21

Drama Completed 691

Ini part panjang. Tapi harus dibaca sampai selesai, ini salah satu kunci konfliknya. Sama halnya puzzle, akan terselesaikan ketika satu per satu disatukan.

Happy reading my reader^^

Putri berjalan dengan langkah besar, ia benar-benar takut. Tadi, ia mendapat kabar dari Stefanny bahwa Adora masuk rumah sakit dan difonis menderita penyakit leukimia.

Kenapa harus adiknya? Kenapa harus orang yang ia cinta?

"Tenang Put," ucap seorang pria di samping Putri yang kewalahan mengikuti langkah jenjang Putri.

"Gimana mau tenang, Devan. Adek gue kena leukimia!" tutur Putri.

Devan sudah ngos-ngosan. Putri berjalan begitu cepat, bahkan seorang laki-laki tinghi seperti Devan tetap kewalahan mengikutinya. Setelah berjalan dengan penuh perjuangan setelah cukup lama, mereka sampai di depan ruangan Adora dirawat.

Putri memasuki ruangan itu sementara Devan menunggu di depan. Ia tak mau mengganggu waktu antara Putri dan Adora. Banyak hal yang harus mereka selesaikan, sepertinya.

Putri masuk dengan wajah gelisah. "Dek," panggil Putri lirih. Ia tak ingin Adora terkejut jika langsung memarahinya. Putri adalah Putri, bukan Dirga yang selalu marah-marah tanpa alasan yang jelas.

Sebenarnya tadi Dirga yang ingin kemari, tapi Putri melarang. Ia takut jika Adora tambah shock dengan omelan maut Dirga. Jadilah Putri menelfon Devan dan memintanya mengantar ke rumah sakit.

"Ka-Kaput?" Adora kaget. Ia mencoba duduk dan Putri membantunya. "Ngapain?" tanya Adora dengan wajah terkejut.

Putri tak menjawab. Ia hanya diam lalu mendekati Adora dan mengelus puncak kepala Adora.

Adora merasa sangat bersalah menutupi penyakitnya selama ini, padahal yang igin ia lakukan hanya membuat semua orang tidak khawatir.

Niat Putri yang ingin memarahi Adora seketika hilang karena melihat betapa kacaunya wajah Adora saat ini.

"Besok kamu ke Singapura, berobat."

Hanya itu. Hanya itu yang Putri bilang dan hanya itu juga yang mampu membuat Adora tertegun, bagaimana dengan Attaya?

"Ta-tapi, Kak."

"Nggak usah tapi, Kaput mau yang terbaik buat kamu."

"Tapi Ador nggak mau nyusahin Mama-Papa."

"Ini uang Kaput sama Bangdir, kamu tenang aja."

Adora mengangguk kecil. Dalam hatinya ia merutuk dirinya kenapa bisa penyakitan seperti ini.

***

"Vano please angkat!"

"Astaga, Vano!"

Adora menggerutu karena Vano tak menjawab telfon darinya. Tak lama, Vallen datang untuk menjenguk Adora, yang aneh. Tidak bersama Karina, hanya Vallen sendiri.

"Nih, pake hp gue."

Adora mengangguk. Menelfon Vano menggunakan ponsel Vallen. Tak lama suara Vano terdengar.

"Hallo, napa Len?"

"Ini Ador, Ador mau--"

Telfon dimatikan secara sepihak. Adora tak menyangka sebegitu fatal kah yang ia perbuat? Rasa-rasanya ia tak pernah membunuh orang, tak pernah melakukan tindak kriminal lainnya. Tapi kenapa ia dihukum begini oleh Vano?

"Udahlah, Vano cuma butuh waktu."

Ador mengangguk lemah. "Vallen, besok gue ke Singapura."

Vallen membulatkan matanya. Yang benar saja! Namun, Vallen adalah orang yang pembawaannya tenang. Ia mengembalikan raut wajahnya seperti biasa. Datar.

"Terus lo mau ngelakuin apa? Ini hari terakhir sebelum ke Singapura kan? Lo bisa balik ke sini, tapi pengobatan lo nggak mungkin sebentar."

"Ada satu hal."

***

Adora mengetuk pintu rumah Attaya dengan lemah. Ia bahkan tak memanggil nama Attaya, kepalanya sungguh pening.

Vallen mengawasi dari kejauhan, gadis itu memang nakal. Vallen sudah melarangnya, namun tak didengar. Vallen juga tahu resiko dari ini semua. Jika Vano tahu, Vallen mungkin akan mati, tapi ini demi Adora. Ya, demi Adora.

