Aku Hamil

Drama Series 6599

Seminggu sudah lamanya aku menjadi istri seorang Aldrik Aldriansyah Pranaja, nama suamiku, aku merasa bahagia. Namun pagi ini semuanya terasa berbeda. Sejak beberapa hari yang lalu aku memang merasa tidak enak badan dan hari ini semua terasa lebih hebat dari sebelumnya. Apa aku sedang demam? Rasanya ingin muntah.

"Ada apa sayang?" tanya Mas Al padaku seolah tahu apa yang kurasakan.

"Badanku tidak enak Mas. Ingin muntah rasanya," jawabku jujur.

Lalu, uhuk uhuk uhuk, Mas Al tersedak. Aku langsung memberikan minuman air mineral kepada suamiku. Ya kami sedang sarapan tapi tak ku sangka efeknya sebesar ini untuk Mas Al.

Dengan susah payah Mas Al akhirnya dapat menguasai diri. Ia memintaku menyelesaikan sarapan kami segera. Setelah itu hal tak biasa pun terjadi.

" Sayang, Mas ijin keluar sebentar ya ke inmart, ada yang mau Mas beli," celetuknya.

Aku bingung tapi ku ijinkan juga suamiku ini untuk pergi toh cuma di depan gang pikirku. Aku segera mengambil piring dan gelas kotor bekas sarapan kami tadi dan segera mencucinya bersih. Biasanya Mas Al yang melakukan ini tapi tak apa ini justru membuatku tampak seperti seorang istri sesungguhnya. Biasanya Mas Al melakukan semuanya dengan cekatan. Dia benar-benar memperlakukan aku layaknya ratu dalam rumah tangga kami. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur mengingatnya.

Lima belas menit berlalu setelah kepergian Mas Al ku dengar suara bel gerbang di rumahku berbunyi nyaring. Kira-kira siapa yang bertamu pagi-pagi sekali seperti ini. Ku langkahkan kaki menuju lantai bawah memasuki ruang tamu dan mengintip melalui cctv gerbang depan rumahku. Ustadz Zaki.

Astaghfirullah mau apa dia kemari pagi-pagi. Mas Al sedang tidak ada dirumah. Aku takut. Bukan takut beliau kurang ajar padaku melainkan aku takut jika Mas Al salah paham padaku karena kedatangannya.

Aku mematung di depan cctv memperhatikan sang Ustadz yang masih ada di depan rumahku. Bel berkali-kali ia nyalakan tanda bahwa ia benar-benar berniat untuk kemari. Y Allah dimana sih suamiku kok lama sekali?

Selang beberapa menit kulihat Ustadz menjauh ke seberang jalan menuju sebuah mobil Xenia yang terparkir disana. Kulihat seseorang membuka pintu jendela mobil. Itu Abah dan Umi. Haruskah gerbang aku buka? Toh Ustadz tidak sendiri melainkan bersama Abah dan Umi pemilik pesantren, ya mereka adalah mertua Ustadz Zaki memang.

Terbesit pikiran untuk membuka gerbang di kepalaku toh Mas Al tidak akan salah paham jika ada Umi dan Abah disana. Belum sempat aku beranjak ke arah kunci gerbang aku menangkap sosok yang tidak asing lagi di dalam mobil itu. Para Ustadzahku, istri-istrinya Ustadz Zaki, mendadak ku urungkan juga niatku.

"Assalamu'alaikum," sapa Mas Al tiba-tiba di hadapan mobil itu.

Mas Al sudah melihat mereka saat sampai di persimpangan jalan depan rumah kami. Alhamdulillah batinku lega sekarang. Mas Al datang dan membunyikan bel di depan gerbang. Tak ku buka juga selama beberapa menit. Aku ingin mereka berpikir bahwa aku seolah-olah sedang dari dalam rumah untuk membuka gerbang karena memang butuh beberapa menit untukku sampai dibawah dari lantai dua rumah kami. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa aku sudah ada di depan gerbang sedari tadi.Dengan sedikit berbohong aku buka gerbang rumahku.

"Assalamualaikum," sapa suamiku beserta orang-orang ponpes ini.

"Waalaikum salam," balasku seraya menarik tangan suamiku dan menciumnya lalu dibalas dengan kecupan di kening ku oleh Mas Al.

Aku mempersilahkan semua orang masuk ke dalam rumah. Ketika mereka memasuki halaman rumah kudengar decak kagum dari Abah dan Umi serta Ustadz dan Ustadzah ku ini. Semua terpukau oleh pemandangan buatan yang di desain oleh suamiku. Tak terasa aku merasa bangga dengan sendirinya.

"Silahkan masuk Pak, Bu, Ustadz dan Ustadzah," kata Mas Al bersopan santun.

Mereka semua memasuki ruang tamu dan duduk di bantalan duduk yang sudah ku siapkan bersama suamiku. Semua beranjak duduk bersama tapi Mas Al menghampiriku dengan menyerahkan bingkisan yang dia bawa padaku dan meminta tolong untuk diambilkan suguhan untuk tamu kami ini. Aku mengangguk dan berlalu ke dalam rumah.

Mas Al di ruang tamu bersama mereka, menghadapi mereka layaknya tuan rumah yang baik. Mereka mengobrol dengan santai entah apa yang mereka bahas.

Aku kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi air teh dan kopi yang sering digunakan sebagai suguhan untuk tamu beserta aneka camilan untuk menemani minum kopi atau teh. Ngomong-ngomong ternyata kami mempunyai dua dapur di dalam rumah. Satu di lantai dua tempat biasanya aku dan Mas Al bersantap pagi, siang dan malam dan satu lagi di dekat garasi mobil di lantai satu. Dapur ini lebih kecil karena fungsinya hanya untuk membuat makanan dan minuman untuk para tamu.

"Assalamualaikum, ini silahkan di nikmati sedikit hidangan kami," ucapku basa-basi seraya menata semua bawaanku di meja dengan bantuan dari Mas Al tentunya.

"Terima kasih, Shelly, harusnya jangan repot-repot seperti ini," kata Ustadzahku yang jelas kata-katanya juga sekedar basa-basi.

"Tidak repot kok Ustadzah. Silahkan dinikmati. Saya pamit kebelakang sebentar. Mas aku ke dalam ya," balasku sembari meminta ijin suamiku lagi dan mengecup tangannya dan ia mengecup keningku lagi, ini sudah menjadi kebiasaan kami berdua.

"Ya sayang, jangan lupa bingkisan yang tadi Mas bawa di buka dan di pakai ya!" ucap Mas Al sehabis mengecup keningku dan aku mengangguk.

Aku berlalu sambil membawa nampan yang sudah tidak berisi lagi ke arah dapur dan terus melengos pergi setelah nampan itu ku tata rapi di tempatnya. Aku bergegas menaiki tangga ke lantai dua.

Di lantai dua kubuka bingkisan dari suamiku tadi dan terkejut luar biasa saat kulihat bahwa di dalamnya ada lima testpack dengan berbagai merk. Apa Mas Al pikir aku hamil? Aku membatin dalam hati tapi tetap ku jalankan juga amanah suamiku itu

"Untung kamu ganteng Mas, kalau tidak pasti udah ku prostes masa baru seminggu menikah sudah disangka hamil, hmm..." aku berbicara sendiri.

Ku ambil salah satu testpack dan membaca petunjuk teknis yang tertera pada kotak pembungkusnya. Selesai kubaca kubawa testpack itu ke dalam kamar mandi dan ku gunakan seperti permintaan suamiku. Lalu kubawa keluar. Ku taruh testpack itu di atas sebuah meja dan ku tunggu selama sepuluh menit. Aku baru kali ini menggunakan testpack dan baru kali ini aku tahu cara menggunakannya meskipun di ponpes temanku pernah membeli dan memakainya. Entah untuk apa.

Sepuluh menit berlalu kuambil testpack yang ku tinggal begitu saja di atas meja. Kulihat dengan seksama. Dua tanda garis merah terpampang jelas disana. Astaga aku positif hamil batinku dalam hati. Apa Mas Al sudah ada firasat ya makanya membelikan aku testpack ini? Alhamdulillah.

Setelah beberapa menit dan hasil testpack itu ku kantongi dan air kencing bekas test tersebut sudah aku buang di kamar mandi juga wadahnya yang kumasukkan ke dalam tempat sampah dengan membersihkannya terlebih dahulu agar tidak bau pesing khas air kencing tentunya sebelum ku buang ke tempat sampah. Tak lama setelahnya aku hanya duduk di sofa ruang keluarga kami sambil menunggu kedatangan suamiku. Ya aku tidak turun ke bawah dan aku tidak berminat untuk menemui Ustadz Zaki dan Ustadzah ku meskipun aku cukup rindu dengan Abah dan Umi yang sudah ku anggap sebagai pengganti Ayah dan Ibuku yang sudah berpulang ke rahmatullah terlebih dahulu sebelum aku.

Pikiranku melayang kembali ke masa lalu dimana aku masih bersama dengan Ustadz Zaki. Masih menjadi selingkuhannya, orang ketiga eh bukan ke empat pastinya karena istrinya ada tiga, yang tidak diketahui oleh istri-istrinya itu. Saat itu aku tersanjung dengan semua kata-kata Ustadz Zaki dimana beliau ingin meminang ku ya meski jadi istri ke empatnya memang tapi toh aku tidak keberatan saat itu. Saat itu beliau bilang ingin aku menjadi ibu dari anak-anaknya karena istri-istrinya ternyata mandul. Aku kasihan sekaligus merasa istimewa mendengarnya ingin memiliki anak bersamaku. Aneh.

Pernah sekali beliau memintaku melakukan jimak yang seharusnya dilakukan dengan istrinya sendiri tapi ku tolak mentah-mentah. Aku memang ingin menjadi istrinya tapi tidak seperti ini. Tidak berzina. Lalu beliau mengiyakan permintaanku meski kulihat beliau kecewa. Beliau mengatakan akan meminta ijin istri pertamanya Ustadzah Fara untuk mengijinkannya menikah lagi denganku.

Aku bersemangat saat itu dan menungunya, tak terasa hingga dua tahun lebih aku menunggu hingga suatu hari Lyodra mantan sahabat ku mengirimkan pesan kepada ku supaya aku bergegas ke arah kebun di ponpes Al Ikhlas yang letaknya di depan di samping pintu gerbang ponpes di perbatasan antara asrama pria dan wanita di ponpes itu. Di sekeliling kebun terdapat banyak tanaman besar dan kecil yang rimbun tumbuh mengelilingi kebun tersebut dan ada pagar bambu diluarnya. Kebun ini luas tapi cukup terbengkalai karena tidak ada yang merawat. Hingga membuat tak seorang pun yang akan pergi ke sana tanpa ada maksud tertentu.

Singkat cerita aku kesana, ke tempat yang Lyodra maksud. Tanpa ada rasa curiga ku langkahkan kaki ke are tersebut dan ku dengar suara aneh. Aku diam dan mendengarkan dengan seksama. Dengan hati-hati aku mencari sumber suara. Aku takut jika itu suara orang dengan niat jahat yang ingin masuk ke dalam pesantren kami. Ketika kutemukan sumber suara segera ku intip juga dan astaghfirullah aku terkejut dengan apa yang kulihat. Ustadz Zaki sedang berhubungan badan dengan Lyodra. Di kebun.

Ku datangi tempat itu tanpa ada rasa takut lagi melainkan marah yang sejadi-jadinya. sesampainya di tempat itu aku berteriak dan memaki keduanya yang masih dalam posisi telanjang bulat dan sedang berpelukan dan berciuman. Aku jijik. Ustadz Zaki yang melihat ku kaget tapi Lyodra tidak. Dia sengaja memberitahuku hubungannya dengan Ustadz tapi tidak pernah aku hiraukan karena Ustadz terus mengatakan bahwa mereka tidak ada hubungan apa-apa jadi aku percaya. Sekarang aku percaya ucapan Lyodra dan aku juga jijik kepadanya juga Ustadz Zaki. Beraninya mereka mengkhianati diriku bahkan lebih buruk lagi mereka berdua zina dan Lyodra sengaja memperlihatkannya padaku.

"Ustadz aku tidak percaya ini. Teganya Ustadz mengkhianati juga membohongiku padahal aku sudah menunggu selama ini. Dan kamu Lyodra kukira kamu sahabatku ternyata kamu tidak lebih dari pengkhianat murahan. Aku benci kalian berdua. Kita putus Ustadz," kataku marah dan meninggalkan keduanya tapi tampaknya mereka tidak peduli karena tidak ada seorang pun dari mereka terlihat mengejarku.

Tak kurasa wajahku ternyata sudah basah oleh air mataku entah sejak kapan. Ku usap semua air mataku. Hatiku berkecamuk mengingat semua yang telah terjadi. Aku marah, benci dan juga jijik. Sangat kecewa dengan sikap kedua orang tersebut yang menyakiti perasaanku.

Ku kipas pergi kenangan itu dari kepalaku dan ku tenangkan hati dan pikiran ku kembali. Setelah semua tertata rapi di tempatnya kulihat kembali testpack yang sedari tadi ada disampingku. Aku tersenyum dan tak ku sangka aku berucap "rasakan" . Rasanya seolah aku sedang balas dendam meski aku tidak melakukan apa-apa. Tapi dengan aku hamil, aku membuktikan bahwa aku lebih baik dari istri-istrinya juga Lyodra yang meski sudah disetubuhi tapi juga tidak hamil. Sedangkan aku baru seminggu menikah sudah hamil. Aku puas.

Orang yang sangat ingin memiliki anak tapi tidak mendapatkannya karena istrinya mandul. Lalu berselingkuh denganku tapi mengkhianati diriku. Bahkan berzina dengan sahabatku sendiri untuk mendapatkannya karena aku menolak melayaninya karena kami belum menikah tapi tak pernah sekalipun dia mendapatkan apa yang dia mau.

Justru aku yang dikhianati dan disakiti olehnya yang hamil. Bahkan aku mendapat suami yang lebih baik dari dirinya. Sungguh nasib yang menarik.

Sudah sekitar setengah jam lamanya aku menunggu suamiku dan dia tak datang-datang. Aku berniat untuk kebawah dan mengintipnya dari tangga. Saat ku arahkan badanku ke tangga bersiap untuk turun kulihat suamiku berdiri disana, diam menatapku. Aku tersenyum dan dia tersenyum lalu menghampiriku.

"Ada apa kok nangis?" katanya sembari duduk jongkok di depanku yang masih duduk di sofa.

Aku tak menjawab. Ku sodorkan testpack ke arahnya. Di amatinya alat itu beberapa detik dan Alhamdulillah yang dia ucapkan terus memlukku erat.

"Terima kasih sayang. Mas bahagia sekali kita diberikan kepercayaan oleh Allah untuk menjadi orang tua," kata Mas Al di pelukanku sambil terus menciumi kepalaku, pundakku juga leherku.

Didalam pelukannya aku tersenyum dan
mengatakan bahwa aku juga bahagia dan membalas mencium leher suamiku hingga berubah menjadi tanda merah di lehernya. Kami berpelukan cukup lama dan Mas Al menjauhkan tubuhku darinya dan memegang wajahku dan mencium bibirku. Seketika itu kami berciuman.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience