Happy Reading ??????
??????????
Zeline memakan sarapannya dengan penuh perjuangan. Bagaimana tidak, Ricard telah terlebih dahulu menyelesai-kan sarapannya dan memilih untuk berolahraga. Peluh yang Zeline hasilkan bukan lagi karena fobia-nya melainkan kegemasannya ingin membelai otot dada dan perut Ricard yang begitu menggoda.
Konsentrasi Zeline terpecah belah, padahal Ricard sama sekali tidak menggodanya. Pria itu hanya fokus melakukan olahraga dan gym. Setelah itu, Ricard membuka gorden, yang ternyata dibalik gorden itu ada sebuah kolam renang pribadi.
'Jangan bilang dia akan berenang disana,' batin Zeline ketika melihat pria itu berjalan pelan menuju kolam renang di penthouse miliknya.
Tiba-tiba, ponsel Zeline berdering dan nama Papa nya tertera disana.
"Yes,Papa," sapa Zeline.
"Papa baru membaca chat yang kau kirimkan, nak. Kau sudah sampai di New York,"
"Yes, Papa."
Konsentrasi dan fokus Zeline dalam mendengarkan Papanya berbicara terpecah belah akibat Ricard yang tanpa aba-aba menenggelamkan diri ke dalam kolam renang pribadinya. Shit!
'Kenapa bisa begitu seksi? Ya Lord!' batin Zeline.
"Zel, kau mendengarkan Papa?"
"Ah—Ya, apa, Pa? Bisa ulangi lagi? Aku sedang menonton pertunjukan olahraga yang begitu menarik," jelas Zeline.
"Nanti siang, kita bertemu. Papa akan memberikan lokasinya. Sudahlah, lanjutkanlah tontonanmu, Papa mau bersiap-siap."
"Okay. Baiklah. See you, Pa." Zeline menaruh kembali ponselnya dan kembali menatap tubuh basah kekasihnya yang seksi itu.
Tak lama, ponselnya kembali berdering. Bukan dari Papanya lagi melainkan dari Fini. Zeline segera mengangkatnya, karena wanita itu ingin tahu dimana sahabat-sahabatnya menginap.
"Hallo," sapa Zeline.
"Syukurlah kau masih hidup, Zel. Aku kira kau sudah di mutilasi oleh Fello. Kau menghilang tak ada kabar berita."
"Sialan!" umpat Zeline.
"Aku masih sehat dan bugar sampai detik ini. Bagai-mana denganmu?" tanya Zeline pada Fini.
"Luar biasa seperti princess. Kau tahu, kali ini liburan super mewah yang pernah aku rasakan. Fello benar-benar memanjakan kami semua," celoteh Fini.
"Apa? Fello? Kau tidak becanda? Memangnya kalian menginap dimana?"
Fini tertawa terbahak disana, "Tidak! Aku tidak akan bercanda tentang ini semua. Kau tahu, kekasihmu itu LUAR BIASA KAYA RAYA dan..."
"Dan? Dan apa?" tanya Zeline penasaran.
"Dan dia begitu HOT! Aku sudah mencari tahu mengenai kekasihmu dari semua orang yang berada disekitar sini. Mesya lebay sampai ia pingsan. Memalukan!"
"Pingsan?"
"Karena kekasihmu memberinya kado pernikahan luar biasa, kamar hotel seharga 25juta per hari dan mereka dipesankan selama 10 hari."
"APAAA...! 10 hari, 25 juta per hari?" Zeline mematikan ponselnya sepihak dan melemparkan ponselnya ke sofa begitu saja.
Zeline berjalan menuju kolam renang untuk mencari Ricard. Pria itu tengah meliuk-liukan tangan dan kakinya di dalam kolam membuat Zeline meneguk susah salivanya.
Zeline segera mengenyahkan segala pikiran kotor yang timbul dan segera menyadari apa yang membuatnya ingin mendekati Ricard.
"Kau ingin berenang bersama, honey?" tanya Ricard.
'Iya,' batin Zeline namun langsung dikoreksi segera.
"Tidak," ucapan ragu keluar dari mulut Zeline.
Ricard menampilkan senyum smirk kearah Zeline yang berdiri agak jauh dari tepian kolam.
"So?" tanya Ricard yang sudah sepenuhnya keluar dari kolam dan berjalan menuju tempat Zeline berdiri.
Amarah yang ingin Zeline tumpahkan seketika menguap ketika melihat dada telanjang yang dipenuhi otot kencang serta perut kotak-kotak ditambah bulir-bulir air yang menetes dari ujung rambut sampai ujung kaki. Zeline mencoba bernapas melalui hidungnya namun rasanya sulit sehingga ia beralih menggunakan mulutnya. Sangat tak masuk akal.
Jika Zeline menjadi wanita normal yang sudah sembuh dari phobia-nya, Zeline rasa ia akan menjelma sebagai Fini jilid 2. Wanita yang gemar menerkam pria tampan bertubuh atletis dan tentunya tampan.
Untung saja, Zeline masih memiliki fobia yang dimilikinya sejak dulu meskipun sekarang sudah perlahan sepertinya berkurang. Jadi, ia masih bisa mengontrol tubuh serta otaknya dengan baik.
"Honey. Kenapa kau jadi melamun?" Ricard mengibas-kan telapak tangannya ke depan wajah Zeline dan membuat wanita itu tersadar.
"Damn! Apa yang kau lakukan! Kau memberikan Mesya dan Pradipta kado pernikahan seperti apa sebenarnya?" Zeline langsung mencecar Ricard dengan emosinya.
"Whoa. Keep calm, honey," Ricard terkejut saat Zeline begitu cepat mengucapkan kalimat penuh kejengkelan padanya.
"Aku hanya memberikan mereka paket menginap di hotelku dan sekotak berlian yang harganya tidak begitu mahal," ucapan Ricard begitu santai namun membuat Zeline kembali shock.
"Berlian? Oh astaga! Kau berlebihan."
"Aku hanya memberi mereka $35.000, itu hanya kado biasa. Jika kau berulang tahun, aku pastikan akan lebih besar dari kado pernikahan mereka," kata Ricard sambil memakan cookies yang ada di meja.
Kepala Zeline berdenyut pening. Hampir lima ratus juta lebih kado yang diberikan Ricard pada sahabatnya dan pria itu mengatakannya dengan sangat santai. Apakah orang kelas super atas kehidupannya begini? Sangat tidak manusiawi bagi Zeline.
"Aku kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan biasamu itu. Jadi lebih baik bersiap-siap, karena Papaku sudah memberikan alamat untuk kita bertemu nanti."
"Aku tidak ingin kau melakukan hal mewah apa pun lagi, apalagi di depan orangtuaku. Jika tidak, lebih baik tidak usah bertemu," ancam Zeline.
"Fine. Semua bodyguard akan berada dalam jarak yang aman dan tidak menonjol seperti biasanya. Aku juga tidak akan melakukan hal apa pun, sungguh. Aku tidak ingin mengecewakan calon mertuaku," Ricard mengecup lembut pipi kanan Zeline kemudian berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai.
Hati Zeline berdesir saat mendengar ucapan calon mertua dari bibir Ricard. Pria itu benar-benar penuh kejutan.
?????
Ricard menepati janjinya, tidak ada kawalan barisan pagar betis bodyguard seperti biasanya. Mereka berdua keluar dari penthouse Ricard melalui pintu khusus yang langsung menuju parkiran segala macam mobil mewah milik pria itu.
Zeline merasa tengah hidup di negeri dongeng sebuah film. Memiliki kekasih yang begitu tampan, tubuh sangat ideal dan juga kaya raya, hampir mendekati kata sempurna sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Keduanya kini tengah menuju ke alamat yang telah dikirimkan oleh Papa Zeline untuk mereka bertemu. Zeline sengaja tidak memberitahu kedua orangtuanya mengenai kedatangannya bersama Ricard. Ia tidak ingin orangtuanya mencecarnya dengan berbagai pertanyaan lewat ponsel yang bisa menyebabkan tumbuhnya satu uban di antara rambut Zeline.
MASA Restaurants, restoran yang terletak di jantung kota New York yaitu Time Warner Center. Papa Zeline memang begitu menyukai makanan jepang, oleh karena itu beliau memilih untuk makan siang di salah satu resto termahal di kota New York. Zeline tidak heran ketika mencari tahu tempat makan seperti apa yang dipesan Papanya.
Sepasang kekasih ini berjalan memasuki restoran dan Zeline mulai menjelajahi satu per satu meja yang ada disana. Ricard meminta izin pada Zeline untuk pergi ke toilet sejenak dan wanita itu mengiyakan.
Zeline melihat sepasang manusia paruh baya yang begitu ia kenali dan ia rindukan. Mamanya sampai berdiri menyambut kedatangan anak wanita kesayangannya yang sangat jarang ditemuinya.
"Mama sangat merindukanmu, Zel. Astaga, sudah berapa lama kita tidak bertemu, Nak?" Mama mengurai pelukannya dan menggenggam kedua telapak tangan Zeline dengan tatapan merindu.
"Mama, Zeline juga rindu mama," rengek Zeline.
"Kau selalu sibuk dengan duniamu sendiri. Kau tidak sayang Mama dan Papa lagi," rajuk mama Zeline.
"Sudah, mau sampai kapan kalian berdiri disitu. Sini duduk, jangan buat malu Papa."
"Kemana Zacco? Dia tidak jadi ikut?" Zeline menanya-kan keberadaan adiknya.
"Zacco sedang Papa kirim ke Filipina untuk menemui klien di sana. Dia sudah harus dididik menjadi penerus Papa dari sekarang, tidak akan ada harapan jika Papa memintamu menjadi penerus Papa, benarkan?" jawaban Papanya begitu menyindir Zeline.
"Tentu saja, Zeline masih akan sibuk mengurusi melukis wajah orang lain dibanding mengurusi perusahaan atau butik milik mama," timpal Mama.
Zeline mendesah pasrah, hal seperti ini adalah topik biasa yang akan ia dengar ketika berada ditengah kedua orangtuanya.
"Bisakah kita membahas hal lain Ma, Pa. Zel, tidak tertarik pada hal yang mama Papa sebutkan, lagi pula Zel cukup menanamkan saham saja, Zel tidak ingin terjun langsung," ucap Zeline.
"Jadi, kau ke New York juga bersama teman-temanmu itu?" tanya Mama.
Zeline mengangguk, matanya mencari kesana kemari keberadaan kekasihnya yang tak kunjung datang. Tidak mungkin Ricard tersesat atau pria itu melarikan diri ketika ingin bertemu dengan kedua orangtuanya Zeline. Hal yang lebih tidak masuk akal, karena pria itu sendiri yang meminta bertemu kemarin.
"Kau menginap dimana? Pindahkan saja kopermu ke ApartemenPapa dan mama."
Zeline menoleh dan mulai bingung harus menjawab seperti apa. Jika ia menjawab saat ini ia tinggal di sebuah penthouse kekasihnya, tentu saja Papa Zeline akan murka seketika.
"Aku menginap di hotel," jawab Zeline cepat.
"Setelah makan siang ini, kita ambil kopermu dan pindahkan saja. Menginaplah bersama kami di apartemen," kata Papa.
Zeline bergidik ngeri saat mendengarnya, 'Hell No!'
"Zel kemari hanya beberapa hari, lagi pula Zel akan pergi bersama teman-teman Zel untuk bersenang-senang kemari. Bukankah Papa dan Mama kemari untuk kepentingan bisnis. Come on, Zel sangat tahu bagaimana padatnya jadwal pekerjaan Papa." Zeline membeberkan alasan yang cukup masuk akal.
Papa mengangguk dan tiba-tiba berdiri cepat saat seseorang berjalan di dekat mejanya.
"Mr. Ricardo Daniello," lirih Papa Zeline. Zeline segera menoleh dan benar saja kekasihnya tengah berjalan gagah menuju meja yang ia tempati.
"Papa kenal?" bisik Zeline penasaran.
"Tentu saja. Apa yang pemuda ini lakukan disekitar sini? Oh, dia mendekat, Zel." Papa Zeline terlihat salah tingkah dan Zeline mengerutkan keningnya bingung.
Zeline berdiri dari kursinya dan Ricard melempar senyum penuh pesonanya pada Zeline.
"Maaf aku cukup lama membuatmu menunggu," bisik Ricard pada Zeline. Tangan Ricard melingkari pinggang Zeline santai.
Papa dan Mama Zeline terkejut melihat apa yang tengah mereka saksikan saat ini. Ricard mengulurkan sebelah tangannya dengan sopan ke arah Papa Zeline tak lupa senyum manis yang membuat wajahnya terlihat berlipat-lipat semakin tampan.
"Pa," desis Zeline saat Papanya tak kunjung menerima uluran tangan Ricard karena terpaku.
"Astaga! Apa aku sedang bermimpi saat ini? Bukankah ini hal yang sangat mustahil?" gumam Papa Zeline saat menerima jabatan tangan Ricard.
"Pa, wanita itu benar anak kita? Mama juga merasa kita sedang mimpi," timpal Mama Zeline.
Zeline yang mendengarnya begitu penasaran namun tidak dengan Ricard karena pria itu tidak mengerti apa yang dibisikkan kedua orangtua Zeline.
"Kenalkan, aku kekasih dari anak wanita kalian yang cantik ini. Namaku—," ucapan Ricard terhenti saat Papa dan mama Zeline berteriak sedikit keras membuat beberapa pengunjung menoleh risih.
"APAAA!!"
"Pa, Ma... astaga, jangan menjerit. Kalian memalukan, duduklah dengan tenang. Aku akan menjelaskannya." Zeline menarik tangan kedua orangtuanya agar duduk kembali. Sedangkan Ricard hanya tersenyum geli.
"Zel, cepat katakan pada Papa. Apa yang sebenarnya terjadi ini? Rasanya Papa belum cukup gila dan tadi masih baik-baik saja."
Zeline mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan. Sepertinya kedua orangtuanya sudah mengenal sosok Ricard sebagai pengusaha terkenal jadi tanggapan kedua orangtuanya begitu.
"Jangan memotong ucapan Zel dan jangan bersikap berlebihan seperti tadi. Berjanjilah pada Zel." Kedua orangtuanya mengangguk patuh.
"Pria ini kekasih Zel saat ini. Sudah hampir satu bulan lebih Zel menjalani hubungan bersama Ricard. Kebetulan kita semua berada disini, jadi Zel sekalian saja ingin memperkenalkannya pada Papa dan Mama," cerita Zeline.
"Saya begitu mencintai putri anda. Saya ingin menjalin hubungan dengan status yang lebih serius. Saya harap kalian berdua memberikan izin dan restu kepada saya," ucapan Ricard yang to the point membuat Zeline, Papa dan Mamanya begitu shock.
Semua itu diluar perkiraan Zeline. Ia tidak menyangka jika Ricard akan mengatakan hal itu secepat kilat yang bahkan orangtuanya belum menanggapi ucapan pengenalan dirinya sebagai kekasih Zeline. Ricard selalu berhasil membuat kejutan yang tak terduga diluar nalar manusia pada umumnya.
"Bagaimana?" tanya Ricard dengan santai, menatap kedua manik mata Papa Zeline.
Papa Zeline berdeham. "Kau ingin menikahi putriku?" Ricard mengangguk semangat.
Zeline sudah begitu tegang. Papanya selalu akan bersikap over protektif ketika Zeline mengenalkan kekasih-nya. Ceramah dan ucapan keramat biasanya akan meng-hujani para pria yang tengah dekat dengannya.
Wajah Ricard tampak tenang dan begitu santai, tidak seperti kebanyakan pria yang pertama kali bertemu dengan orangtua pasangannya akan merasa tegang dan kaku.
"Memangnya kapan kau akan menikahi putriku?" pertanyaan tak terduga yang dilontarkan Papa Zeline membuat Zeline dan mamanya terkejut.
Belum sempat Ricard menjawab pertanyaan tersebut, pundaknya sudah dipukul lembut oleh seseorang. Mau tak mau Ricard menoleh.
Mata Zeline seakan ingin keluar ketika melihat siapa yang menepuk pundak kekasihnya itu. Nenek lampir cantik yang memiliki mulut pedas dan tajam.
"Ah, ternyata aku benar. Kau memang Ricard. Kau masih bersama wanita jelek ini," ucap Lidya, mama Steven.
"Apa yang kau lakukan disini, Lidya." Ricard tidak menggubris ucapan Lidya yang lainnya.
"Aku akan lunch di sini bersama Mommy-mu. Ah-aku tidak sabar untuk melihat reaksi mommy-mu saat melihat kau bersama dengan wanita jelek ini. Sangat tidak selevel dengan keluarga terpandang sekelas Daniello." Zeline menggeram mendengar ucapan Lidya namun Ricard tetap bersikap tenang dan santai.
"Bisakah kau pergi saja dari sini. Aku tidak ingin mendengar ucapan sampah yang keluar dari mulutmu itu, Mrs Jackson." Sangat tenang namun begitu menusuk ucapan yang keluar dari mulut Ricard pada Mama Steven.
"Kau mengusirku?" geram Lidya.
"Kau tidak mengerti ucapanku? Come on, aku bahkan sangat jelas mengucapkannya. Aku tidak ingin lunch-ku terganggu," ucap Ricard. Zeline ingin sekali tertawa terbahak melihat raut wajah muram dan kesal ibunya Steven saat Ricard mengusirnya meskipun dengan cara halus.
"Aku akan memberitahu mommy-mu atas perlakuan tidak sopanmu padaku. Kau tidak sopan setelah mengenal wanita ini," tuding Lidya.
"Whatever!" jawab Ricard sekenanya.
Lidya, wanita paruh baya yang masih cantik itu menghentakkan sepatu mahalnya sebelum beranjak meninggalkan Ricard dan Zeline. Mama dan Papa Zeline hanya mengamati tanpa mengomentari apa yang terjadi barusan.
Papa Zeline seakan tidak tertarik dengan drama barusan yang ia lihat. Pikirannya masih tertancap pada ucapan pria tampan, seorang pengusaha muda yang begitu sukses dan namanya sudah tersohor diseluruh dunia yang mengaku ingin menikahi anak wanita satu-satunya.
"Maaf atas kejadian barusan. Ucapan tidak pentingnya abaikan saja. Ibu sahabatku memang seperti itu." Ricard mencoba menjelaskan.
"Tidak apa-apa. Kami bisa mengerti. Lagi pula, Mrs. Lidya memang terkenal dengan ucapannya yang begitu menohok hati. Aku tidak kaget lagi," kata Mama Zeline.
"Mama kenal dengan Lidya?" tanya Zeline.
"Ya. Waktu itu sempat akan bekerja sama dengannya namun, dia selalu mengulur waktu untuk bertemu dan bertatap muka membicarakan perihal bisnis yang akan dijalin. Mama memilih membatalkan dengan menarik kembali pengajuan kontrak kerjasamanya."
"Kami juga sering bertemu di beberapa event fashion show, Mrs. Lidya Jackson cukup terkenal dikalangan pembisnis wanita dunia," jelas mama Zeline.
Zeline hanya mengangguk menanggapi cerita mamanya.
"Kapan kau akan menikahi putriku?" Papa Zeline mengulang pertanyaan yang sempat tertunda tadi.
"Baby Ri..." sapa seorang wanita dengan suara yang begitu lembut
Keempat orang yang tengah berkumpul disana menoleh ke arah yang memanggil Ricard. Mereka semua terfokus pada wanita pemilik kaki jenjang dengan stilettolancip dengan tinggi mungkin 15cm.
Ricard berdiri seperti tersentak terkejut. Jantung Zeline berdesir saat melihat ekspresi yang ditampilkan Ricard saat melihat wanita itu.
?????
Share this novel