Attaya keluar dari rumahnya dengan wajah datar seperti biasanya. "Ngapain lo ke sini?" tanya Attaya dingin.

Adora tersenyum lemah. Ia diam beberapa saat, membiarkan angin menerpa rambut kuncir dua-nya yang dibentuk oleh Vallen.

"Ah, kalau mau diem. Mending pergi aja, gue nggak banyak waktu buat ngelayanin cewek murahan kayak lo!" seru Attaya.

Adora masih tersenyum. Rasanya, ia sudah tak bisa mengangkat satu bucket bunga di tangannya saat ini, sangat berat.

Akhirnya dengan tenaga supernya, Adora menyerahkan satu bucket bunga itu kepada Attaya. Attaya menerimanya dengan kasar.

"Maafin Ador ya, kalau Ador ada salah sama Attaya. Ador bener-bener minta maaf--"

"PERGI DARI HIDUP GUE! DASAR CEWEK MURAHAN, NGAK TAU DIRI! MANJA! CAPER!" bentak Attaya dengan penekanan di setiap kata-katanya lalu melemparkan satu bucket bunga tepat pada wajah gadis di hadapannya.

Sedangkan Adora, merunduk serta mencengkram ujung rok-nya seraya menahan air mata yang kapan saja bisa meluruh.

"Gue capek, lo ngerusak hari-hari indah gue. Jadi pengacau yang selalu bikin gue kesel. Kapan sih lo nyadar kalau kehadiran lo itu justru bikin gue menderita?" tanya Attaya dengan nada yang tidak setinggi tadi namun dingin, sangat dingin.

"Kalau gue ngomong, tatap mata gue!" lanjut Attaya.

Detik berikutnya Adora mengadahkan kepalanya, sekarang ia menatap manik mata Attaya.

Sangat dalam dan menusuk.

"Ngomong! Jangan cuma gue yang ngomong kayak orang gila!" tegas Attaya.

Gadis itu tersenyum miris, air mata mulai mengalir dari mata turun ke pipi. "Selama ini ... Ador terima kalau Attaya kasarin Ador, terima kalau Attaya buang kotak bekal yang selalu Ador bawain. Ador selalu sabar dan tetap perjuangin Attaya dengan harga diri yang diinjak-injak," ucapnya miris, sembari sesegukan ia melanjutkan kalimatnya.

"Tapi sekarang ... terimakasih udah nyadarin Ador bahwa Ador itu hanya pengganggu. Terimakasih juga ... udah buat Ador paham makna dari sakit hati. Dan Ador rasa ini terakhir, Ador pergi dulu ya Tha. Maaf atas segalanya dan semoga hari-hari Attaya indah tanpa gangguan Ador lagi," lanjut gadis itu sebelum benar-benar pergi.

Attaya menatap punggung Adora yang lama-kelamaan menjauh. Ia mengusap wajahnya gusar. Apakah ia sudah keterlaluan?

Attaya memasuki rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia kesal, marah, kecewa, sedih. Semuanya tercampur. Ia melirik ke jendela, bunga itu masih tergeletak di sana. Hatinya menyuruhnya mengambil bunga itu, namun tidak dengan tubuhnya.

Attaya egois.

Ia berdecak berkali-kali. Mengapa ia bisa menjadi remaja labil seperti ini sih?

"Lagi liatin apa sih?" tanya sosok di belakang Attaya. Attaya menoleh lalu menatap sosok itu dengan wajah bersalah.

"Kenapa? Adora?"

Attaya mengangguk.

"Haduh Tha, emang dia ngapain lagi sih?"

Attaya menghela nafas. "Kak Fiona, dia tuh dateng lagi. Minta maaf."

Perempuan yang dipanggil Fiona itu tersenyum kecil. "Lalu? Lo maafin?"

Attaya menggeleng.

"Lah, kenapa? Bukannya lo sayang sama dia?"

Attaya menatap Fiona lalu ikut duduk di sofa tempat Fiona duduk.

"Dia bawa bunga, terus gue lempar ke muka nya," ucap Attaya lesu.

Fiona tercengang. "Itu namanya lo yang salah, lo nggak boleh gitu Tha."

Attaya mengambil toples berisi kacang lalu mendekapnya dan mulai memakannya dengan kesal. "Tapi Kak, dia duluan yang memulai. Dia yang bikin gue benci sama dia!"

"Cerita semuanya, dari awal."

Attaya menghela nafas. Rasanya berat sekali untuk mengingat masa lalunya itu.

9 tahun yang lalu...

"Hey, kamu kenapa murung sih?" tanya Attaya kepada gadis yang sedari tadi memperhatikannya dari trotoar sebrang.

Gadis kecil itu tak menjawab. Ia menatap Attaya kagum. "Kenapa kamu diam saja?"

Gadis kecil itu menatap benda kotak di tangan kanan Attaya. "Aku mau itu.

"Oh, ini. Hari ini, hari ulang tahunku. Orang tuaku memberi ini, tapi aku tidak suka. Kalau kamu mau, ambil saja." Attaya menyodorkan kotak itu. Sejak saat itu, ia dan gadis yang diketahui namanya Adora berteman.

4 tahun yang lalu...

Attaya dan Adora sekarang sudah menginjak kelas 2 SMP. Mereka sudah tidak lagi bertemu sejak kelas 1 SMP. Adora hilang dan tak pernah muncul di area taman. Hingga suatu keajaiban terjadi, Adora datang ke sekolah Attaya sebagai murid baru.

Attaya sangat kaget, setelah sekian lama akhirnya Adora kembali. Namun, saat itu Attaya kecewa. Ia masih marah kepada Adora yang tega meninggalkannya tanpa kabar.

Attaya tak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia rindu dengan Adora, gadis penyuka babi, gadis dengan tutur katanya yang halus. Attaya pun memberanikan diri untuk menyapa Adora.

Adora terlihat gembira, ia sangat senang bisa bertemu Attaya lagi. Banyak hal yang menghalanginya menemui Attaya selama ini.

Perasaan Attaya berubah menjadi rasa sayang saat bertemu Adora lagi. Meski baru beberapa hari mereka bertemu lagi, semuanya sudah cukup untuk Attaya menyimpulkan bahwa ia mencintai gadis itu.

Attaya memberanikan diri lagi untuk mengutarakan perasaannya kepada Adora. Mengutarakan seluruh isi hatinya yang selama ini ia tutupi dengan kata persahabatan.

Hari itu pun tiba, Attaya mengajak Adora ke taman pertama kali mereka bertemu. Taman tempat pertama kali kisah mereka dimulai.

"Dor, aku sayang sama kamu. Aku ingin lindungi kamu. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, bukan rasa ingin melindungi sebagai sahabat. Tapi lebih," ucap Attaya lalu tersenyum, ia mengeluarkan setangkai mawar putih dari belakang tubuhnya yang ia sembunyikan sedari tadi.

Adora tersenyum. Pipinya bersemu, Attaya yakin Adora akan menerimanya, kepercayaan diri yang sangat Attaya sesali pernah memiliki hal itu.

"Aku ambil bunga nya. Terimakasih, Attaya. Aku akan menjawabnya esok. Kalau nanti aku mendatangimu dengan membawa bunga yang sama. Tandanya aku menerima kamu."

"Lalu, jika kamu menolakku?"

"Aku tidak akan berbicara lagi kepadamu. Karena, kurasa itu tidak mungkin."

"Lalu, kenapa tak menjawab sekarang?"

"Karena... besok tanggal 16 Oktober. Hari ulang tahunmu dan hari ulang tahunku."

Attaya tertawa kecil. "Baiklah, aku tunggu kamu."

"Oke. Aku mau pulang sendiri hari ini, Ayahku sudah menjemput." pamit Adora. "Selamat tinggal, Tuan Ekada."

Attaya hanya tersenyum. Ia tak sabar menunggu esok. Ia tak sabar dengan hari ulang tahunnya dan hari dimana Adora menjadi miliknya.

Beberapa hari kemudian...

Attaya terus menunggu Adora, sudah 5 hari gadis itu tak ada kabar. Padahal ia sangat ingin mendengar jawaban Adora. Lalu, soal hari indah itu. Attaya melupakannya, ia sama sekali tak perduli dengan ulang tahunnya.

Beberapa bulan kemudian...

Adora masih tak datang, Attaya pun masih setia menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pasti. Hingga, tepat hari itu. Ia melihat Adora, benar-benar Adora.

Adora yang tak biasa, itu bukan Adora pemakai bando berwarna merah muda. Ini adalah Adora dengan rambut cepol asal-asalan. Apa yang terjadi pada Adora?

Baru saja Attaya ingin menghampiri Adora, ia lebih dikagetkan dengan kemunculan salah.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience