16

Drama Completed 691

Adora menatap teman-temannya. Ada Vallen dan Karina yang sedang ribut. Seperti biasanya. Adora menyamperi mereka, ia langsung diberi sorot sinis ke lima sahabatnya. Adora menyengrit, apa salahnya?

"Kenapa natap gue begitu?"

"Udah sana, lo sama Attaya aja. Nggak usah sama kita!" seru Stefanny.

Adora keget. Rasa sakit tercipta di benaknya. Kenapa Stefanny bicara seperti itu? Apa karena ia tadi berangkat bersama Attaya?

"Tau nih, sana-sana. Muak gue liat lo," tambah Baim.

Adora tersentak. Apa segitunya?

"Ka-kalian kenapa sih?" tanya Adora. Badannya bergetar sekarang.

Adora meminta penjelasan melalui mata lewat Vallen dan Karina, namun mereka hanya diam menatapnya dengan tatapan iba. Ada apa dengan semuanya?

"Dasar cewek nggak tau terimakasih." kali ini Vano. Mungkin bila yang lain yang mengucapkan kalimat sadis itu Adora tak terlalu sakit tapi ini, Vano. Vano, pria yang sangat ia sayang.

"Susah ke kita, seneng ke dia. Gue muak sama lo." Vano berucap lagi.

Tes.

Air mata mengalir begitu saja dari mata Adora. "Van, jangan ngomong gitu. Apa yang nggak Vano suka? A-Attaya? Ador bakal ja-jauhin Attaya kalo Vano nggak suka," ucap Adora sembari sesegukan. Ia bahkan tak sadar bila Attaya berdiri tak jauh darinya.

Vano berjalan mendekati Adora. Menatap gadis itu dingin. Baru pertama kali Vano menatap Adora dengan tatapan seperti itu.

"Van, maafin Ador." lirih Adora saat jarak mereka hanya beberapa centi saja.

Vano tiba-tiba membawa Adora ke dekapannya. Adora tak mengerti, tapi ia bersyukur jika Vano sudah memaafkannya.

"Happy birthday Dora! Happy birthday Dora! Happy birthday happy birthday happy birthday DORAAAA!" kini Baim, Stefanny, Vallen dan Karina yang bernyanyi.

Vano telah melepaskan dekapannya lalu tersenyum ke arah Adora. "YANG ULANG TAHUN GUE, DASAR BOCAH-BOCAH KAMPRET!" seru Afina yang membuat seisi pesta tertawa.

Adora mengedip beberapa kali. "Jadi kalian ngerjain gue?"

Mereka serempak mengangguk.

"Ih sebel, Vano juga?"

"Iya, maaf hehe. Ini ide Baim."

"Kok gue!" protes Baim.

"Berarti Vano nggak beneran muak sama Ador kan?" tanya Adora.

Vano menggeleng. Melihat jawaban Vano, Adora memeluk Vano lagi, Vano membalas.

"Ador sayang banget sama Vano!"

"Vano lebih sayang sama Ador!"

Baim berbisik kepada Stefanny. "Abang lo tolol ya, udah saling sayang. Kenapa nggak pacaran coba?"

Stefanny menyunggingkan senyum. "Lo yang tolol, bedain mana sayang mana cinta nggak bisa."

Baim bengong. "Kalo lo Fan?"

Stefanny menoleh. "Kenapa gue?"

"Sayang atau cinta?"

Stefanny menyengrit. "Ke siapa?"

"Ke gue."

"Najis amit-amit. Tanya sono sama ember."

"Judes amat, nanti sayang dan cinta lho," ledek Baim.

Stefanny tak menggubris, ia hanya diam sembari memperhatikan Adora dan Vano.

"Fan," panggil Baim lagi.

"Apaan lagi sih Bai?"

"Gue mau tanya."

"Apa?"

"Vano Kakak lo kan? Kok kalian bisa sekelas?" tanya Baim.

Stefanny tersenyum getir. "Dulu, Vano itu sekolahnya nggak naik setahun. Dia sempet sakit berbulan-bulan, jadinya kita bisa sekelas."

Baim mengangguk. "Emang sakitnya parah?"

"Parah, dan kalau lo tau. Sakitnya itu yang membuat hatinya bergerak buat ngejaga Adora, bahkan bunuh orang yang macem-macem sama Adora." Stefanny menjelaskan.

Adora dan Vano sudah pergi, begitupun Vallen dan Karina. Jadilah, tinggal mereka berdua. Baim semakin penasaran. "Emangnya Vano pernah bunuh orang?"

Stefanny menghela nafas. "Nggak sih, tapi dulu anak orang hampir mati."

"Masa sih? Cerita dong?"

"Capek."

Baim menarik tangan Stefanny menuju kursi kosong lalu meninggalkannya sebentar untuk mengambil jus.

"Ayo cerita. Gue butuh tau Vano, kita temenan udah 2 tahun. Tapi nggak tau apa-apa tentang Vano." Baim mencoba meyakinkan Stefanny.

Stefanny menghela nafas lagi. "Dulu, ada anak cowok yang sering isengin Adora. Vano udah berkali-kali ancem anak itu. Tapi, anak itu tetap aja ngeyel. Sampai suatu hari Vano lihat sendiri si anak cowok itu gunting rambutnya Adora. Vano marah. Dia gebukin anak itu sampe hampir meninggal Bai, gue udah nyuruh berhenti tapi tetap aja nggak bisa."

"Terus anaknya gimana?"

"Adora yang narik Vano, dia nasehatin Vano. Akhirnya Vano berhenti dan tanggung jawab buat bawa anak itu ke rumah sakit."

Baim mengangguk. "Pantesan pas Attaya kasih roti mocca ke Adora, Vano segitu ngamuknya."

"Dia sayang sama Adora, dia nggak mau sesuatu yang buruk terjadi ke Adora."

Baim mengangguk.

"Kejadian 4 tahun yang lalu ngebuat Vano berubah. Ngebuat Vano jadi preman kalau sudah berurusan sama Adora," ucap Stefanny lagi.

"4 tahun yang lalu?".

"Iya. Kejadian Vano sakit."

"Mungkin Vano mendapat ilham ketika sakit," ucap Baim kemudian menepuk pundak Stefanny pelan. "Udah nggak usah sedih begitu, Vano nggak bakal sakit kayak dulu lagi."

Stefanny tersenyum.

"Andai lo tau Bai, sakitnya Vano itu bukan sesuatu yang main-main." batin Stefanny.

***

Adora masih duduk di samping Vano. Sedari tadi ia sibuk mengadu kepada Vano tentang anak tetangga nya yang baru saja membeli boneka babi.

Vano sesekali menyahut. Namun lebih banyak diam, bagaimana bisa menjawab jika Adora terus mengoceh?

"Nanti pulang sama gue," ucap Vano.

Adora menyengrit. "Kan tadi Ador bareng Attaya."

"Pokoknya pulang sama gue!"

Adora tersentak. Apakah Vano baru saja membentaknya? Kenapa Vano menjadi berbeda?

Vano yang mengadari perubahan raut wajah Adora merasa bersalah. Tak seharusnya ia membentak Adora.

"Maaf, tapi gue nggak mau lo bareng Attaya lagi." ucap Vano lalu mencium kepala Adora.

"Liat deh si tolol itu, bilang nya sahabat tapi kelakuan begitu. Astaga." Vallen hanya menatap datar Karina yang sedari tadi membicarakan Vano dan Adora.

"B aja, lo mau gue cium juga?"

Karina melotot. Apakah anak ini sudah tidka waras?

"Eh nggak usah serius, kepala lo bau. Nyentuh aja najis apalagi cium," ucap Vano yang membuat Karina kesal.

"Dasar manusia laknat, mati aja lo!"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience