e p i l o g

Drama Completed 691

Hai! Ini sudah ada di epilog.
Sebuah titik akhir.

Happy reading, my reader^^

Vano menatap benda besar berwarna pmerah muda di tangannya. Ia sesekali tersenyum. "Giliran boneka babi besarnya ada, lo nya yang nggak ada, Dor."

Kemudian, pria itu menoleh ke arah kue tujuh tingkat dengan banyak patung babi bertengger di sana. "Tuh, ada kue tujuh tingkat juga, Dor. Huft."

"Udah lah, hari ini kan hari ulang tahun harusnya bahagia, kan Dera juga ulang tahun hari ini. Coba aja lo telfon dia," saran Baim.

Vallen, Karina dan Stefanny mengangguk setuju. Kali ini, otak Baim ada fungsinya.

Vano mengeluarkan ponsel nya. Ia mencari kontak dengan nama Adera Kebo. Lalu menelfonnya.

"Halo. Lo di mana, Kebo?"

"Di makam adek."

"Ke sini, rayain ulang tahun lo."

"Ah elah, lo mah kayak Mama. Apa-apa dirayain. Emang, gue masih bocah?"

"Heh si kutil nyamuk, udah ke sini aja!"

Telfon diputus secara sepihak oleh Vano. Sedangkan, Adera sedang mengumpat Vano dan komplotannya itu.

Adera segera pergi dari pemakaman adiknya. Ia memakai helm fullface berwarna merah miliknya dan meghidupkan motor besar yang warnanya senada dengan helm nya.

"Persetan dengan ulang tahun!"

***

"Welcome to my house, Adera."

"Sok inggris banget, masih sering ngadu ikan cupang aja, belagu," katus Adera.

Tak menggubris Adera, Vano langsung berjongkok. "Tiup lilinnya. Gue gendong," suruh Vano.

Adera menyengritkan keningnya. "Lo aja gendong diri lo sendiri, ogah gue mah!"

"Lagian ya, ngapain sih beli kue sebesar ini? Siapa yang mau makan? Laba-laba di pojokkan?" cerocos Adera. Masih ketus.

"Ah, bacot bener!" seru Vano. Ia langsung menarik Adera ke punggung nya dan membawa gadis itu ke depan kue tujuh tingkat itu.

"Tiup buruan, badan lo kayak gorila tau, berat. Nyadar dikit dong!"

Adera menepuk kepala Vano keras. "Bacotnya itu lho, mau saya selepet debu kipas angin ya?"

Adera langsung meniup lilin di hadpannya. Semua orang bersorak gembira. Vano, ia menjatuhkan Adera di sofa miliknya.

"Udah, gue mau pergi dulu." Adera pamit dan langsung beranjak ke luar. Namun, ia berhenti. Tangannya dicekal.

"Ini, bawa!" suruh Vano. Ia menyerahkan boneka babi dengan ukuran jumbo kepada Adera.

"Apa-apaan ini ya? Suatu penghinaan?"

"Bawa, Adora pernah minta ini ke gue."

Adera mengangguk. Ia mengambil boneka itu lalu membawanya pergi dengan sangat repot.

Adera tak ingin langsung pulang, ia butuh mencari ketenangan. Esok ia akan berangkat ke Yogyakarta untuk mengisi suatu acara di sana. Adera bukan orang yang banyak memiliki waktu senggang.

Matanya menangkap taman, lumayan untuk mencari kesejukan. Adera menghentikan motornya di sana dan berjalan menuju satu kursi kosong, tak lupa membawa serta boneka babi jumbo. 

"Haduh, repot amat sih!"

Ditengah susahnya ia membawa boneka itu. Ia mendengar suara menjengkelkan yang membuat telinganya panas.

"Ngapain lo, cewek bar-bar?"

"Kenapa lo nanya begitu? Ini taman kan bukan punya Bapak Moyang lo!"

"Lah, gue kan cuma nanya!"

"Gue juga cuma jawab!"

"Jadi mau lo apa? Kita berantem?"

"Lah, baru dateng diajak berantem. Lo kira gue bakal takut sama cowok mental tape basi kayak lo? Cih." Adera membuang boneka itu. Ia memasang kuda-kuda, menandakan ia siap tempur dengan Attaya.

"Eh, itu jangan di buang. Pasti dari Vano kan?"

"Lo mau? Ambil aja tuh, gue susah bawanya."

Attaya tersenyum, ia menatap boneka itu dengan tatapan sendu. Ia merindukan Adora.

***

Kini, Attaya dan Adera tengah tiduran beralaskan rumput dan penyangga kepala mereka berdua adalah boneka babi jumbo pemberian Vano.

"Lo, lihat bintang itu?" tanya Attaya tiba-tiba.

Adera berdecak. "Liat lah, emang gue buta?!"

"Yee, laler pohon nangka ini kebiasaan kalo ditanya gas melulu!" seru Attaya.

"Katanya, kalau ada bintang yang benderang. Itu tandanya, seseorang yang sedang kita rindu menjelma menjadi bintang itu," ucap Attaya lalu tersenyum. Ia mengingat itu, ucapan Adora.

Adera menoleh ke arah Attaya. "Apasih, lo kebanyakan nonton sinetron kali!"

Attaya menghela nafas lelah. "Si orang utan ini, kayaknya susah banget apa ya ngehargain orang lain."

"Lo mau dihargain berapa?"

"Serah lo,serah!"

Attaya menatap bintang benderang itu. "Ador, lagi ngapain di sana? Gue kangen nih, padahal baru beberapa hari doang. Hehe," ucap Attaya.

Adera menyengrit. "Lo apaan sih? Kayak orang gila!"

"Lo, yang bikin gue gila!"

Adera tak menggubris ucapan Attaya. Ia menatap bintang benderang itu. Sekilas, senyuman manis tercetak di bibir mungilnya.

***

"Ini bukanlah kisah cinta yang mulus. Ini adalah kisah kita, kisah diamana aku harus mencintai, ditinggalkan, melupakan, kehilangan, mencintai lagi dan harus kembali melupakan lalu kehilangan. Terimakasih untuk rasa sedalam ini, Mawar Putihku, aku tak akan melupakanmu. Sampai berjumpa lagi di lain kesempatan."

- Attaya Ekada Putra.

***

Udah tamat nih gais. Gantung nggak sih? Nggak tau deh ah, rencana nya sih aku mau buat sequel nya nih. Tapi baru rencana sih hehe. Lihat nanti aja deh.

Aku minta maaf ya kalau selama kalian baca tulisan ini masih banyak kesalahan, ceritanya absurd, banyak banget typo bertebaran hehe. Bakal aku revisi kok, ntah dalam waktu dekat ataupun lambat.

Pokoknya aku ucapin terima kasih banyak untuk kalian yang setia baca ceritaku ini dari prolog sampai epilog.

See u next time.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience