Satu part menuju ending !!
Please, jangan nanya ada ekstra part gak? epilog?
??????
Jawabannya adalah ADA! Tapi cuma ada di versi Novel Cetak + di Google Play Books
??????????
Fini duduk di sofa apartemen milik Steven. Wanita itu telah diberi izin untuk mengaksesnya. Sembari menunggu Steven pulang kerja, ia berinisiatif untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sekarang mulai mudah letih.
Fini dipaksa Zeline untuk berbicara panjang lebar dengan Steven. Mencari jalan keluar terbaik dari hal yang sudah terlanjur terjadi ini. Semalam nyatanya, ia hanya diselimuti kekecewaan dan emosi sehingga tidak bisa berpikir jernih saat memberi tahu pada Steven. Belum ada kesepakatan apa pun mengenai janin yang ada dalam rahimnya. Entah itu akan dibuang atau dipertahankan.
Dari tempat duduknya ia memandang luas kota New York yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit yang tidak begitu berbeda dengan Ibukotanya sendiri, Jakarta. Fini mengelus perut ratanya dengan lembut. Ia merasa gamang untuk membuang benih hasil hubungan tanpa statusnya bersama Steven.
Tapi, ia belum siap untuk memiliki anak. Biarpun orang mengatakannya kejam atau pembunuh sekalipun, toh prinsip manusia berbeda-beda bukan. Untung saja, Fini pergi menceritakan semua ini pada Zeline yang memang memiliki pemikiran luas dan tidak suka menjudge apa yang dilakukan orang lain.
Zeline menasihatinya panjang lebar tanpa memaksakan prinsip hidup yang dipegangnya sendiri untuk Fini ikuti. Ia selalu mengatakan lakukan apa pun yang kau sukai, mengenai akibatnya apa, silakan kau tanggung sendiri. Fini berharap sahabatnya satu itu mendapatkan pasangan yang tentunya sama sempurnanya dengan Zeline sendiri.
Tidak terasa Fini tertidur di sofa, ia begitu lelap sampai suatu bunyi membangunkannya.
"Oh, GOD! Siapa kau?" pekik seseorang.
Fini tersentak terbangun, menatap bingung wanita paruh baya yang berdiri menunjuk dirinya dengan pekikan yang cukup keras.
'Sialan! Mungkin ini yang Zeline bilang nenek lampir jaman now,' batin Fini.
Wanita itu berjalan mendekati Fini yang duduk menyandar di sofa menatap tanpa takut.
"Siapa kau? Kenapa kau berada di dalam apartemen anakku? Ah—kau jalang yang tidak tahu diri yah?" tuduh Lidya, Ibu Steven.
Fini berdecak mendengar ucapan wanita tua bangka ini, meskipun wajahnya masih terawat dan penampilannya begitu modis dan high class tapi tetap saja, tidak sesuai dengan mulutnya, begitu sadis dan tajam.
"Bisakah kau bertanya dengan orang lain dengan nada biasa saja. Aku tidak tuli sehingga kau tidak perlu untuk berteriak-teriak tidak jelas," kata Fini santai.
'Jangan panggil aku Fini, jika kau pikir aku akan menjadi wanita lemah tak berdaya mendengar suaramu yang melengking itu,' gumam Fini dalam hatinya.
"Lancang sekali mulutmu. Terserah aku ingin berteriak atau mengumpat sekalipun. Ini apartemen milik anakku. Dan kau—Kau siapa, hah? Bisa-bisanya masuk kemari dan tidur di sofa?" sinis Lidya.
Fini berdiri bersedekap tangan, menggelengkan kepala sambil berdecak mendengar semua omongan sinis Ibu Steven. Wajar saja, jika Zeline mengatakan dirinya harus bersiap menghadapi nenek lampir, ternyata memang kenyataannya begitu.
"Aku ke sini sedang menunggu anak kesayanganmu. Pria yang sudah menghamili aku, apa kau puas?" ucap Fini santai.
Lidya tampak shock dan berjalan mundur kebelakang dengan memegangi dada kirinya, tangannya yang lain sibuk mencari pegangan.
"What—Ah... Tidak-tidak mungkin anakku melakukan itu! Kau pasti membodohinya," sangkal Lidya.
"Ck! Kau pikir anakmu itu pendeta yang begitu suci? Dengar, ini hasil kebodohan kami berdua bukan hanya aku yang membodohi anakmu. Jika anakmu tidak membobol gawangku berkali-kali dalam satu hari dan menumpahkan benihnya di sana, maka semua ini tidak akan terjadi," ucap Fini.
"Kau pikir juga Indonesia-New York dekat? Jika aku hanya bermain-main dengan semua ini dan mengorbankan pekerjaanku serta investasiku yang jumlahnya milyaran. Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini, jika semua ini tidak dalam keadaan darurat," sinis Fini.
"Oh, ya Tuhan! Steven—tidak mungkin! Kau pasti ingin harta anakku saja." Lidya masih memberikan tuduhannya pada Fini.
"Gerah sekali aku di sini!" keluh Fini sambil mengipas-ipas lehernya dengan telapak tangan.
"Dengarkan aku, ibu Steven yang tidak kuketahui namamu siapa. Aku tidak membutuhkan harta anakmu, aku sudah kaya raya di Jakarta. Tanpa harta anakmu, aku bisa hidup mewah, aku memiliki banyak kelap malam besar yang berada di kota-kota besar di Indonesia dan memiliki cabang di Luar Negeri. Demi Tuhan, aku tidak ingin menyombongkan diriku tapi aku tidak suka kau injak-injak dengan mengatakan aku ingin harta anakmu," ucap Fini geram.
Fini tidak akan mengalah meskipun wanita di hadapannya saat ini adalah orang tua dari pria yang telah menghamilinya dan bisa dikatakan disukainya pula.
"Kau—kau benar-benar lancang dan sombong!" desis Lidya.
Lidya benar-benar terlihat murka ketika wanita muda berambut pirang di hadapannya ini selalu menjawab ucapannya. Lagi pula, apa itu, wanita itu menyebutkan hamil, sedang mengandung karena perbuatan anaknya. Oh, yang benar saja.
Fini memandang remeh Lidya. Sesungguhnya ia sama sekali tidak gentar menghadapi wanita pongah seperti itu. Sudah banyak kliennya yang bermulut tajam yang ia tumbangkan dengan balasan yang jauh lebih menyakitkan.
Pintu apartementerbuka, di sana sudah berdiri pria yang menjadi objek pembicaraan antara Fini dan Lidya. Steven memandang kedua wanita itu terkejut. Bagaimana mungkin mereka berdua bisa bertemu dan berada di satu tempat yang sama. Dan apa jadi nasibnya jika Ibunya tahu mengenai kehamilan Fini akibat ulahnya.
"Jangan hanya berdiri di sana, duduk dan jelaskan apa yang terjadi!" perintah Lidya pada Steven.
Steven diam dan menuruti ucapan Lidya. Fini mendengkus melihat pemandangan itu, ternyata pria yang disukainya ini terlalu patuh pada ibunya.
"Siapa wanita ini? Kenapa dia ada di dalam apartemenmu dan dia mengatakan hal yang tidak masuk akal. Dia bilang, dia sedang hamil anakmu, jelaskan pada Mama sekarang juga!" todong pertanyaan dari Lidya pada Steven.
"Ok, keep calm Mam. Akan aku jelaskan semuanya," kata Steven menenangkan.
"Dia Fini, salah satu sahabat baiknya Zeline, kekasih Ricard. Beberapa minggu yang lalu aku dan dia berlibur berdua ke Thailand. Kami melakukan u know what i mean. Fini mengatakan kalau dia hamil anakku," ucap Steven.
"Hei, seakan-akan kau tidak percaya jika ini memang anakmu. Ck!" ketus Fini pada Steven.
Steven berdiri mendekati Fini yang terlihat marah dengan ucapannya.
"No, baby. Bukan seperti itu maksudku—" Steven memegangi lengan Fini.
"Stop tidak perlu kau lanjutkan. Aku datang kemari ingin bilang, bahwa aku akan menggugurkan janin ini," ucap Fini santai.
"Dasar wanita gila!" umpat Lidya dan Fini melirik sinis.
"What? Kau yakin, baby?" tanya Steven.
"Tentu saja. Aku belum siap memiliki anak saat ini, aku hanya ingin memberitahumu saja. Karena kupikir, kau adalah ayah dari janin ini," kata Fini.
"Oh, God! Syukurlah. Aku pun berpikiran hal yang sama. Aku sama sekali belum siap untuk menjadi seorang ayah. Aku masih ingin bersenang-senang. Kita masih muda," ucap Steven menarik tubuh Fini kedalam pelukannya.
"Kalian berdua memang pasangan idiot! Tidak akan ada aborsi," bentak Lidya membuat Fini dan Steven menoleh dan terkejut.
"Kau mau membuang calon cucuku begitu saja. Tidak akan kubiarkan. Aku akan melaporkan kalian ke polisi jika itu terjadi," ancam Lidya.
"Mam! Apa-apaan itu!" bantah Steven.
"Whatever. Urus cepat pernikahanmu dengan wanita itu. Jika kalian berdua masih membantah, lihat saja, aku tidak akan segan menyeret kalian berdua ke jalur hukum karena membunuh calon bayi yang tidak berdosa." Lidya mengambil tasnya dan berdiri menatap Fini dan Steven dengan bergantian.
Fini dan Steven sama-sama terduduk dan mengurut dahi mereka masing-masing. Mereka berdua sangat tidak menyangka keadaan akan rumit seperti ini. Ditambah lagi, Fini begitu yakin jika ibu Steven akan menyetujui usulannya mengingat betapa sinisnya ia berbicara dengannya. Sungguh sial seribu sial.
?????
"Aku begitu merindukanmu, honey," ucap Ricard.
"Aku juga sangat merindukanmu," balas Zeline.
Keduanya kini sudah berada di penthouse Ricard. Setelah pembicaraan mereka, Ricard mengajak Zeline untuk memindahkan semua kopernya yang ada di hotel ke penthousenya.
Mereka berencana akan bertemu dengan kedua orang tua Ricard dan membicarakan perihal masa depan dan pilihan mereka berdua. Sungguh Ricard tidak menyangka jika ibunya akan senekat itu mencari keberadaan Zeline. Bukan sesuatu hal yang sulit untuk keluarga Daniello mencari tahu identitas dan semua hal di dunia ini, jadi hal yang wajar jika Ibu Ricard dengan mudah mendapatkan informasi mengenai Zeline.
"Aku tidak tahu akan jadi seperti apa aku, tanpamu," ucap Ricard jujur.
Zeline tertawa dan mengelus rahang Ricard. Pria yang begitu ia rindukan hampir satu bulan terakhir. Ia pikir, akan dengan mudah melupakan Ricard dengan berbagai kegiatan dan pekerjaan yang dilakukannya, tapi nyatanya itu tidak berpengaruh apa pun.
Sejatuh cinta itu ia pada Ricard. Pria tampan yang memiliki kekuasaan, kaya raya dan seorang pemaksa yang handal. Saat ini Zeline sedang duduk bersila di hadapan Ricard di atas ranjang.
"Terima kasih untuk bersabar menunggu dan tidak meninggalkanku," bisik Zeline.
"Tidak akan semudah itu aku menggoyahkan keinginan dan prinsipku. Jika satu minggu lagi saja kau sama sekali tidak memberiku kabar apa pun, maka aku akan segera terbang ke Indonesia menemuimu," kata Ricard.
"Benarkah? Kau yakin bisa menemukanku? Indonesia luas, sayang," goda Zeline dengan menarik ujung hidung mancung Ricard.
"Sekalipun kau bersembunyi di lubang semut, aku pasti akan menemukannya," pungkas Ricard.
"Kau hiperbola. Mana mungkin lubang semut muat menyembunyikanku," ejek Zeline.
"Hanya perumpamaan, Honey. Berjanjilah padaku, jangan pergi atau menghilang lagi dariku, jika kau memiliki masalah, jangan simpan sendirian. Ceritakan padaku, aku harap tidak akan ada lagi rahasia diantara kita," Ricard mengatakan semua itu dengan lembut sambil menatap mata Zeline.
Zeline mengangguk sembari tersenyum menatap wajah Ricard. Mata yang selalu menampilkan kejujuran.
Ricard memajukan wajahnya, tangannya meraih tengkuk Zeline. Ricard kembali membelai lembut bibir Zeline dengan bibirnya.
Zeline tak henti berterima kasih pada Tuhan karena sudah diberikan takdir yang indah seperti saat ini. Proses yang luar biasa untuk mereka berdua jalani. Setiap saat penuh dengan kejutan yang cukup mendebarkan namun selalu saja berakhir manis.
Ricard tidak sengaja menyentuh squishy kembar milik Zeline. Baru saja akan menarik tangannya namun Zeline menahannya.
Ia berbisik disela ucapannya, "Aku sudah baik-baik saja. Lakukan apa yang kau mau," bisik Zeline disela ciuman mereka berdua.
Ricard sempat terdiam sejenak mencerna ucapan Zeline namun setelah mendapat lampu hijau dari kekasihnya, maka pria itu segera melancarkan aksinya meskipun ia tetap tidak akan merobek hal dibawah sana sebelum mereka menikah.
Zeline memberanikan diri untuk menyentuh sesuatu yang selalu sahabat-sahabatnya katakan. Sosis milik pria yang biasa hanya ia lihat namun malam ini ia bisa merasakannya secara langsung bagaimana besar, panjang, berurat dan kerasnya.
Zeline sempat terkejut dan ingin menarik tangannya namun ditahan oleh Ricard.
"Jangan biarkan aku bermain sabun lagi malam ini, honey!" desis Ricard yang sudah pening akibat sentuhan Zeline.
Zeline melongo mendengar ucapan Ricard, ia ingin tertawa namun tidak jadi. Zeline baru tahu jika Ricard juga masuk dalam golongan pria yang suka main sabun ketika horni memuncak. Sungguh kasihan.
Ricard membimbing tangan Zeline untuk bergerak memainkan miliknya. Kali pertama seumur hidup Zeline merasakan sensasi seperti ini. Biasanya ia hanya melihat dan menonton blue film dan itupun hasil paksaan ketiga sahabat gilanya.
Zeline melihat wajah Ricard yang sedang memejamkan matanya, seakan sedang menikmati apa yang sedang Zeline kerjakan pada miliknya. Zeline harus berterima kasih pada psikiater yang telah menolongnya untuk berangsur menyembuhkan fobianya dalam waktu singkat. Bagaimana-pun, ia harus bisa memberanikan dirinya untuk kenal dengan hal-hal seperti ini, meskipun ini adalah hal yang melanggar norma agama dan melanggar larangan orangtuanya.
Naik turun gerakan tangan Zeline saat memegang teguh secara yakin sosis besar milik Ricard. Jika berhasil membuat Ricard klimaks hanya dengan tangannya maka itumerupakan hal yang patut Zeline banggakan nantinya. Pelajaran kedua yang dikenalkan Ricard padanya dan anggap ini balasan atas kenikmatan tiada tara waktu mereka berada di Bali.
Pria itu menarik tengkuk leher Zeline, melumat bibir Zeline dengan buas dan panas. Tangan Zeline semakin bergerak cepat dibawah sana, naik turun memutar dan mengelus dengan piawai. Desahan lolos dari bibir Ricard, tangan Ricard mencangkup squishy kiri Zeline dan memilin benda kecil yang menonjol di sana membuat Zeline mau tak mau ikut mendesah nikmat.
Sungguh, hal seperti ini saja sudah membuat kepala Zeline pening akibat kenikmatan yang timbul, entah bagaimana jika lebih dari ini, Zeline rasa ia akan ketagihan seperti Fini, Vera dan Mesya rasakan selama ini tapi ia akan menahannya sampai ia berhasil bersumpah dihadapan Tuhan.
"Hon- i wanna cum..." bisik Ricard dengan suara berat penuh gairah.
"Oh DAMN! U're fucking amazing!" setelah meneriakkan kalimat itu, sesuatu yang lembek, lengket dan sedikit berbau khas membasahi tangan Zeline.
Zeline mengangkat tangannya dan memperhatikannya dengan seksama.
"Apa ini yang dinamakan sperma?" tanya Zeline polos meski dengan napas sedikit terengah akibat permainan tangan nakal Ricard pada squishynya.
Ricard membaringkan tubuhnya yang polos tanpa satu apa pun yang menutupinya. Ia masih berusaha mengatur napas dan juga ritme jantung setelah meledakkan cairan yang telah lama tidak ia kelola.
Pelepasan pertama yang paling menyenangkan menurut Ricard adalah malam ini. Meskipun keluar di luar dan hanya karena tangan seorang wanita tapi sensasi kelegaan yang dirasakannya sungguh luar biasa dibanding pengalamannya di masa lalu.
"Great job, Zeline. Kau cepat belajar dan luar biasa," ucap Ricard lirih.
Zeline memandang cairan hasil klimaks Ricard ditangannya dengan senyum sumringah. Ia segera berlari ke toilet untuk membersihkannya. Seketika ucapan Vera terngiang di kepalanya, "Cairan klimaks itu rasanya gurih dan membuat candu, kau harus merasakannya di dalam mulutmu."
Zeline menggeleng sambil melihat kembali cairan yang menempel ditangannya.
"Ini cukup menjijikan. Aku sudah cukup bangga karena bisa membuat kekasihku klimaks hanya dengan gerakan tanganku tanpa harus mencicipi rasanya. Aku tidak senafsu itu untuk tahu rasa sperma seperti apa," gumam Zeline dan akhirnya ia mencuci bersih tangannya.
??????????
Ekspresi Zeline setelah pegang sosis pake mayones ??
Pendek? ??????
Nikmati ajaa yah... gak usah protes!
Share this novel