22

Drama Completed 691

Adora melihat pantulan wajah dirinya dari ponselnya, matanya sembab. Ia menanggis sejak semalam dan sekarang, gadis itu sibuk memandangi wajahnya sedari tadi.

"Kenapa Attaya semarah itu? Kan gue ninggalin nggak sampai argh--"

"Dor, aku sayang sama kamu. Aku ingin lindungi kamu. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, bukan rasa ingin melindungi sebagai persahabatan. Tapi lebih."

Bayangan itu lagi, Adora pening sekali. Ia selalu merasakan ini sejak kelas 2 SMP dulu. Namun, Vano selalu menjelaskan arti bayangannya.

Ia sering melihat anak lelaki dalam bayangannya, anak lelaki dengan senyuman indahnya. Vano berkata bahwa itu dirinya, anak itu adalah Vano.

Namun, tampak berbeda. Itu bukan Vano. Itu berbeda, tetapi Vano tetap keukeuh kalau bayangan di benak Adora adalah Vano. Entahlah, Vano memang aneh. Padahal yang bisa melihat hanya Adora, kenapa Vano begitu yakin?

"Kenapa, Dor?" tanya suara lembut Stefanny yang baru saja selesai mengupas kulit buah apel, Adora tak suka bila memakan buah apel dengan kulitnya sekaligus.

Adora menggeleng lalu tersenyum. "Fan, sebenarnya gue sama Vano beneran teman kecil?" tanya Adora tiba-tiba. Stefanny terkejut. Ia heran mau berkata apa.

"Hmm... I-iya."

"Jangan bohong sama gue Fan."

Stefanny tercekat. Lidahnya kelu untuk mengatakan sepatah katapun.

"Udah Fan, cerita aja semuanya," celetuk Karina dari sofa yang sedang bermain game dengan posisi menyandar ke bahu Vallen.

"Berisik lo gajah!"

"Gue kecil gini mana ada miripnya sama gajah?"

"Mirip. Suka nempel sama lem tikus," jawab Stefanny lalu melirik ke arah Vallen. Yang dilirik hanya fokus kepada game di ponselnya. Tak mau ambil pusing.

Adora berdehem kecil menandakan ia ingin mengetahui apa yang dibicarakan Karina.

"Jadi dulu itu..."

Stefanny baru saja selesai makan malam bersama Bunda dan Ayahnya. Tiba-tiba ada ketukan pintu yang sangat keras.

Mereka bertiga bertatapan, siapa itu? Apakah Vano? Ya, malam itu Vano berkata akan pulang telat karena ingin menemani Adora dan Paman Arsya ke Pameran Seni.

Akhirnya Stefanny yang membuka pintu utama, ia sempat kaget melihat kondisi Kakaknya. Seluruh wajahnya penuh luka gores, kakinya kirinya diperban dan ia berjalan menggunakan tongkat.

"K-kak Vano, kenapa?" tanya Stefanny yang masih setengah sadar.

Vano menyunggingkan senyumnya. "Nggak apa-apa Fan, mending kamu bantu Kakak ke kamar," ucap Vano.

Sejak saat itu Stefanny selalu melihat Vano rajin ke rumah Adora. Semenjak Om Arsya meninggal yang saat itu Stefanny tak mengetahui alasannya. Adora memang teman Vano dan dirinya sejak kecil, tapi Vano tak pernah terlalu perhatian seperti ini kepada Adora.

Setelah berbulan-bulan tak mau bersekolah, akhirnya Vano pindah ke sekolah Stefanny dan Adora berada. Ya, mereka jadi teman sekelas karena Vano ingin mengulang kelas 2 SMP nya.

Setelah lama tetap seperti itu, Stefanny sadar jika ada sesuatu yang membuat Vano seperti ini, kakak laki-lakinya itu bahkan pernah hampir membunuh satu murid kelas VIII-C hanya karena menarik-narik rambut Adora sampai beberapa helainya terputus.

Namanya, Dio.

Setelah menelusuri sendiri apa yang terjadi dengan kakak laki-lakinya, Stefanny tahu satu hal. Vano mengucapkan janji kepada Om Arsya.

Janji tentang melindungi Adora.

Tepat pada saat Stefanny mentertawai wajah Adora yang bersemu karena Attaya menyatakan cintanya, Vano datang dan berkata akan menjemput Adora yang sudah ditunggu oleh Om Arsya di suatu pameran seni.

Saat itu, setelah selesai acara, Vano dan Adora berbeda kendaraan. Vano dengan motornya dan Adora serta Om Arsya dengan Mobil Om Arsya.

Saat sudah dekat dengan rumahnya Vano mendengar suara yang cukup keras. Vano sempat menoleh lalu segera menghampiri asal suara.

Ia tercekat, lidahnya kelu. Vano benar-benar shock. Mobil yang ditumpangi Adora dan Om Arsa menabrak truk muatan pasir. Hati Vano benar-benar hancur, jika boleh jujur. Vano sangat mencintai Adora, Adora adalah gadis lembut dan penyayang.

Pria itu meminta bantuan warga sekitar yang lewat. Mereka membantu membawa Adora dan Om Arsya ke rumah sakit.

Om Arsya hanya luka ringan, namun tidak dengan Adora. Saat itu, Adora sedang memegang suatu benda runcing agak besar yang ia beli dari pameran seni itu.

Benda itu menusuk tepat ke jantung Adora.

Seperti yang Vano tahu, seharusnya Adora sudah meninggal karena benda itu menusuk tepat di jantung nya. Namun, kuasa Tuhan. Adora masih bisa bernafas. Om Arsya tak sampai pingsan dan dengan keputusan sepihak, Om Arsya memilih memberikan jantungnya kepada Adora.

Suatu tindakan yang sangat fatal.

Namun, berhasil.

Suatu keajaiban, meski pada hari itu juga Adora kehilangan hampir semua ingatannya. Tapi Vano bersyukur Adora masih memiliki nyawa.

Dan Om Arsya, ia pergi dengan tenang.

Sejak saat itu juga, Mama Adora menjadi sosok yang berbeda. Sangat berbeda.

Stefanny selesai menceritakan sedangkan Adora masih meresapi apa yang dikatakan Stefanny barusan. Bayangan demi bayangan mulai kembali berputar di kepala Adora.

"Oh, ini. Hari ini, hari ulang tahunku. Orang tuaku memberi ini, tapi aku tidak suka. Kalau kamu mau, ambil saja."

Adora memegang kepalanya yang kesakitan. Stefanny sendiri nampak panik karena Adora begini. Tak ada pilihan lain, Stefanny harus menelfon Vano. Vano lebih tahu tentang hal ini dibanding dirinya.

"Aku ambil bunga nya. Terimakasih, Attaya. Aku akan menjawabnya esok. Kalau nanti alu mendatangimu dengan membawa bunga yang sama. Tandanya aku menerima kamu."

"Lalu, jika kau menolakku?"

"Aku tidak akan berbicara lagi kepadamu. Karena, kurasa itu tidak mungkin."

Kepala Adora semakin pusing, ia sekarang tambah yakin bila sebenarnya Attaya itu bukan orang asing. Attaya itu adalah orang paling dekat dengannya, orang yang mampu membuatnya merasa nyaman.

"Attaya." lirih Adora, ia langsung mencabut infusannya. Stefanny kewalahan untuk menangani Adora, gadis pengidap kanker darah stadium 2 ini sangat susah diatur.

Stefanny hanya berharap Vano cepat datang.

Stefanny melirik ke arah Vallen dan Karina. "Pasangan idiot, bukannya bantu malah main game."

"Bacot." ucap dua anak manusia itu serempak. Stefanny hanya menggeleng.

Sementara, Adora sendiri sudah yakin jika selama ini ia mengidap amnesia. Sekarang, ia ingat, sangat ingat. Attaya adalah cinta pertamanya, cinta keduanya, cinta ketiganya dan cinta sejatinya.

"Attaya, tunggu aku."

Adora membeli bunga yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Bunga mawar putih yang ia janjikan kepada Attaya dulu, lalu memberhentikan taxi dan menuju rumah Attaya.

Setelah sampai tanpa alas kaki, Adora mengetuk pintu rumah Attaya. "Tha! Tha!"

Attaya keluar, kali ini bukan dengan wajah datarnya. Kali ini dengan wajah terkejutnya, pakaian Adora masih dengan pakaian rumah sakit. Rambutnya acak-acakan dan juga tak memakai alas kaki.

"Ini, Ador bawa bunga mawar putihnya!" seru Adora lalu memberikan satu tangkai bunga mawar putih itu kepada Attaya.

Attaya tersenyum miring, ia mengambil bunga itu. "Lo baru jawab sekarang? Lo kemana aja dari dulu, bangsat."

Adora tertegun, Adora ini gadis cengeng. Bisa saja ia menanggis sekarang ini, tapi tentu saja ia tahan mati-matian. Ia tak mau menanggis di depan Attaya.

"A-ador nggak inget apa-apa, Tha--"

"Halah, amnesia? Kenapa nggak sekalian mati aja lo?!"

Hati Adora mencelos. Apa-apaan Attaya berkata begitu? Baru kali ini Adora dimaki oleh Attaya, jika dikatai gadis bodoh dan lainnya Adora masih bisa terima. Bahkan dengan kata-kata Attaya yang menyakitkan tadi, Adora masih juga tak perduli meskipun hatinya merasa sakit.

"Iya, dia amnesia!"

Attaya dan Adora menoleh, itu Vano.

Vano berjalan mendekati mereka berdua. "Biar gue lurusin, dulu sehabis lo nyatain perasaan lo ke Ador gue ajak dia ke pameran seni yang bokapnya gelar. Singkat cerita kami pulang dan tiba-tiba mereka kecelakaan. Saat itu, Adora beli bambu runcing yang versi pendek. Entah buat apa, pokoknya bambu itu nusuk tepat ke jantung Ador."

Attaya ternganga. Ia tak menyangka.

"Ajaibnya, Adora nggak meninggal. Bokapnya yang meninggal, bukan karena kecelakaan itu. Bokapnya meninggal karena donorin jantungnya untuk Adora. Adora selamat, tapi dia kehilangan ingatannya karena terbentur pada saat kejadian naas itu."

Attaya menatap Adora tak percaya. Ia bertekuk lutut di depan Adora, mawar putih yang dipeganggnya sudah jatuh ke aspal.

Attaya tertunduk lemah di hadapan Adora.

"A-adora?" panggil Attaya.

Adora dengan wajah bodohnya yang kembali tampil pada saat-saat seperti ini hanya berkedip polos.

"M-maafin gue, gue kasar, gue jahat, gue--"

"Udah, bangun." Adora memapah Attaya agar berdiri tepat di hadapannya. "Ador tetap sayang Attaya, meski Attaya dingin, galak, kasar, bahkan saat Ador menderita amnesia, hati Ador tetap memilih Attaya."

"T-tapi, ini salah gue," ucap Attaya lesu.

"Nggak, ini bukan salah Attaya. Ini hanya salah paham."

Attaya menatap Adora dalam. Gadis itu kembali, Adora gadis bermata indah yang selalu Attaya rindukan.

Attaya membawa Adora dalam dekapannya. Ia kemudian memeluk Adora erat, seakan tak mau kehilangan Adora untuk kedua kalinya.

Setelah melepas pelukannya, Attaya kembali menatap mata Adora. Matanya lebih sayu dari sebelumnya.

Kenudian Attaya memegang tangan Adora. Dingin.

Attaya menoleh kepada Vano, berharap mendapat jawaban untuk pertanyaannya. Vano mengangguk dan memberi kode kepada Attaya agar membawa Adora ke mobilnya.

Attaya mengangguk. Setelah di mobil, Vano membawa dua insan manusia itu menuju rumah sakit.

"Tha," panggil Adora lirih, sekarang posisinya tertidur di atas paha Attaya.

"Apa?" tanya Attaya lembut, Attaya berubah. Es di hatinya sudah dicairkan oleh seorang Adora Najma Orlin.

Adora tersenyum lemah. "Besok, Ador berangkat ke Singapura."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience