu."

"Aku nggak ada yang sayang nih?" tanya Dirga yang tiba-tiba nonggol. Adora dan Putri tak menggubris kehadiran manusia itu. Dan pada akhirnya Dirga hanya mencibir dan naik ke kamarnya.

***

Attaya kini sedang membolak-balik buku pelajarannya. Ia benar-benar tidak konsen dengan buku yang ia baca. Dipikirannya hanya ada gadis bodoh itu, entah kenapa.

Senyuman bodohnya selalu membuat Attaya kepikiran, bahkan sekarang tanpa Attaya sadar, ia menatap lekat foto gadis bodoh itu.

"Kenapa lo muncul mulu sih di otak gue? Jadinya nggak bisa fokus tau!"

Attaya tersenyum. Kenapa sekarang ia bicara kepada foto? Apakah ia sudah menjadi gila juga?

"Lo inget nggak sih Dor, lo itu spesial. Gue selalu nunjukin rasa suka gue buat lo dulu. Tapi lo nggak gubris sama sekali. Dan sekarang, saat gue udah beranjak mau lupain lo, kenapa lo hadir lagi? Kenapa lo tanpa rasa bersalah minta hati gue? Yang salah lo apa gue sih Dor?"

Attaya terus saja mengoceh pada foto Adora. Entahlah, ia merasa nyaman seperti ini.

Tak terasa satu butir air mata jatuh membasahi pipi Attaya. Detik berikutnya Attaya melempar ponselnya dan menampar dirinya sendiri sekuat-kuatnya.

"Apa-apaan nih? Kenapa sih gue, kayaknya gue lagi nggak sehat."

***

"Pagi Attaya."

Attaya memandang datar gadis itu, tangannya memegang kotak bekal. Lagi-lagi kotak bekal.

"Tha, ini bekal buat lo. Sorry kemarin-kemarin gue nggak bawain karena gue kesiangan terus," oceh Adora.

"Gue mau kasih tau lo satu hal."

Adora mengangguk antusias. "Pasti mau bilang kalo Attaya udah cinta sama Ador kan?"

Attaya menghela nafas. "Bukan dan nggak akan pernah. Gue nggak pernah perduli sama ocehan nggak guna lo itu."

Adora tersentak. Sakit? Tentu saja. Namun adora menutupinya dengan senyuman polosnya. "Udah nih, ambil kotaknya. Biar Ador nggak banyak omong."

Attaya mengambilnya kasar lalu duduk di kursi panjang koridor. Ia membuka kotak bekal itu untuk pertama kalinya. Kotak bekal dengan warna tutup biru laut dan warna bawah merah.

Ada nasi dan telur. Attaya memandang Adora sekilas, nasi dan telur? Jadi, selama ini ... nasi dan telur? Astaga.

Attaya ingin sekali membuang kotak bekal ini, ia alergi telur. Namun gadis bodoh itu tersenyum penuh harap. Attaya memotong telur menggunakan sendok dan memakannya.

"Astaga makanan apaan ini, asin banget." Attaya membatin.

"Gimana? Enak kan?" tanya Adora dengan senyum mengembang.

"Hm, enak." Attaya tak tau kenapa ia menjawab sesuatu yang bertolak belakang dengan yang dirasakannya. Seumur hidupnya baru kali ini Attaya melakukannya, dan untuk seorang Adora?

Attaya menghabiskan telur dan nasi buatan Adora dengan cepat karena tubuhnya sudah terasa panas dan gatal. Sedangkan gadis di sampingnya masih sibuk tersenyum memandang Attaya.

"Nih! Sekarang pergi." Attaya mengusir sembari memberikan kotak bekal itu. Ia berlari ke kantin, menuju para sahabatnya.

"Tir, Nan. Badan gue gatel. Tadi makan telor. Obat alergi gue abis, gimana nih? Arrrgh." oceh Attaya yang baru saja datang.

Tirta dan Nando saling menatap. Kenapa Attaya memakan telur?

"Astaga, gue otw beli. Udah tunggu sini, Nan. Kasih minum ni anak dulu. Gue ngebut." Tirta ngacir begitu saja, beruntungnya di dekat sekolahnya ada apotek 24 jam.

Nando menuruti Tirtpa, memberi minum kepada Attaya sambil mengipas-ngipas tubuh Attaya menggunakan ponselnya. Sungguh perbuatan tidak berguna.

Attaya sendiri sibuk menggaruk tubuhnya dan berteriak tak karuan. Ia bahkan menjadi tontonan seisi kantin.

Adora yang baru saja sampai di kantin terkejut melihat keadaan Attaya. Kenapa Attaya berubah begini? Padahal tadi baik-baik saja.

Adora mendekati tempat duduk Attaya dan Nando lalu menaruh botol minum hello kitty di meja panjang. Ia menatap Nando. "Attaya kenapa?"

"Nggak apa-apa!" jawab Attaya dengan nada membentak.

Adora tertegun. Kenapa Attaya marah kepadanya? Hm, aneh.

"Nih! Minum cepetan!" Tirta yang baru datang langsung memberi sesuatu seperti obat yang membuat Adora semakin bingung.

Attaya memasukan beberapa obat ke mulutnya dan meminum air botol hello kitty dari Adora. Nando dibuat kaget olehnya, tadikan Nando memberinya air menggunakan gelas normal. Ada apa dengan Attaya?

"Attaya kenapa sih?" tanya Adora tak sabar.

Tirta menoleh, baru sadar bahwa ada gadis duduk di sebelahnya. "Attaya alergi telur, tadi obatnya habis. Gue kira dia bakal meninggal."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience