9

Drama Completed 691

"Kak Tirta? Ngapain?
"Jangan bilang nyari kadal, di sini nggak ada yang jualan soalnya, Kak."

Tirta salah tingkah sendiri, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sekali-sekali berdehem canggung.

"Bisa ikut gue sebentar?" tanya Tirta. Adora hanya mengangguk dan mengekori Tirta yang sudah berjalan lebih dahulu.

Tirta berhenti tepat di belokan koridor menuju kamar mandi yang masih sepi. Ia menatap Adora, manik mata yang indah menurut Tirta.

"Dor..." panggil Tirta.

"Lo manggil gue Kak?"

Tirta menghela nafas. Selain cantik Adora lemot juga ternyata.

"Iyalah, kan cuma ada kita berdua."

"Gue kira lo ngagetin gue," ucap Adora dengan wajah polosnya.

Tirta nampak berfikir sebentar, lalu... "Gue manggil nama lo, Adora. Bukan ngagetin meletus balon hijau DOR!" kini, Tirta sudah mengacak rambutnya frustasi.

Adora cengengesan sendiri. "Ada yang mau diomongin?"

"Iya, pulang sekolah gue tunggu di kafetaria ya." ucap Tirta dan berlalu begitu saja.

Dan kembali dengan Adora dan tampang polosnya yang membuat siapa saja ingin menamparnya.

"Jadi, gue di sini ngapain ya?" tanya Adora. Entah pertanyaan bodoh yang dilontarkan untuk siapa.

"Minggir!" seru seseorang yang membuat Adora kaget.

"Apaan?" tanya Adora kembali memasang tampang polosnya.

Pria yang sedang sibuk membawa kotak berisi peralatan untuk menghias mading menatap Adora jengkel. Bukankah ia sudah berkata bahwa gadis bodoh itu seharusnya menyingkir?

"Lo, minggir. Gue mau lewat, ngerti?" ulang pria itu mencoba sabar.

Adora menatap sekilas pria tersebut. Ia mengangguk, namun tak bergerak.

"Attaya mau lewat?"

Ooh sungguh pertanyaan mahadahsyat dari Adora Najma Orlin. Jika saja Adora ini seorang pria, pasti sudah diajak bertengkar oleh Attaya sejak berbulan-bulan lalu.

"Gue udah bilang dari tadi, masyaallah." Attaya sudah frustasi.

Ia sebenarnya mau lewat saja, tapi Adora berada di tengah koridor yang sepi dan sempit ini. Jika lewat kanan sterofom yang ia bawa bisa patah menabrak dinding. Begitu juga lewat kiri.

"Oh yaudah lewat," ucap Adora, masih tidak bergerak.

Rasanya Attaya sudah mimisan, ia bisa gila berbicara dengan gadis yang tingkat kewarasannya hanya 0,24% itu.

"Gimana bisa lewat kalo ada lo di situ?!" kini Attaya sudah mau meledak, ia sangat sebal bertemu dengan gadis itu. Sial sekali nasibnya bila dipertemukan gadis itu.

"Oh iya ya." Adora menepuk kening.

"GUE AJA YANG NEPOK SINI, SINI!" batin Attaya.

Adora menyingkir, memberi jalan untuk Attaya lewat. Lagi-lagi, hari indah yang dirusak si gadis gila.

***

"WAH GUE KESIANGAN!!!"

Gadis dengan baju babi berwarna merah muda kesayangannya sibuk membenahkan barang yang ingin ia bawa ke sekolahnya.

"Kalau telat berarti nggak bawain Attaya bekal dong. Ah, pasti dia kecewa." gumam Adora. Padahal pada kenyataannya... ya pastinya kalian tau sendiri.

Adora menghela nafas lelah, ia menuju kamar mandi lalu bergegas memakai baju seragamnya. Di rumahnya sudah tidak ada orang. Dirga pergi kuliah pastinya.

Soal Adera, ia hanya mampir untuk merayakan ulang tahunnya dan kembali ke kesibukannya menjadi bintang. Lalu orang tua Adora sudah kembali ke Bangka Belitung.

Setelah menutup pintu dan menguncinya Adora berlari menuju sekolahnya, kebiasan yang terus terulang.

"Dor, mau kemana?" tanya pria dengan wajah santainya.

Adora menyengrit. "Kok Vano pakai baju bebas? Bolos ya?"

"Ini udah sore Dor." ucap Vano dengan sabar.

"Hah? Berarti Ador nggak kesiangan ya?" tanya Adora masih dengan wajah polosnya.

Vano tertawa kecil lalu menepuk puncak kepala Adora. "Ke rumah gue yuk, dicariin sama Bunda."

Adora mengangguk cepat, tentu saja ia tak ingin melewatkan pertemuan dengan bunda Vano. Wanita paling baik di dunia, begitulah sekiranya menurut Adora.

Vano berjalan di samping Adora, ia hanya diam mendengarkan ocehan tidak berfaedah dari Adora, topik yang selalu Adora suka. Semua hal menyangkut babi.

"Van, lo tau nggak sih? Masa ya, kemarin gue liat bazzar baju. Terus ada baju gambarnya babi, kayaknya sih babi nya laki-laki. Kenapa? Soalnya tuh pakai dasi dan juga tau nggak sih? Warna nya biru. Aaa cute banget," cerocos Adora.

Baru Vano ingin membuka mulutnya untuk menjawab ucapan Adora yang panjang sekali itu, namun lagi-lagi terselak dengan curhatan tentang babi.

"Dan beberapa hari yang lalu gue liat anak kecil, sekitar lima tahunan. Dan lo tau? Dia pakai PAYUNG GAMBARNYA BABI." lanjut Adora dengan nada menggebu-gebu.

Vano hanya diam sambil menatap jalanan lurus, apapun yang ia katakan nanti pastinya akan dipotong oleh Adora.

"Lalu nih ya Van--"

"EH ADA ADORA! MAIN YUUK." kini, Stefanny sudah memotong cerita panjang lebar Adora.

"HAYUK MAIN YUKKK!" sahut Adora lalu menyamperi Stefanny yang sedang bermain dengan kucing kesayangannya.

Vano menghela nafas lega, setidaknya sekarang ia sudah terbebas dari Adora, gadis bawel yang selalu menceritakan hal-hal yang menarik menurutnya. Si Maman.

"Bang Vano, makanan si Maman kemana?" tanya Stefanny yang masih sibuk mengelus-elus kucing menggemaskan itu.

Baru Vano ingin menjawab, suara melengking khas membuatnya kembali bungkam.

"WOI INI SIAPA YANG MASUKIN MAKANAN KUCING DI KULKAS? TERKUTUKLAH ENGKAU." pekik suara dari dalam rumah.

***

Angin sepoi-sepoi berhembus bersahutan dengan kayuhan sepedah, gadis dengan rambut yang ia biarkan terurai saat ini baru saja membeli telur untuk membuat kue bersama bundanya Vano.

Ia memang sering membuat kue dengan bunda Vano, hari ini rencananya mereka akan membuat cheese cake. Semua bahan sudah tersedia di rumah Vano, namun saat ingin memulai. Ternyata telurnya ketinggalan.

BRUGH!

Adora tersentak, wajahnya yang tadinya tersenyum menjadi kaku, ia segera turun dari sepedah yang entah milik siapa menuju benturan antara motor dengan motor yang tak jauh darinya.

Sambil terpogoh-pogoh membawa satu kantong plastik berisi satu kilogram telur Adora terus berlari menuju sumber kecelakaan.

Adora membulatkan matanya.

"Attaya?"

Yang merasa namanya dipanggil menoleh ke sumber suara, sungguh sial sekali harus berjumpa dengan gadis bodoh itu lagi.

"Bawa ke rumah sakit aja," ucap salah satu ibu-ibu dengan konde sebesar buah semangka menurut Adora.

"Eh nggak usah Bu, saya nggak apa-apa kok." tolak Attaya halus.

"Lain kali hati-hati ya." ucap ibu-ibu tadi.

"Cih sok perhatian sekali sih nih Ibu konde jumbo." batin Adora.

Attaya menatap Adora jengkel, kenapa gadis itu tak pergi saja?

"Lo ngapain sih?" ketus Attaya.

Adora tersenyum lalu pergi berbalik arah. Attaya hanya menganga melihat tindakan Adora, kenapa gadis itu pergi? Terbesit sedikit rasa kecewa di benak Attaya, namun untuk apa dia kecewa?

Attaya mencoba bangkit, kakinya perih. Sepertinya ada luka ringan karena bergesekan dengan aspal. Ia meringis kecil, saat Attaya menegakkan tubuhnya dan meraih helm sebuah wajah yang sangat dekat membuatnya kaget.

"ASTAGA!"

Adora tertawa jahil. Wajah terkejut Attaya sangat lucu menurutnya. Sebaliknya, yang terjadi dengan Attaya adalah sebuah bencana. Perasaan kaget, takut dan sedikit bahagia.

"Attaya, ayo duduk di situ." ajak Adora sembari menunjuk salah satu kursi panjang di depan warung.

Attaya hanya menurut, entah kenapa ia malas memperpanjang urusan. Lagipula ia justru butuh sedikit istirahat, kakinya sedikit sakit.

"Mana yang sakit?" tanya Adora sembari duduk di depan Attaya.

Attaya hanya diam, tak berniat menjawab. Ia hanya memperhatikan wajah Adora.

Adora pergi membeli sesuatu dalam warung dan kembali lagi lalu menggulung celana Attaya. Attaya nampak cemas, ia tak mau merasakan sakit.

"Nggak mau ah, nanti sakit."

"Sedikit aja sakitnya, kalau infeksi Attaya bisa masuk rumah sakit jiwa lho," bujuk Adora.

Attaya nampak berfikir. "Gue kan anak IPA, kayaknya kalau infeksi gini nggak akan masuk rumah sakit jiwa deh."

Adora terkikik, apakah Attaya percaya dengan hal bodoh yang diucapkan Adora?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience