Untuk sekian lama hidup kami tenang dan damai. Hari-hari kami lalui dengan bahagia penuh cinta dan gairah. Bersama dengan anak-anak kami yang terus berkembang di dalam rahimku. Mereka lincah sekali hingga terkadang aku kelelahan dibuatnya tapi entah kenapa aku bahagia. Artinya anak-anakku hidup dan sehat di dalam perutku yang sudah seperti bola basket.
Mas Al memberikan cinta dan kasih yang luar biasa. Kesabaran dan perhatiannya membuat aku tergila-gila. Sudah empat bulan semenjak kami mengetahui kehadiran buah hati kami. Kami ingin sekali memeriksa keadaannya.
Melalui USG di RS Bina Sehat dengan dokter spesialis kandungan dr. Fahmi kami diberitahu jenis kelamin anak-anak kami ini.
"Selamat ya Mas Al dan Mbak Shelly anak-anaknya laki-laki semuanya. Sehat dan tidak ada kelainan atau kekurangan apapun," kata dokter.
"Alhamdulillah," jawabku dan Mas Al.
Kami berdua diberi nasehat oleh dokter untuk mulai melakukan senam hamil mengingat kandunganku sudah semakin tua usianya. Senam ini bisa membantu mempermudah nanti jalannya kelahiran. Dengan vitamin dan juga nutrisi ibu hamil yang masih terus diberikan kepadaku. Mas Al dan aku pulang dengan perasaan bahagia.
Hati bahagia berbunga-bunga. Rasanya seperti melangkah di atas udara. Pulang ke rumah secepatnya adalah tujuan kami berdua. Sesegera mungkin Mas Al mengambil caravan kami yang terparkir di tempat parkir rumah sakit dan aku menunggu di luar parkiran. Kulihat sekeliling karena perasaanku sedang gembira hingga kulihat sosok yang ku kenal di pojok rumah sakit. Tepat di belakang bangunan dimana ambulan terparkir disana. Sosok itu adalah Ustadzah Hana istri kedua Ustadz Zaki dengan seorang laki-laki, sepertinya petugas ambulan rumah sakit ini.
"Astaghfirullah," pekikku lirih.
Aku tidak menyangka dengan apa yang aku lihat. Mereka berciuman "bibir". Bukannya Ustadzah Hana belum bercerai dengan Ustadz ya? Apa beliau selingkuh? Sungguh tidak kusangka. Justru di saat suaminya di penjara beliau malah bermesraan dengan pria lain. Ironi sekali. Padahal dulu suaminya berselingkuh denganku dan bahkan dengan beberapa santriwati beliaulah yang selalu pasang badan untuk melindungi suaminya. Beliau tidak percaya kata-kata kami selingkuhannya Ustadz. Beliau percaya suaminya seratus persen kenapa sekarang malah seperti ini? Astaghfirullah.
Tiba-tiba saja kurasakan sesuatu di atas pundakku. Sesuatu yang mengusap pundakku perlahan. Aku bergidik dan langsung reflek menoleh ke arah sesuatu itu.
"Mas Al... Ya Allah bikin kaget saja," kataku sembari menghembuskan nafas karena lega.
"Kok kaget? Memang lagi lihat apa sih sepertinya serius sekali sayang sampai suaminya sendiri datang tidak sadar?" ledek Mas Al.
"Coba lihat di pojokan sana deh Mas! Itu Ustadzah Hana kan istrinya Ustadz Zaki?" kataku mencoba mengecek penglihatanku dengan cross check dengan Mas Al.
"Astaghfirullah," guman Mas Al.
"Iya kan? Kok bisa sih beliau seperti itu," kataku masih keheranan.
"Sudah tidak usah di bahas. Benar atau tidak itu bukan hak kita menghakimi beliau. Tidak usah kita mengurusi urusan rumah tangga orang lain. Cukup rumah tangga kita saja yang kita urus, ya sayang!" kata Mas Al mencoba tidak memperpanjang pembicaraan kami.
Aku mengangguk. Memang benar kata suamiku "itu" bukan hak kami untuk menjudge dan mencampuri urusan mereka. Aku sedikit iba dengan Ustadzah Hana entah kenapa aku merasa ini semua akibat dari tindakan yang dilakukan oleh suaminya. Pasti berat menjadi istri seorang Ustadz Zaki karena itu beliau berselingkuh.
Mas Al menggandeng tanganku dan mengajak aku masuk caravan yang ternyata sudah terparkir di sampingku dan aku tidak sadar karena memperhatikan Ustadzah Hana sedari tadi. Kami pulang ke rumah tanpa sepatah katapun. Kebahagiaan kami berubah menjadi syok hingga membuat kami tak mampu berkata-kata.
Sekitar lima belas menit caravan kami telah berhenti di sebuah rumah yaitu rumah mertuaku, ibu dan bapak suamiku. Mas Al membukakan pintu caravan untukku layaknya butler yang melayani seorang ratu. Aku tersenyum. Semua pikiran tentang Ustadzah Hana kutepis begitu saja. Saat ini yang terpenting rumah tangga kami, keluarga kami.
"Assalamualaikum," ucapku dan Mas Al.
"Waalaikum salam," jawab kedua mertuaku dari dalam rumah.
Kami berdua masuk dan mencium kedua tangan orang tua kami ini. Ibu mertuaku membalas dengan pelukan hangat. Ayah mertuaku membalas dengan usapan di kepala. Mereka begitu menyayangi diriku layaknya anak sendiri.
Di rumah juga ada adik-adik iparku. Sepertinya mereka semua memang telah menunggu kedatangan kami. Mereka menunggu kabar tentang anak-anak kami.
"Gimana, Nduk?" kata ibu.
Pertanyaan singkat tapi sarat akan makna. Aku dan Maas Al tersenyum. Mas Al memberi kode bahwa akulah yang seharusnya bercerita.
Ku ceritakan semua tentang kondisi kehamilanku. Anak kami sehat, tidak cacat dan tidak ada kelainan apapun. Perkembangan gerak juga pertumbuhannya pun bagus hingga terakhir kali aku menyampaikan jenis kelamin anak-anak kami.
"Alhamdulillah Bu anak-anak semuanya laki-laki," kataku antusias.
"Alhamdulillah," jawab semuanya.
Adik-adik iparku mulai meledek kakaknya. Mereka terlihat sangat senang mengusili Mas Al. Mas Al tertawa puas seakan menang dalam undian berhadiah milyaran rupiah. Semua diselimuti kegembiraan. Aku bersyukur bisa ada di tengah-tengah mereka. Aku yang seorang yatim piatu kini memiliki keluarga yang lengkap. Berkat Mas Al dan kedua orang tuanya.
Ingatanku kembali ke masa dimana aku berada di pesantren. Detik-detik aku mendengar kabar kedua orang tuaku meninggal dunia. Duniaku saat itu runtuh rasanya. Apalagi hal itu tidak jauh dari momen aku memergoki Ustadz Zaki berselingkuh dengan Lyodra di taman dalam pesantren.
Kekecewaan dan rasa sakit bertubi-tubi menghantam tubuhku ke tanah. Sakit sekali. Lebih sakit lagi kenyataan bahwa tidak ada seorang pun ada untukku saat itu. Tidak ada seorang pun yang mengulurkan tangannya untuk meraih diriku dari tanah berlumpur. Tak ada yang bersedia memelukku dengan hangat. Tidak juga Abah dan Umi apalagi Ustadz Zaki yang kucintai saat itu. Benar-benar aku dicampakkan dan aku dibuang dengan menjodohkan aku dengan Mas Al. Tak disangka-sangka justru tempat pembuanganku lah yang membuat aku bahagia. Yang mampu memberikan aku cinta dan segalanya.
Orang yang kunikahi dengan terpaksa justru menerima aku apa adanya. Memberikan hidup dan kebahagiaan yang sudah di hempaskan oleh orang yang kuinginkan. Cinta yang tidak pernah berharga bagi mereka yang ikhlas kucintai sepenuh hati. Tapi kini semua nestapa dan air mata ku telah tergantikan dengan kebahagiaan luar biasa. Terima kasih ya Allah atas semua nikmat dan karunia yang telah Kau berikan kepadaku. Jalanku memang tidak mudah dan terasa sangat menyakitkan tapi ridho-Mu lah yang menyelamatkan aku dari keterpurukan.
Air mataku menetes tanpa kusadari. Semua anggota keluargaku melihat kearah ku. Mereka merasa kasihan kepadaku.
"Kamu kenapa sayang kok nangis? Apa Mas ada salah ke kamu? Apa Mas menyakiti hati kamu?" kata Mas Al merasa bersalah.
"Maaf Mbak apa ini gara-gara kami?" kata adik iparku menimpali. Mereka juga merasa bersalah.
Aku mengusap air mataku dan menggeleng.
"Aku bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga kalian. Ku pikir aku tidak akan pernah bisa bahagia lagi setelah kepergian orang tuaku. Terima kasih telah menerima ku terutama Mas Al yang mau menjadi suamiku dan menyayangi diriku. Terima kasih Mas," kataku sambil sesekali mengusap air mataku yang masih menetes juga.
Mas Al tersenyum dan memeluk tubuhku diiringi ibu juga adik-adik iparku, ayah mertuaku mengusap kepalaku dari belakang. Mereka mengelilingi diriku dengan penuh cinta.
Share this novel