Hari ini tak seperti biasa ku rasa. Ada sesuatu yang akan terjadi. Tapi apa? Entahlah aku pun tak yakin.
Semenjak kepergian orang tuaku dua bulan lalu aku sudah dibuat sibuk oleh hidupku. Terlahir sebagai anak tunggal dari dua sejoli yang sama-sama anak tunggal membuatku menjadi sebatang kara setelah kematian Ayah dan Bundaku. Bagaimana cara ku hidup kedepannya masih terasa abu-abu.
Padahal sebelumnya sekalipun orang tuaku masih ada aku juga hidup seorang diri di pesantren tanpa sedikitpun dari keduanya datang sekedar melihat keadaan putri semata wayangnya ini.
Kami terlalu miskin untuk kedua orang tuaku bolak-balik dari kampung ke pesantren pun mereka tak mampu.Mereka lebih memilih mengirimkan uang yang tak seberapa itu untuk kehidupanku di pesantren. Aku bahkan tidak bisa mengingat lagi seperti apa bentuk rumah ku karena semenjak aku kecil aku dikirim ke pesantren untuk sekolah dan hidup selayaknya.
Dengan berbekal uang transfer ayah bundaku dan kepintaran otakku yang membuat ku selalu menerima beasiswa dari pesantren aku hidup hingga sekarang. Kini mereka sudah tiada Allah telah memanggil mereka kembali kesisi-Nya. Tinggal aku disini di pesantren ini tertinggal dengan masa depan yang tampak terselubung kabut hitam. Entah hidup entah mati.
"Shell oi... Shelly..."
Aku terhenyak mendapati wajah temanku di depan mukaku seraya mengayunkan tangannya didepan kedua mataku. Rupanya aku sedari tadi terbengong entah karena apa
" Kamu di panggil Abah dan Umi Shell, diminta datang ke pendopo", lanjut temanku yang hanya bisa tersenyum malu karena bengong dan tidak tahu kalau dia datang.
"Oh iya sukron", sahutku seraya berdiri bergegas menuju tempat yang temanku maksud.
Mengapa aku di panggil Abah dan Umi? Abah dan Umi adalah pemimpin sekaligus pemilik pondok pesantren Al Ikhlas tempatku tinggal sepanjang hidup ku sepanjang ingatanku.
Mungkinkah ini soal uang sekolah yang belum ku bayar? Tapi jika ku bayar bagaimana aku makan dan memenuhi kebutuhan ku yang lain sedangkan uang beasiswa ku bulan depan baru keluar. Sudahlah aku datang lah dulu toh tidak ada gunanya menerka-nerka sesuatu yang tidak terlihat.
"Assalamualaikum", salamku sembari mengetuk pintu pendopo.
Terdengar suara Waalaikum salam dari dalam menjawab suara salam ku, lalu terlihat pintu terbuka membuka jalan bagiku. Kulihat wajah Umi tersenyum menyambut kedatangan ku dan mempersilahkan aku masuk.
Ternyata aku bukan satu-satunya santriwati yang dipanggil, kulihat Lyodra sahabat ku - tidak - mantan sahabat yang benar, dia juga datang. Apa ini tentang masalah ku dengan dia? Jika benar untuk apa delapan orang lainnya juga Ustadz dan Ustadzah ku disini. Ah sudahlah dengarkan saja dulu.
"Umi dan Abah disini memanggil kalian untuk memberitahu bahwa ada sepasang suami istri yang datang untuk meminta seorang wanita yang baik yang bersedia menjadi jodoh untuk anaknya, dan kalian bersepuluh yang disarankan oleh Ustadz dan Ustadzah kalian untuk menjadi kandidat jodoh putra dari Ibu dan Bapak yang ada dihadapan kalian saat ini jadi Umi ingin tahu pendapat kalian siapa diantara kalian yang bersedia dijodohkan?" jelas Umi membuka percakapan.
Aku tercengang mendengar kata Umi. Bagaimana bisa sepasang suami istri ini datang untuk mencari jodoh anaknya disini meskipun bisa dilihat bahwa mereka kenalan baik Abah dan Umi tapi ayolah jaman sekarang perjodohan?
Belum habis rasa kaget juga bingung ku, satu persatu santriwati yang dipanggil menjawab dan menolak tawaran Umi beserta alasannya masing-masing hingga tiba giliran ku.
"Shelly saja Mi yang jadi jodoh putra dari Bapak Ibu ini toh dia sudah yatim piatu dan tidak punya tempat untuk pulang", tukas Lyodra memotong ku untuk bicara.
Belum sempat berkata apapun Abah dan Umi melihat kearah ku dan seketika itu entah dari mana asal usul ide ini tapi Abah sudah menodongku dengan pertanyaan yang sama namun bedanya kali ini sudah diputuskan tanpa ada persetujuan dari ku.
"Benar juga, nak Shelly sebatang kara ya sekarang, mau ya jadi istri putranya Bapak dan Ibu ini?" kata Abah.
"Iya nak dari pada kamu sendiri dan bingung bagaimana untuk hidup kedepannya lebih baik jadi istri nak Aldrik, sudah kamu terima saja anaknya baik kok, lebih dewasa dari kamu, mapan dan lulusan S3, kamu percaya Umi kan? Nak Aldrik ini pantas menjadi suamimu", Umi menambahi.
Aku terbelalak. Aku ingin menolak tapi tak sanggup membantah permintaan Umi yang sudah seperti Bundaku tersayang ditambah lagi dia disini, orang yang kusayang bersama istri-istrinya dan dia nampak tidak peduli padaku apalagi mencegah ku. Aku bingung.
Kupandangi semua wajah orang-orang yang hadir di pendopo, semua mengharapkan aku menerima permintaan itu. Dengan terpaksa dengan senyum getir dan hati tersayat aku mengangguk dan menerima perjodohan itu. Dan semuanya serentak mengucap Alhamdulillah.
Share this novel