Waktu berganti dengan cepatnya tanpa ada perubahan berarti. Ustadz Zaki masih terus datang, diam dan pergi seperti jelangkung yang menghantui rumah kami. Hingga saat ini kami terpukau dengan pemandangan yang kami lihat.
Dia di dalam. Di dalam rumah kami. Kami syok. Cepat-cepat Mas Al menelepon 112 (112 adalah nomor panggilan darurat di Indonesia, seperti 911nya Indonesia) dan meminta polisi datang ke rumah atas dasar ada penyusup yang masuk di rumah kami bahkan kamar pribadi kami, dan dia juga mesum.
Ustadz Zaki membongkar isi lemari kami. Mengambil celana dalam milikku dan mulai menciumi dan menjilatinya. Buruknya dia memakai celana dalam itu untuk melampiaskan birahinya, iuuuhhhh... jijik.
Tak pernah terbayangkan olehku bahwa seorang ustadz akan melakukan hal sampai seperti ini bahkan aku pernah mencintai orang gila ini. Wah aku bersyukur tidak menjadi istrinya. Dan aku lebih bersyukur bahwa semua yang ada di lemari adalah barang baru yang tidak pernah aku sentuh atau aku pakai sebelumya.
Itu ide suamiku. Dia curiga bahwa Ustadz akan masuk ke dalam rumah kami. Mas Al bilang Ustadz Zaki sangat terobsesi denganku entah mengapa. Dan benar saja firasat suamiku ini. Dia benar-benar melakukan hal yang diluar nalar dan sangat menjijikkan. Lebih menjijikkan lagi dia menyiram lukisan diriku yang telah susah payah dibuat Mas Al di ruang keluarga dengan air maninya. Astaghfirullah, begitu rendahnya manusia satu ini.
Satu hal yang tak habis pikir olehku dan Mas Al ialah bagaimana dia bisa masuk rumah kami. Kami tak habis pikir bahwa ia akan memanjat dan turun melalui air terjun buatan di depan rumah kami. Dan dia juga membuat kunci duplikat rumah kami. Bagaimana bisa? Sejak kapan dia punya kunci rumah kami.
Sekitar dua puluh menit kami melihat kedatangan polisi di depan rumah kami. Mereka menjebol pagar secara paksa dan masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci karena Ustadz Zaki membukanya dengan kunci duplikat miliknya itu.
Sementara di atas lantai dua Ustadz Zaki menyadari kehadiran polisi dan mencoba kabur melalui beranda lantai dua. ada beberapa tanaman merambat di bagian tembok yang digunakannya melarikan diri. Sayangnya polisi tidak sebodoh yang ia pikir.
Polisi yang berada di depan rumah kami memergokinya. Ia lari sekenanya ke arah perempatan jalan rumah kami. Ternyata ia menaruh sebuah motor disana yang digunakan untuk melarikan diri.
Polisi mengejarnya. Karena dia tidak berhenti juga polisi menembaknya dan kena tepat pada lengan kanannya hingga membuat Ustadz Zaki kehilangan keseimbangan. Bukannya mengerem dia malah mengencangkan gas dan akhirnya menabrak hingga membuat dirinya terseret dengan posisi masih berpegangan di motor.
Separuh wajahnya menyapu aspal membuat dirinya mengalami luka bakar yang cukup parah dan menyakitkan nampaknya. Aku dan suamiku yang melehiat kejadian epik tersebut sama-sama mual dan muntah bersamaan.
Huek.... huek....
Suara muntah yang tak bisa tertahan lagi. Harusnya kami merasa iba tapi kami malah mual. Maafkan kami Ustadz tapi kami benar-benar tidak tahan.
Ustadz Zaki dibekuk polisi. Dibawa ke rumah sakit karena luka parahnya. Polisi menghubungi Mas Al untuk melaporkan bahwa Ustadz Zaki telah tertangkap. Mas Al diminta ke kantor Polres Jember untuk memberikan kesaksian dan barang bukti. Meskipun polisi sendiri telah memiliki bukti pada saat kejadian tapi semua itu dibutuhkan untuk formalitas
"Selamat pagi Bapak Aldrik kami dari Polres Jember memberitahukan bahwa penyusup di rumah anda sudah kami bekuk. Kami membutuhkan keterangan dari anda sebagai pelapor," kata polisi di seberang telepon.
"Baik, Pak. Saya akan segera kesana dan membawa barang buktinya," kata suamiku tenang.
Sebelum pergi Mas Al mengantarkan aku ke rumah mertuaku, Bapak dan Ibu Mas Al. Mas Al tidak ingin aku ikut dan bertemu dengan Ustadz Zaki. Ia takut Ustadz akan berbuat lebih buruk lagi.
Aku mengangguk karena jujur saja aku juga takut bertemu penjahat mesum sepertinya.
Sesaat di rumah Ibu Mas Al bercerita bahwa aku hamil dan ini sudah memasuki usia dua minggu. Ibu dan Bapak mertuaku begitu bahagia mendengar kabar ini begitu juga adik-adik iparku. Kami mengatakan bahwa kami diberikan kesempatan dari Allah untuk merawat dan menjaga bayi kembar empat. Pemandangan sujud syukur kemudian yang aku dan Mas Al saksikan dari keluarga kami ini. Kami tersenyum dan bahagia bersama.
Kebahagiaan itu terus meluap dari keluarga Mas Al. Sengaja Mas Al tidak mengatakan tentang hal buruk yang sedang menimpa kami. Suamiku tidak ingin melibatkan keluarga kami untuk masalah ini. Sebisa mungkin kami berdua saja yang tahu dan menghadapinya. Masalahnya Ibu dan Bapak mertuaku cukup akrab dengan Abah dan Umi pemilik ponpes Al Ikhlas yang tidak lain adalah mertua dari Ustadz Zaki yang biadab itu.
Kami memutuskan menyelesaikan masalah ini secara musyawarah tapi juga tetap sesuai hukum dan UUD '45 (Undang -undang Dasar Negara Indonesia). Biar bagaimanapun suamiku ingin Ustadz Zaki mempertanggung jawabkan perbuatannya dan mendapat hukuman setimpal.
Mas Al ingin memastikan bahwa pria jahat itu tidak menggangu aku lagi dan rumah tangga kami. Bahkan kalau bisa dia harus bisa bertaubat mengingat dia seorang Ustadz di sebuah pondok pesantren, dia imam dari tiga orang istri. Sangat disayangkan jika kejadian ini hanya berlalu tanpa membuat si Ustadz sadar.
Mas Al sangat penasaran apa motif dari semua perilaku menyimpang Ustadz Zaki hingga melakukan hal buruk itu juga kenapa dia sangat terobsesi sekali denganku padahal dia tidak ada masalah saat kami menikah dan bahkan dia tidak masalah aku memutuskan hubungan dengannya dulu. Itu sangat aneh.
Hingga di kantor polisi Mas Al ditanyai oleh BRIPTU Arya. Mas Al menjelaskan secara rinci dan menyertakan bukti akurat berupa rekaman cctv rumah kami dari gerbang hingga cctv di kamar tidur kami.
BRIPTU Arya memproses laporan Mas Al segera. Beliau menghubungi keluarga pelaku yaitu Ustadz Zaki untuk dimintai keterangan. Mas Al dipersilahkan untuk pulang dan diminta datang sewaktu-waktu jika diperlukan dalam proses penyidikan. Mas Al bersedia dan segera pamit untuk pulang.
Di rumah, kamar tidur dan ruang keluarga kami diberikan tanda polisi sebagai tempat kejadian perkara dan kami diminta untuk tidak tinggal dirumah dulu sampai proses penyidikan selesai. Aku dan Mas Al menurut. Lagi pula siapa juga mau tinggal di rumah yang baru saja disatroni oleh penjahat mesum? Jelas aku tidak mau.
Kami kembali menginap di villa. Villa yang kami huni saat ini villa komersil milik Mas Al. Jadi selain bisa memilih kamar sesuka kami, kami pun tidak perlu membayar karena ini milik kami, milik suamiku tepatnya. Hingga proses penyidikan dan hasil putusan dan hukuman dijatuhkan kami akan tetap tinggal disini. Ustadz Zaki tidak tahu soal villa kami ini jadi disini merupakan tempat yang aman untuk kami tinggali sementara waktu.
Share this novel