27 - LDR

Romance Completed 40057

Setelah baca part ini, please jangan caci maki Shin yah!
Shin hanya sedikit memberikan kejutan hangat menuju ending cerita ini ??????

Hayoo, jangan males komen!
Kendorrr komennya, kendor juga semangat Shin nulisnya
??????

Happy reading!

??????????

    

Kini Zeline sudah berada di John F Kennedy International Airport. Ia sudah meminta Ricard tidak memaksanya untuk pulang ke Indonesia dengan menggunakan jet pribadinya. Zeline ingin menjadi manusia normal pada umumnya yang naik pesawat komersil. Meskipun tiket yang dipegangnya adalah tiket first class. Ricard tidak membiarkan kekasihnya pulang dengan tiket kelas ekonomi.

Fini menarik dua koper besar miliknya dan begitu terkejut ketika melihat deretan koper milik Zeline.

"Oh my God! Jangan bilang semua koper ini milikmu?" pekik Fini.

Zeline memutar bola matanya malas lantas melirik Ricard yang berdiri sambil membentuk huruf V dengan jarinya.

"Hanya sebagian kecil dan Zeline sudah berisik memarahiku," Ricard memberitahu.

Fini menggeleng tak percaya. "Aku yakin, semua isi kopermu adalah barang-barang branded yang harganya mencapai milyaran jika digabungkan semua koper ini."

"Aku malas memikirkannya," jawab Zeline singkat.

Ricard memanggil bodyguardnya untuk mengurus bagasi milik Zeline dan Fini. Hanya tersisa mereka berdua karena Vera dan Mesya sudah pulang terlebih dahulu.

"Kau akan ke Indonesia dalam waktu dekat?" tanya Fini pada Ricard.

Ricard memandang Zeline sekilas lalu beralih pada Fini.

"Entahlah. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Perusahaan sedang membutuhkanku. Lagipula, Zeline sepertinya sedang padat pekerjaannya dalam waktu dekat. Jika aku bisa, aku akan mencuri waktu untuk mengunjungi kekasihku nanti," ucap Ricard bijak.

"Jangan lupa bawa Steven bersamamu," ucap Fini genit dan Zeline hanya menghela napas saat mendengarnya.

Pengumuman untuk keberangkatan Zeline dan Fini sudah berkumandang. Kini waktu terberat yang akan dilalui Zeline dan Ricard dimulai. Saat kaki Zeline melangkah menuju pesawat, maka mulai saat itulah mereka akan kembali lagi menjadi pasangan LDR yang terpisah benua.

Ricard memeluk erat tubuh Zeline yang begitu pas dalam dekapannya. Ia mengecup puncak kepala Zeline berkali-kali. Ricard mencium bibir Zeline lebih dari tiga menit dan ia sama sekali tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.

Melepaskan Zeline untuk kembali berjauhan dengannya adalah kenyataan tersulit, bahkan lebih sulit saat ia memutuskan hubungan percintaannya dimasa lalu dan kehilangan kontrak kerja dengan perusahaan-perusahaan kecil.

"Jaga diri dan hatimu baik-baik. Kabari aku jika kau punya waktu luang. Jangan porsir tubuhmu untuk bekerja sampai lupa waktu," nasehat Ricard.

"Jika kau butuh sesuatu, kau bisa langsung meneleponku. Aku akan menyiapkan semuanya. Jangan lupa juga, pikirkan lamaranku kemarin. Aku ingin kita segera menikah," rentetan kalimat Ricard membuat Zeline tersenyum kecil.

Zeline tidak tahu jika Ricard begitu cerewet ternyata. Lagi pula bukankah seharusnya ia yang seharusnya banyak meninggalkan pesan untuk seorang bujangan kaya raya sekelas Ricard, tapi malah sebaliknya.

"Kau ternyata sangat cerewet. Aku bisa ketinggalan pesawat jika terus memelukmu disini dan mendengar semua pesan-pesanmu," sindir Zeline.

"Aku hanya takut kehilanganmu," lirih Ricard.

Zeline mencium pipi Ricard gemas. Wajah pria tampan itu begitu memelas sedih. Zeline tidak tega melihatnya tapi apalagi yang bisa ia lakukan, ia punya realita lain yang harus ia jalani sembari berpikir untuk masa depannya seperti apa.

"Aku mencintaimu. Aku harus segera masuk, aku tidak ingin ketinggalan pesawat." Zeline berpamitan.

"Jaga mata dan juga jaga hatimu untuk sahabat perawanku ini. Kau akan menyesal jika menyia-nyiakannya," ucap Fini dan Ricard mengancungkan jempol-nya.

"See you later! Akan aku kabari jika sudah sampai." Zeline memeluk tubuh gagah Ricard untuk terakhir kali di airport ini.

"I love you so much!" bisik Ricard dan Zeline mengangguk.

Mereka berdua terlihat begitu berat saat melepas pegangan tangan masing-masing. Fini yang melihatnya pun ikut hanyut perasaannya,  ia seperti sedang menonton akting dua artis yang sedang berperan di film layar lebar.

Akhirnya Zeline dan Ricard melepaskan genggaman tangan mereka masing-masing. Zeline berbalik jalan ke depan tanpa mau menoleh ke belakang,  ia tidak ingin kekasihnya melihatnya menangis.

?????

"Kenapa kau tidak menetap saja di New York? Bukankah, kedua orangtuamu juga sedang berada disana?" tanya Fini ketika mereka sudah duduk manis didalam pesawat.

Zeline mendesah, meneguk air mineral untuk mem-basahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Aku ingin memikirkan semuanya dengan matang. Tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan. Lagipula, kau tahu kan mengenai fobia yang aku derita selama ini? Aku tidak percaya diri. Mungkin Ricard berkata ia bisa menerimaku apa adanya, tapi hati orang siapa yang tahu," cerita Zeline.

Fini memutar tubuhnya kearah Zeline. Saat ini mereka menduduki kursi first class jadi otomatismereka mempunyai tempat duduk yang luas dan begitu nyaman.

"Tapi dari apa yang aku lihat dan perhatikan, Ricard begitu serius padamu. Dia salah satu pria berkomitmen tinggi dan bertanggung jawab. Dia juga memperlakukanmu dengan begitu baik dan hati-hati seakan ia begitu takut kehilanganmu,  Zel." Fini memberikan pandangannya.

"Entahlah. Aku baru beberapa bulan mengenalnya dan baru beberapa minggu bersamanya. Aku masih sedikit takut sebenarnya untuk menjalani hubungan ini. Sebelumnya, aku mengenal Bagashampir 1 tahun dan baru aku memutuskan untuk menjadi kekasihnya. Di kurun waktu yang cukup lama seperti itupun, hubungan kami kandas ditengah jalan. Padahal dari awal sudah kutegaskan untuk no sex before married dan dia menyetujuinya tapi akhirnya dia tetap berselingkuh dan beralasan sedemikian rupa," ungkap Zeline.

Untuk pertama kalinya Zeline mengungkapkan perasaannya pada seseorang. Setidaknya ia ingin membagi beban pikirannya pada orang lain.

Fini tertegun mendengar curahan hati Zeline. Ia bahkan kehilangan kata-kata untuk memberikan feedback atas curahan hati Zeline tersebut, karena ia sama sekali tidak pernah merasakan seperti apa yang dirasakan Zeline.

"Bagas memiliki tampang biasa dibandingkan Ricard, pekerjaan bahkan jauh sangat jauh dari Ricard. Tapi dengan dirinya yang pas-pasan seperti itu, ia mampu mematahkan hatiku, meninggalkanku yang bahkan tidak pernah menuntut apa pun padanya. Dan Ricard. Aku bahkan tidak yakin jika ia bisa memantapkan hatinya hanya untukwanita sangat biasa yang memiliki fobia sepertiku ini."

"Aku hanya takut, setelah ia mendapatkanku. Ia akan pergi meninggalkanku sama seperti yang lainnya. Apalagi dengan segala kekuasaan serta kekayaan yang ia miliki saat ini."

Fini menggosok punggung tangan Zeline. Ia kali ini bertindak sebagai pendengar yang baik saja. Ia tidak bisa memberikan saran apa pun.

"Aku butuh waktu untuk berpikir. Benar kata mamaku, semuanya harus dipikirkan dengan matang. Ini semua menyangkut masa depanku. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku, berjanji sehidup semati dimata Tuhan."

"Hal pertama yang akan aku lakukan setelah sampai ke Indonesia, aku akan ke psikiater. Aku akan mengobati penyakitku ini," ucap Zeline sungguh-sungguh.

"Setelah sembuh kau akan mulai mencari mangsa bernananina? Merasakan nikmatnya surga dunia?" tanya Fini polos.

Zeline menepuk lengan Fini cukup kencang.

"Ough! Shit! Kenapa kau memukulku?" gerutu Fini.

"Aku cerita serius tidak kau tanggapi atau kau beri saran. Ketika aku bilang, aku mau berobat, kau cepat sekali memberi respon dan menanyakan hal-hal menjurus ke mesum," ketusZeline.

"Aku tidak berpengalaman dalam berpacaran. Menghabiskan waktu berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dengan orang yang sama. Itu hal yang membuatku bosan. Jadi bagaimana bisa aku mau memberikan saran untuk wanita picisan sepertimu."

"Tapi jika kau menanyakan perihal, bagaimana cara memilih pria terbaik untuk menjadi teman berkelahi di ranjang, kau bisa menanyakan denganku. Aku akan memberitahumu secara detail." Fini menaik turunkan alisnya saat mengatakan itu pada Zeline.

Zeline menepuk dahi dan menggeleng. Nyatanya, Fini memang tidak bisa diajak bicara serius selain membicarakan selangkangan.

"Ah-jadi kau masih meragukan ajakan menikah Ricard dengan alibimu kau belum mengenal baik dirinya? Bagaimana jika aku menyuruh Steven untuk memata-matai kekasihmu selama disana?" Zeline menyatukan alisnya mendengar ucapan Fini.

"Steven? Kau masih berhubungan dengan Steven? Kau bilang kau hanya mau nananina hanya satu kali dengan orang yang sama?" sindir Zeline.

"Sialan! Aku memanfaatkan Steven, bitch! Aku tidak ingin lost contact dengannya. Dia tidak berbeda rasa nikmatnya dengan pria beristri sialan itu. Sosisnya begitu nikmat, sangat sayang jika aku mengabaikannya dan tidak memanfaatkannya lagi untuk menusukku." Fini tidak malu untuk berkata vulgar pada Zeline.

"Bilang saja kau berkencan dengannya. Kau tidak perlu malu mengakui hubunganmu itu," goda Zeline.

"Tidak! Aku tidak berkencan. Kami tidak ingin berkomitmen seperti itu. Dia hanya bilang, jika kami memiliki waktu untuk bertemu kembali, kami akan melakukan nananina yang jauh lebih lama dan nikmat dibanding semalam."

"Kau tahu. Aku dan Steven berencana untuk pergi ke Thailand, berlibur bersama dua minggu yang akan datang. Setelah ia mengurus semua pekerjaannya dan meminta cuti dengan kekasihmu. Kau ikut saja, ajak Ricard, kita bersenang-senang, menikmati pantai dengan pasir putih dan memakai bikini seksi," kata Fini.

Zeline tertawa. "Kau saja. Satu bulan ini, pekerjaanku begitu padat. Aku akan menyiapkan diri untuk masuk ke Istana Negara. Jadi, aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang,"

"Payah! Hidupmu terlalu lurus," keluh Fini.

"Aku menikmatinya," jawab Zeline.

?????

Dua minggu telah berlalu. Komunikasi antara Ricard dan Zeline semakin menipis. Kesibukan Zeline dalam mengikuti kegiatan kenegaraan dan juga padatnya jadwal meeting serta perjalanan bisnis Ricard membuat mereka berdua larut dalam dunianya masing-masing.

Lambat laun keduanya benar-benar kehilangan komunikasi. Ricard duduk di kursi kebesarannya, memandang ponselnya dengan tatapan nanar. Chat yang ia kirimkan pada Zeline empat hari yang lalu, nyatanya sama sekali tidak ditanggapi. Berpuluh-puluh kali Ricard mencoba menghubungi kekasihnya itu namun, nihil. Nomor telpon Zeline tidak aktif.

Ricard mengambil inisiatif untuk menghubungi salah satu sahabat baik Zeline yaitu Mesya. Kebetulan Ricard menyimpan nomor ponsel Mesya.Tanpa ragu, Ricard menghubungi Mesya. Ia begitu ingin tahu bagaimana kabar kekasihnya yang tiba-tiba menghilang dari jangkauannya.

"Apa aku mengganggumu?" tanya Ricard.

"Tidak. Aku senang kau mau meneleponku. Ada apa? Kau butuh sesuatu?"

"Hmm...begini, sudah hampir satu minggu terakhir, Zeline sangat sulit dihubungi. Ponselnya tidak aktif dan seluruh pesanku tidak dibalas. Apa kau tahu di mana keberadaan  dan bagaimana kabar Zeline saat ini?"

"Zeline? Maafkan aku, Fello. Aku bahkan sudah lama tidak berjumpa dengan para sahabatku. Bahkan kami semua tidak lagi saling berkomunikasi hampir satu bulan terakhir setelah kepulangan kami semua dari New York."

"Tapi aku akan mencari tahu ke mana Zeline. Aku akan menghubungi Fini atau Vera. Barangkali mereka mengetahui keberadaan, Zel. Kau jangan cemas, Zeline pasti dalam keadaan baik-baik saja."

"Aku berharap demikian. Aku hanya khawatir, tidak biasanya ia menghilang seperti ini. Biasanya meskipun ia begitu sibuk, Zeline akan menyempatkan diri membalas pesanku dan meneleponku meskipun hanya sesaat. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya."

"Ya. Aku akan memberimu kabar secepatnya ketika aku mendapatkannya."

"Terima kasih, Meysa. Sampaikan salamku pada suamimu."

Ricard menyudahi sambungan teleponnya bersama Mesya. Ia berharap sahabat Zeline satu itu bisa segera memberinya kabar.

Ricard meraba layar ponselnya yang menampilkan wajah cantik Zeline. Jika ia bisa, ia akan terbang ke Indonesia dan membawa Zeline ke New York bersamanya. Tapi tidak semudah itu, Zeline sudah mengatakan ia butuh waktu berpikir dan lebih memantapkan dirinya untuk menjadi pendamping hidup Ricard.

Tapi Ricard merasa Zeline bukan berpikir melainkan kekasihnya itu menghindarinya. Wanita itu berubah menjadi jauh lebih dingin dan tidak peduli padanya. Ricard merasa wanita itu bukan lagi Zeline yang ia kenal selama ini.Baru kali ini, Ricard merasa begitu ketakutan akan kehilangan seseorang. Setelah putus dari mantan kekasihnya yang terakhir,  Ricard sudah bertekat untuk mencari pendamping hidupnya alias calon istri.

Perubahan pola pikir Ricard mungkin terjadi karena ia sering diundang dalam acara pernikahan. Pernikahan yang terakhir ia datangi yaitu Mesya dan Pradipta. Begitu sakral dan menyejukan. Ia bahkan jarang mendapati pernikahan seseorang di negaranya ini,  yang menikah karena ingin memiliki keturunan dan tinggal satu atap.

Kebanyakan orang-orang disekitarnya memilih untuk tinggal satu rumah dan hidup layaknya sebuah keluarga tanpa adanya ikatan janji suci pada Tuhan. Bahkan kebanyakan mereka mendaftarkan pernikahannya setelah anak-anaknya sudah memasuki usia balita bahkan remaja.

Sungguh, ketika mendengar nasihat yang diberikan Papa Zeline, membuka mata Ricard jika adat kebiasaan mereka benar-benar berbeda. Sejauh ini, selama dalam kurun waktu satu bulan terakhir semenjak ia menjalani hubungan jarak jauh dengan Zeline, Ricard banyak mencari tahu mengenai informasi bagaimana kehidupan masyarakat di Indonesia.

Ia harus siap berbaur dengan adat timur yang masih dipegang teguh oleh keluarga Zeline sepertinya. Wajar saja jika Papa Zeline tidak langsung memberinya restu menikah dalam waktu yang singkat. Ya, kini ia semakin rajin berdoa semoga Zeline menjadi wanita yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pendamping hidupnya selamanya. Wanita yang akan  menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Wanita yang bersedia bahagia, sedih, dan menua bersamanya.

?????

Steven memasuki ruangan Ricard dengan wajah lusuh. Ricard yang tengah sibuk membaca berkas-berkas pekerjaannya seketika mendongakkan wajahnya agar bisa menatap sahabatnya tersebut dengan lebih jelas. Steven menghela napas dan menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan gusar.

"Ada apa denganmu? Apa yang terjadi?" tanya Ricard penasaran.

Steven menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dan menatap Ricard intens.

"Fini..." Steven menjeda kalimatnya dan memejamkan matanya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Bicara yang jelas. Ada apa dengan Fini? Dan, hei- tunggu!  Kau masih berhubungan dengannya sampai detik ini?" Ricard cukup terkejut mendapati fakta seperti itu.

Steven mengangguk.

"Dia hamil..." ucap Steven.

Ricard berdiri dari kursinya dan menjatuhkan berkas yang tengah dipegangnya. "What the fuck!"

"Kau sedang becanda bukan?" tanya Ricard.

"Hell, no!  Bagaimana mungkin hal seperti ini aku jadikan bahan candaan. Ini sama sekali tidak lucu. Sialan!" bentak Steven.

"Bagaimana kau tahu jika dia sedang mengandung anakmu?" Ricard kembali bertanya.

Steven lagi-lagi menghela napasnya.

"Kemarin ia dan Zeline datang menemuiku di apartemen. Oh, sialnya dia melempar sebuah benda terkutuk yang sangat tidak kuinginkan melihat-nya. Testpack sialan itu menghancurkan masa depanku. Oh, shit!" cerita Steven.

Ricard tertegun mendengar cerita yang baru saja keluar dari mulut Steven. Ia bahkan tidak memperdulikan kegundahan hati Steven perihal lemparan test pack itu. Ia lebih tertarik pada kata-kata Zeline ikut menemui Steven di apartemen. Itu artinya,  Zeline ada di New York. Tapi mengapa kekasihnya itu sama sekali tidak menghubunginya dan tidak datang menemuinya.

"Kau bilang Zeline ikut menemani Fini semalam? Itu artinya kekasihku sedang berada di New York?" Ricard mencoba mengorek informasi lebih lengkap dari Steven.

"Ya. Dia sedang berada di sini bersama Fini—" Steven mengerenyitkan dahi memicingkan mata memandang Ricard penuh selidik.

"Dia tidak menemuimu? Atau dia tidak mengabarimu? Kau terlihat begitu terkejut saat kubilang Zeline ada disini?" Kini Steven yang balik bertanya pada Ricard.

"Damn! Kau benar. Aku tidak tahu apa pun. Bahkan sudah hampir satu bulan ini, aku tidak mendapatkan kabar apa pun tentangnya. Sialnya, detektif yang kusuruh pun tidak berhasil menemukan keberadaannya," ucap Ricard hampir putus asa.

"Nasip kita menyedihkan meskipun dengan situasi dan alasan yang berbeda pula," keluh Steven.

"Cepat hubungi Fini, tanyakan dimana keberadaan Zeline saat ini. Aku akan menemuinya. Aku butuh penjelasan mengapa ia tiba-tiba menghindariku," perintah Ricard pada Steven.

Pria itu dengan sungkan mengambil ponselnya dan menelpon wanita yang kini tengah mengandung janin, hasil pertarungan sengit diatas ranjang selama satu minggu penuh di Thailand. Satu minggu yang produktif sekali, bagaimana jika kemarin Ricard memberikan cuti dua minggu,  Steven sudah tidak tahu hal apa lagi yang akan terjadi.

"Dia menginap di The Ritz-Carlton New York, Central Park.  Kau bisa menemuinya disana. Sekarang mereka sedang berada di jalan menuju hotel," ucap Steven ketika selesai menelpon Fini.

Tanpa menunggu lama, Ricard mengambil jasnya dan meninggalkan semua tumpukan berkas pekerjaannya begitu saja ketika ia mendengar ucapan Steven. Ia harus segera menemui Zeline.

Ricard memacu mobilnya menuju hotel yang dimaksud. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Ekspresi wajahnya bahkan kini sulit untuk dibaca.

?????

Ricard memasuki lobby hotel dengan tergesa, menanyakan perihal kamar atas nama kekasihnya. Frontliner hotel tersebut memberitahu detailnya, karena hotel ini 70% sahamnya milik Daniello's Corp dan pegawai hotel tersebut mengetahui dengan jelas siapa yang tengah meminta informasi padanya. Tentu saja dengan cepat dan mudahnya, pegawai tersebut memberikannya.

Ketika kaki Ricard ingin bergerak menuju lift, matanya tidak sengaja menangkap sosok yang tentu saja begitu ia kenal dan ia rindukan. Wanita dengan beberapa paperbag ditangannya tengah duduk di kursi resto yang menghadap kejalanan.

"Zeline..." panggil Ricard dan wanita itu menoleh dengan raut wajah datar.

'Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Zelineku berubah?' Batin Ricard saat melihat ekspresi datar yang diberikan kekasihnyaitu.

??????????

Why? Why? Why?
Kira-kira kenapa Zeline berubah?
Pelet Ricard udah abiskah?
Atau udah nemu Ricard-Ricard yang baru?
????????

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience