Semoga terhibur sama Ricard - Zeline di part kali ini
Mau tau dong, kalian yang baca cerita ini tinggal di mana aja??? Komen yaa...
Happy Reading my bebeb??
??????????
Mesya berjalan mendekati pasangan kekasih yang tengah dimabuk cinta, namun tetap bisa mengontrol diri mereka. Siapa lagi jika bukan Zeline dan Ricard. Mesya kini merubah panggilannya mengikuti semua orang memanggil Fello dengan nama Ricard.
"Terima kasih banyak untuk semua hal yang kau sudah berikan pada kami selama disini," ucap Mesya tulus.
"Hanya hal kecil yang bisa kuberikan pada kalian semua," kata Ricard merendah.
"Sesungguhnya, aku tidak ingin pulang. Aku ingin menetap dan selamanya berada di New York bersama dengan fasilitas-fasilitas mewah darimu. Tapi, tentu saja itu hanya halusinasiku semata. Aku dan Pradipta memiliki kehidupan di Jakarta. Menyebalkan sekali," curhat Mesya.
"Jadi kau merasa terpaksa untuk pulang ke Jakarta?" tanya Zeline.
"Iya! Bayangkan saja, aku di sini seperti ratu. Kemana-mana pergi naik mobil mewah seharga 4 Milyar lebih, jika di Jakarta aku akan kembali memakai Mini cooper milikku."
"Dasar wanita gila!"
"Kau akan menetap disini? Ya, jika aku menjadi kau, aku akan menemani Ricard, mengikuti kemanapun pria itu pergi. Kau tahu, dia itu incaran makhluk ganas di dunia ini. Kau harus menjaga aset terbaik yang kau miliki itu," bisik Mesya pada Zeline.
"Hell no! Tentu saja aku akan pulang ke Jakarta. Aku memiliki tumpukan pekerjaan di sana. Meskipun aku bisa membatalkan perjanjian kerja dan membayar ganti rugi yang tak seberapa, tapi aku akan bekerja secara professional."
"Lagi pula, semua kupasrahkan pada Tuhan. Jika memang aku berjodoh dengan pria ini, Tuhan akan memudahkan segala halnya. Namun, jika tidak, Tuhan akan memberikan hal baik lainnya untuk kehidupan-ku," ucap Zeline.
"Pemikiranmu memang sulit diterka. Tapi aku peringatkan. Jika kau hanya pasrah dan tidak berusaha, maka jodohmu bisa diambil orang lain pula," kata Mesya.
Pradipta sesekali mencuri ilmu bisnis dari Ricard ketika mereka mengobrol. Nyatanya Ricard bukan seorang pengusaha yang pelit berbagi informasi bagaimana ia menjalankan perusahaan sebesar saat ini. Semua kendali, ia yang memegangnya. Meskipun dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya, salah satunya Steven.
Mesya dan Pradipta berpamitan untuk kembali ke hotel. Mereka akan membereskan semua barang bawaannya karena besok malam mereka akan pulang terlebih dahulu dibanding yang lainnya.
Zeline juga mengajak Ricard untuk pulang. Telinganya sudah mulai kebas dengan suara dentuman musik. Mereka berpisah. Vera pamit paling awal, ia mengatakan akan bertemu dengan seorang klien yang akan memakai jasa fotonya sejak 1 jam yang lalu. Sedangkan Fini, wanita itu sekarang entah ke mana bersama Steven.
?????
Ricard semalam berjanji pada Zeline akan membawa kekasihnya keliling New York. Menghabis-kan satu hari sebelum mereka kembali ke rutinitas seperti biasanya. Ricard dengan tugasnya sebagai seorang CEO di New York, sedangkan Zeline sebagai MUA di Indonesia.
Rasanya berat memikirkan untuk kembali terpisah jarak dan waktu namun, realita sulit ditepis. Ricard akan berusaha keras menyakinkan dan meluluhkan hati Zeline, agar wanita itu mau mengikutinya dan menetap di New York. Butuh waktu dan proses tentu saja.
Ricard hari ini akan memanjakan Zeline dengan mengajaknya berbelanja di Fifth Avenue. Meskipun Ricard tidak yakin, Zeline mau menerima ajakan dari pria itu.
"Kita berjalan-jalan ke Broklyn Bridge, lalu ke Fifth Avenue, bagaimana?" tanya Ricard sambil menatap Zeline yang tengah memoles wajahnya dengan make up naturalnya.
"Untuk apa ke Fifth Avenue? Kau ingin mengajakku menghabiskan uangmu?" tanya Zeline balik.
Ricard mengedikan bahu, "Uangku tidak akan habis begitu saja, meskipun kau membeli serta tokonya. Aku tidak keberatan."
"Lelucon paling lucu yang pernah kudengar. Dasar pria sombong," sindir Zeline.
"Aku pantas sombong karena aku memilikinya. Sama hal aku akan terus menyombongkan diriku pada orang lain ketika berjalan bersamamu, karena kau milikku," ucap Ricard.
Zeline hanya menggeleng menanggapi ucapan Ricard. Pria itu semakin hari semakin absurd dan tidak bisa ditebak.
"Kau selalu cantik dan mempesona," puji Ricard.
Zeline berjalan berdiri tepat di depan prianya dan membenahi kerah kemeja Ricard.
"Dan kau selalu tampan serta mengagumkan," bisik Zeline.
Ricard menarik tubuh Zeline yang sudah tidak begitu kaku lagi saat berada didekatnya. Ia menundukkan wajahnya untuk memberi Zeline sebuah kecupan dibibir. Tidak ada penolakan dari Zeline.
?????
Berjalan tanpa kawalan bodyguard yang terlihat jelas membuat Ricard sendiri merasa nyaman. Meskipun ia besar di New York namun, saat kepopuleran namanya berkembang di masyarakat membuatnya malas untuk berkeliaran ditempat umum.
Ricard lebih memilih untuk mendatangi tempat-tempat yang bisa menjaga privasinya. Namun, kali ini berbeda, ia sengaja mengajak Zeline untuk keruang publik. Meskipun ia tahu akan banyak orang yang mengenalinya. Tapi ia bukan artis atau selebritis yang akan dikuntit sebegitu ekstrimnya tentu saja.
Berjalan santai sepanjang jembatan terkenal di New York adalah hal yang sederhana namun begitu Zeline sukai. Bagaimana tidak, di Jakarta ia begitu malas untuk sekedar berjalan-jalan ke Monumen Nasional sendirian. Tidak ada yang mau ia ajak jalan, apalagi ketiga sahabatnya tentu akan menolak mentah-mentah ajakan Zeline yang dianggap norak, meskipun Zeline tahu itu adalah hal yang menyenangkan jika dilakukan.
Sungguh keduanya layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Berjalan bergandeng tangan, berpose dengan latar belakang Broklyn Bridge, berpelukan serta berciuman di ruang terbuka. Hal yang sangat langka terjadi, jika berada di Indonesia.
Ponsel Zeline berbunyi, sebelah tangannya merogoh tasnya, sebelah tangannya lagi menahan lengan Ricard agar berhenti berjalan sejenak. Zeline memberi isyarat pada Ricard, jika ia akan mengangkat teleponnya yang berdering.
"Ya, ada apa?"
"Kau dimana memangnya?"
"Oh ya, baiklah. Aku akan menyusul kesana."
Zeline mematikan ponselnya dan menjelaskan perihal isi percakapan telepon barusan.
"Siapa?" tanya Ricard.
"Fini. Ia meminta kita untuk bertemu dengannya disalah satu restauran di sekitar Fifth Avenue," kata Zeline.
"Dia bersama Steven?" tanya Ricard lagi.
"Entahlah. Sepertinya tidak," jawab Zeline.
Ricard dan Zeline berjalan menuju tempat dimana Fini berada. Acara belanja Zeline yang diagendakan Ricard harus tertunda sejenak demi menemui sahabatnya.
Zeline memandang sekitar ruangan restoran, mencari keberadaan Fini. Pandangannya jatuh pada seorang wanita yang duduk sendirian sedang menghadap kejalanan.
"Kau sendirian?" sapa Zeline dan Fini menoleh.
"Thank's God akhirnya kalian datang. Demi Tuhan, aku seperti anak hilang, sedari tadi hanya sendirian duduk manis disini. Steven berjanji akan menjemputku tapi sudah nyaris 3 jam, laki-laki bastard itu tidak kunjung datang. Temanmu memang menyebalkan, Ricard!" oceh Fini tanpa memperdulikan keadaan sekitar.
"Kau membuat janji kembali dengan Steven?" tanya Zeline penasaran. Fini mengangguk.
"Dia pria yang menyenangkan semalam tapi menyebalkan saat ini. Apa memang dia terbiasa seperti ini?" tanya Fini pada Ricard.
"Steven?" Ricard bertanya balik dan Fini mengangguk.
"Dia sedang meeting menggantikanku. Mungkin meetingnya belum mencapai kesepakatan jadi dia belum bisa menemuimu disini," jelas Ricard.
"Oh, Shit! Aku tidak terpikirkan masalah itu. Ya Tuhan, aku sudah mengumpat kasar tentangnya," ucap Fini.
"Kau menyukai Steven?" tanya Zeline lagi.
"Memangnya kau saja yang bisa mendapatkan bule kaya raya? Nyatanya Steven tidak melakukan hal yang cacat sedikitpun semalam. Ia bermain dengan lihai dan profesional. Lebih nikmat caranya menusukku dibanding suami orang kemarin itu," jelas Fini tanpa malu.
Zeline memijit pelipisnya saat mendengar penjelasan Fini, sedangkan Ricard, pria itu meminta Zeline menjelaskan apa yang baru saja Fini katakan, karena wanita itu memakai bahasa Indonesia yang tidak dimengerti Ricard.
"Aku menyesal, mengapa baru bertemu dengannya didetik-detik terakhir kita akan pulang ke Indonesia. Damn! Jika dari kemarin-kemarin aku bertemu dengannya, tentu hari-hariku akan semakin cerah, indah dan berwarna."
"Sebelum kita pulang, aku dan Steven sudah sepakat akan melakukannya lagi, lebih lama dari semalam. Kau tahu, Zel. Itu adalah surga dunia yang nikmatnya tiada tara. Kau harus mencobanya dengan segera. Jika terlalu lama kau menundanya, Ricard akan berubah pikiran. Ia akan mencari wadah lainnya untuk mencelupkan sosisnya," jelas Fini.
"Stop it! Astaga Fini, aku menyesal membuatmu kembali normal, seharusnya kau galau saja seperti kemarin, sehingga mulutmu diam tidak mengucapkan hal-hal vulgar lagi yang membuatku pening," desis Zelin.
Fini terkekeh, ia begitu senang menggoda Zeline.
"Jika kau mau menjalin hubungan dengan Steven, aku sarankan kau harus menyiapkan dirimu sebaik mungkin. Selain Steven sama sepertimu, bergonta ganti pasangan celup mencelup. Kau juga harus siap menghadapi nenek sihir yang jauh lebih menyeramkan dari kejamnya ibu tiri di cerita bawang merah bawang putih." Zeline memperingatkan Fini.
"Astaga! Candaan macam apa itu Zel, kau mengatai ibu Steven, nenek lampir? Oh, aku sangat tidak takut dan jadi semakin ingin cepat bertemu dengannya." Fini terkekeh mendengar peringatan Zeline.
Ricard bertopang dagu memperhatikan dua wanita yang tengah bercerita memakai bahasa yang tidak ia mengerti sama sekali. Sepertinya ia harus belajar bahasa Indonesia secepatnya agar bisa tahu apa yang dibicarakan Zeline dan juga para sahabatnya. Ya, ia akan segera mengambil les bahasa Indonesia.
"Kau sudah menyiapkan barang-barangmu untuk pulang besok?" Zeline mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah. Karena aku tidak ingin belanjaanku tertinggal satu pun, apalagi malam ini aku akan begitu sibuk bermain kuda," perkataan Fini mulai membelok lagi kearah vulgar.
"Ricard, sebentar lagi kau akan menjalani Long Distance Relationship dengan sahabat perawanku ini. Kau tidak ingin memberinya sedikit kenang-kenangan agar ia selalu merindukanmu," kata Fini pada Ricard.
Ricard mengeryitkan dahinya mencerna ucapan Fini.
"Pacarmu lamban berpikir. Dia kaya saja tapi sepertinya sama denganmu. Kalian bagai botol bertemu tutupnya, begitu klop,"gerutu Fini mengabaikan tatapan heran Ricard dan tatapan malas Zeline.
Zeline menarik lengan Ricard untuk berdiri. Fini menoleh begitupun Ricard.
"Kau tunggu saja Steven datang. Kami harus pergi, aku akan membeli beberapa keperluan untuk kubawa pulang," kata Zeline.
"Kau tega meninggalkanku? Come on, Ricard. Suruh asistenmu itu secepatnya kemari," pinta Fini.
"Aku akan menghubunginya nanti dan menyuruhnya segera menjemputmu," kata Ricard.
"Thank you," ucap Fini senang.
"Besok aku akan menghubungimu, kita bertemu di bandara," kata Zeline.
Baru akan beranjak, Fini menarik lengan Ricard dan berbisik pada pria itu.
"Jangan lupa untuk membuat sahabatku orgasme. Suruh dia meneriakkan namamu lagi. Sentuh sahabatku dengan lembut, percayalah ia akan luluh. Semangat!" bisik Fini.
Ricard meneguk salivanya susah sambil menatap Fini sedangkan Zeline memicing curiga pada Fini.
"Sana pergi. Jangan lupa pesanku tadi," usir Fini seenaknya.
?????
Setelah menghabiskan waktu hampir 2 jam, berkeliling mencari barang-barang yang diperlukan Zeline untuk ia bawa ke Indonesia, mereka berdua memutuskan untuk pulang ke Penthouse Ricard.
Jangan ditanya berapa banyak belanjaan yang Zeline bawa pulang. Kekasih pemaksanya itu tentu saja tidak mengizinkan Zeline membeli barang hanya satu macam. Jika Zeline datang ke New York kemarin hanya membawa satu koper berukuran sedang maka besok ketika ia pulang kopernya beranak pinak menjadi lima koper dan semua berukuran separuh tubuhnya.
Zeline tidak habis pikir, bagaimana jalan pikiran Ricard. Pria itu bukannya cemberut atau kesal ketika mengeluarkan kartu yang berwarna gold itu pada setiap kasir, malah wajahnya bersemu senang dan bahagia, membuat sang penjaga kasir salah tingkah sendiri. Berbanding terbalik dengan Zeline, ia terus berdecak kesal saat Ricard seenaknya membeli ini itu yang harganya, tidak perlu disebutkan karena hanya membuat pening kepala Zeline.
Saat ini, Zeline tengah sibuk menyusun semua barang belanjaannya. Mulai dari parfum,sepatu, tas, dress, jeans, T-shirt, topi bahkan underwear yang bermacam-macam bentuknya. Zeline yakin, ia bisa membuka toko di Jakarta dengan semua belanjaan unfaedah ini.
"Aku suka melihatmu tidur dengan menggunakan T-shirt kedodoran tanpa bra dan hanya memakai celana dalam berenda," ucap Ricard mengambil posisi duduk disofa sambil membuka lembar majalah.
Zeline mengeryitkan dahi mendengar ucapan Ricard. Bagaimana pria itu tahu jika dirinya terbiasa tidur seperti itu, bukankah setiap tertidur bersama Ricard ia menggunakan bra dan celana dalam.
"Jangan heran, honey! Aku melihatmu tidur seperti itu saat aku menginap di apartemenmu." Ricard membaca raut wajah penuh pertanyaan yang ditampilkan Zeline.
"Tapi kau akan lebih terlihat seksi jika tidur bersamaku tanpa menggunakan apa pun," goda Ricard dan Zeline melemparkan salah satu bra berwarna merah yang tengah ia pegang pada Ricard.
"Kau mesum. Aku curiga, otakmu tadi dicuci oleh Fini dalam hitungan detik," tudingZeline.
Ricard tertawa mendengar tuduhan Zeline untuknya.
"Berapa lama lagi kau selesai membereskan semua ini? Aku ingin memelukmu. Besok dan selanjutnya kita akan sulit duduk bersama berdua," rengek Ricard pada Zeline.
"Astaga! Kau ini CEO yang punya berapa kepribadian? Aku tidak menyangka kau ternyata masih memiliki sikap bocah, ck ck ck." Zeline berdecak kaget melihat tingkah Ricard yang merengek layaknya bocah padanya.
"Aku juga tidak mengerti mengapa bisa begini. Honey, jangan mengalihkan pembicaraan, cepatlah!" Ricard berguling disofa memandang Zeline yang terlihat menggemaskan dimatanya.
'Pacarku aneh' batin Zeline.
?????
Zeline menyandar disandaran kasur. Ia menonton salah satu film yang tengah diputar di Netflix. Pandangannya ke TV namun pikirannya bercabang-cabang. Ia memikirkan hubungannya yang tinggal hitungan jam akan terpisah benua lagi. Jadwal kerjanya yang cukup sibuk ketika kembali ke Indonesia.
Jika ia bisa memilih, ia akan memilih untuk membelah dirinya menjadi dua layaknya amoeba. Zeline sendiri belum pernah merasakan menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya terdahulu. Ia terlihat begitu kuat dan ceria di depan Ricard karena tak ingin pria itu uring-uringan terus menerus.
Zeline teringat salah satu postingan satu penulis bernama BEBBY SHIN di akun instagramnya yaitu, jika sesuatu tidak dijalani maka kita tidak tahu akan seperti apa akhirnya. Begitupun hubungan ini, ia hanya berdoa jika memang Ricard adalah jodohnya, maka semua akan dilancarkan oleh Tuhan.
Saat asik dengan berbagai pemikiran, tanpa Zeline sadari Ricard sudah berada disampingnya. Menyandarkan kepalanya sama seperti yang Zeline lakukan.
"Kau sedang memikirkan apa? Hmm..." tanya Ricard dan Zeline segera menoleh.
"Astaga. Sejak kapan kau disini? Kenapa aku tidak menyadarinya." Zeline terkejut.
"Dugaanku benar. Kau bukan sedang menonton film tapi kau sedang memikirkan sesuatu, bukan? Aku baru lima menit yang lalu disini." Ricard memberitahu.
"Jadi, apa yang sedang kau pikirkan?" Ricard bertanya sambil menarik kepala Zeline agar menyandar dibahunya.
Zeline memainkan jari jemari kekasihnya. "Tidak ada. Aku hanya memikirkan pekerjaanku. Aku mengambil begitu banyak pekerjaan ternyata untuk dua bulan ke depan."
Ricard mendesah mendengar ucapan Zeline. "Kenapa harus mengambil begitu banyak pekerjaan?"
"Pekerjaan itu sudah kususun sedari awal tahun. Aku bahkan tidak menyangka akan memiliki kekasih berbeda benua seperti saat ini," kata Zeline.
"Kau bisa membatalkan semuanya. Aku akan membayar pinaltinya. Sebutkan saja nominalnya."
Zeline menghentakkan jemari Ricard yang tengah digenggamnya dan menoleh sinis pada kekasihnya itu.
"Tidak semua hal bisa dibayar dengan uangmu. Pekerjaanku adalah kesenanganku. Sedari dulu aku sudah membiasakan diri agar bertanggungjawab dalam segala hal. Jika sama sekali tidak dalam keadaan urgent, aku tidak akan membatalkan pekerjaanku. Apalagi aku mendapatkan kesempatan yang diimpikan oleh para MUA lainnya disana. Aku akan mendandani keluarga presiden dalam beberapa kesempatan besar. Dan kau dengan mudahnya bilang batalkan dan bayar pinaltinya." Zeline mengucapkannya dengan sedikit emosi.
Ricard cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Zeline. Sifat wanita itu begitu keras kepala serta teguh pendirian. Wanita itu bahkan memilih berdebat dengannya ketimbang mengikuti keinginan Ricard. Wanita pertama yang menjadi kekasihnya yang berani berkali-kali membantah ucapannya. Ricard kehilangan kata-kata untuk menjawab semua penjelasan Zeline. Ia memilih untuk mengalah. Mengalah bukan berarti kalah.
"Okay. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya takut, kau akan begitu sibuk dan tidak ada waktu untuk beristirahat dan untukku. I'm so sorry, honey!" Ricard meminta maaf.
Zeline luluh begitu saja dengan permintamaafan dari Ricard. Ricard menarik kembali Zeline untuk menyandar dan dipeluknya dengan erat.
"Aku akan sangat merindukanmu," lirih Ricard, memilin rambut Zelin.
Zeline mendongak dan menyentuh rahang Ricard yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Aku juga pasti akan merindukanmu," ucap Zeline.
"Semoga kau bisa bertahan dengan keadaan kita seperti ini dan bertahan dengan keadaanku yang tidak sempurna ini," lanjut Zeline.
Ricard menaruh telunjuk didepan bibir Zeline dan menggeleng keras. "Kau sempurna dimataku. Aku percaya, kau bisa lepas dari semua phobia yang kau derita selama ini. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha dan percaya."
"Kau juga tetap menjadi wanita satu-satunya yang aku inginkan untuk menjadi pendamping hidupku. Wanita yang ingin kujadikan ibu dari anak-anakku. Teman disaat susah maupun bahagia bersama. Dan juga teman untuk menemani diranjang selama hidupku," ucap Ricard dan Zeline terkekeh mendengarnya.
"Sejak kapan kau menjadi gombal dan berpikiran mesum?" sindir Zeline.
"Sejak aku bertemu dengan wanita Indonesia disebuah situs kencan online bernama Zeline Zakeisha," ucap Ricard.
"Jika nanti kau memiliki waktu libur beberapa hari, kabari aku. Aku akan mengajakmu ke Dubai menemui kedua orangtuaku. Mereka menetap disana selama tiga bulan." Ricard memberi penjelasan pada Zeline.
"Apakah Mommy-mu semengerikan nenek lampir seperti Lidya? Mama Steven?" Ricard tertawa lepas ketika pertanyaan itu keluar dari mulut kekasihnya.
"Oh God! Kau memberi julukan nenek lampir pada mama Steven? Amazing! Tapi ia memang pantas menyandang gelar seperti itu."
"Mengenai Mommy-ku, lebih baik kau nilai sendiri ketika bertemu secara langsung. Aku tidak akan memberimu gambaran apa pun. Aku harap kau menjadi dirimu sendiri ketika berjumpa dengan orangtuaku," ucap Ricard pada Zeline.
"Okay. Aku aku harus berdoa setiap saat, berharap kedua orangtuamu tidak semenjengkelkan Mama Steven," kata Zeline sambil mengatupkan tangan seolah sedang berdoa.
Ricard menunduk dan mencium bibir Zeline dalam. Jantung Zeline berdetak cepat, aliran darahnya terasa begitu panas. Zeline mencoba mengikuti ritme ciuman yang diberikan Ricard padanya. Memejamkan mata, tangannya mencengkram lengan berotot Ricard dan sebelah lagi berada di dada telanjang Ricard. Zeline secara naluriah mengusap dada Ricard dan suara lenguhan keluar dari sela ciuman Ricard. Zeline merasa jauh lebih rileks dibanding di awal ia melakukannya.
Ricard melepaskan ciumannya dan membenahi posisi mereka agar jauh lebih nyaman. Dirasa napas mereka sudah kembali sedikit normal meskipun masih sedikit terengah-engah, Ricard kembali mencium Zeline dan kali ini jauh lebih mendalam dan sedikit liar.
Tangan Ricard menyusup bergerak ke dalam kaos tipis yang dikenakan Zeline. Meraba kedua bukit kembar yang masih dibalut oleh bra. Desahan keluar dari bibir Zeline. Nikmat dan menyenangkan menurut Zeline.
Ciuman Ricard beralih ke leher jenjang Zeline dan belakang telinganya. Dua dari sekian banyak titik sensitif yang ada pada wanita sedang digoda oleh Ricard. Zeline merasa dirinya kini tengah terbang ke awan, melayang, terhipnotis dengan sentuhan lembut yang diberikan Ricard pada tubuhnya.
Bahkan tanpa ia sadari, kaos serta bra yang Zeline kenakan sudah terlepas dari tubuhnya. Begitu lincah dan gesitnya Ricard melakukan semua itu. Ketika tangan Ricard kembali menyentuh puncak bukit kembarnya yang tengah menegang, Zeline melenguh lebih keras membuat Ricard mengangkat tubuhnya bergerak menjauhi tubuh Zeline yang sudah setengah polos itu.
Ricard duduk sambil menutup matanya dan mengacak rambutnya sembari mengumpat kesal.
"Shit! Asshole!" umpat Ricard.
Zeline yang menyadari perubahan sikap Ricard segera menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya yang terbuka. Zeline bingung, wanita itu tidak tahu harus berbuat apa dan pikirannya masih mengambang.
"Demi Tuhan, aku baru saja hampir melakukan kesalahan fatal," desis Ricard.
Zeline menoleh, mengerenyitkan dahi bingung. Bertanya dalam hati mengapa Ricard sampai mengumpat kasar seperti itu.
"Maafkan aku, honey. Aku kebablasan! Shit! Aku sudah berjanji pada Papamu untuk tidak melakukan sesuatu hal yang menjijikan sebelum kita menikah. Hampir saja aku melakukan kesalahan fatal itu," jelas Ricard menjawab kebingungan di wajah Zeline.
Zeline menyugar rambut panjangnya yang terurai. Ia juga berada pada posisi yang salah. Benar kata Ricard, mereka hampir saja melanggar peringatan yang diberikan oleh Papa Zeline.
Ricard mencium singkat bibir Zeline.
"Aku mencintaimu. Tapi aku harus menjadi pria yang bertanggung jawab atas janji yang sudah aku ucapkan pada kedua orangtuamu. Aku tidak ingin menyakitimu dan juga melanggar ucapan mereka. Maafkan atas kekhilafanku tadi, honey."
"Pakailah bajumu lagi. Aku akan ke dapur sebentar, lalu kita akan tidur seperti biasa." Ricard mengacak puncak kepala Zeline dan meninggalkan Zeline sendiri.
Zeline tertegun dengan ucapan yang keluar dari mulut kekasihnya itu. Ia tidak menyangka jika Ricard, pria yang terbiasa hidup di Negara bebas, mampu mengontrol dirinya dan menahan dirinya hanya karena teringat akan ucapan Papanya.
'Bagaimana mungkin aku tidak semakin jatuh cinta padanya. Jika dia selalu melakukan kejutan-kejutan membahagiakan untukku,' batin Zeline.
Zeline memakai kembali pakaiannya dan membaringkan tubuhnya dibalik selimut, menunggu Ricard kembali dari dapur.
??????????
Share this novel
Malaysia
cimahi jawa barat kak salam kenal