"Mas berhenti," teriakku pada Mas Al.
Mas Al menoleh dan tersenyum.
"Mas harus pergi, Sayang. Mas harus menepati janji Mas padamu. Mas senang bisa melihat wajahmu sebelum pergi. Tolong jangan hentikan Mas!" sahut Mas Al lemah.
"Tidak, Mas tidak boleh mati. Aku minta maaf, semua itu salahku bukan salah Mas. Tolong jangan bunuh diri lagi!" kataku memohon.
"Kamu tidak salah, Sayang. Itu salah Mas karena lupa memberi tahu mu tentang masa lalu Mas yang menjijikkan. Kamu berhak marah pada Mas. Mas minta maaf, jadi tolong jangan hentikan Mas!" kata suamiku.
"Tidak. Mas tidak boleh mati! Kalau Mas bunuh diri aku akan ikut Mas bersama dengan anak-anak juga," teriakku mengancam.
"Jangan, Sayang. Kamu sudah janji untuk hidup bersama anak-anak. Tolong jangan ikut bunuh diri," kata Mas Al.
Terjadi perdebatan panjang antara aku dan suamiku. Semoga segera ada orang yang menolong aku menyelamatkan Mas Al.
Rasa sakit di perutku terasa semakin parah. Aku berteriak kesakitan. Mas Al yang dari tadi menjaga jarak denganku segera berlari ke arahku dan memelukku. Dilihatnya aku mengeluarkan cairan dari arah kemaluanku segera Mas Al mengangkat ku dalam gendongannya.
Dengan susah payah karena tubuhnya juga belum sembuh benar, Mas Al membawaku turun untuk mendapatkan penanganan secepatnya. Sepertinya sekarang aku akan melahirkan.
Benar saja firasatku, rasa sakit di perutku semakin luar biasa. Ketika kami sampai di lantai bawah sungguh beruntung ada suster yang sedang lewat. Mas Al segera minta tolong pada suster itu untuk membantu diriku.
"Suster tolong! Tolong istri saya mau melahirkan," kata Mas Al.
"Tunggu sebentar, Pak! Saya ambilkan kursi roda," kata suster sigap.
Aku segera di bawa ke ruang persalinan dan suamiku membuntuti dari belakang. Dalam sakit aku bisa melihat kepanikan di wajah Mas Al yang pucat. Dia belum sembuh benar tapi sudah menggendongku dari roof top ke lantai bawah. Apa yang dia rasakan saat ini ya? Pasti sangat berat baginya.
Sesaat aku masuk ke dalam kamar bersalin. Dokter Fahmi yang menangani kehamilanku segera membantu.
"Bu Shelly tolong dengarkan saya saat ini. Tolong ibu pegang tangan ranjang ini dan tarik nafas yang panjang dan dorong sekuat-kuatnya," kata Dokter Fahmi.
Aku memenuhi semua anjuran Dokter Fahmi. Sekitar dua puluh menit lebih aku mengambil nafas dan mendorong anak-anakku sekuat tenaga dan berkali-kali hingga ku dengar suara tangis bayiku.
"Selamat Bu Shelly anak pertama anda sudah keluar tinggal tiga bayi lagi. Ibu Shelly atur nafas dan bersiap-siap. Saat kontraksi kedua Ibu ambil nafas lagi dan dorong lagi ya Bu!" kata Dokter.
Benar saja kata Dokter, sepuluh menit kemudian kurasakan rasa sakit yang tadi menyerangku. Kembali bertaruh nyawa ku tarik nafas dan ku dorong hingga keluar anak kedua ku. Pertarungan yang sangat melelahkan ini belum juga berakhir. Aku mengulangi rasa sakit yang sama dan bertarung lagi dan lagi hingga anak terakhir ku keluar dari rahim.
Seluruh ruangan ramai dengan suara tangis putra-putraku tercinta. Aku yang sudah tidak punya tenaga lagi merasa lega dan bersyukur mendengar tangis mereka. Suster segera membawa mereka pergi ke ruang bayi. Disana bayiku dimandikan dan di urus sedemikian rupa sebagaimana mestinya. Setelah itu Dokter Fahmi mulai membantuku menutup luka bekas lahiranku. Ada setidaknya sebelas jahitan kata Dokter. Aku meringis menahan sakit tapi tak kuasa melawan. Tenagaku habis terkuras.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah Dokter menjahit lukaku. Yang ku tahu aku telah melewatkan berjam-jam dengan tertidur. Ketika aku bangun bayiku telah di sampingku, bersih dan wangi di dalam box bayi. Di depan box duduk suamiku memandangi buah hati kami.
Wajah Mas Al masih sama pucat dengan yang tadi pagi. Sungguh dia perlu istirahat tapi justru dia harus menggendongku. Maafkan aku suamiku, semua ini salahku. Itu yang terpikir di benakku.
Mas Al menoleh ke arahku sepertinya dia tahu aku melihatnya dari tadi. Dia berdiri dan menghampiriku. Tiba-tiba Mas Al memelukku erat dan berbisik kepadaku.
"Terima kasih Sayang. Kamu sudah menepati janjimu untuk membiarkan anak-anak hidup. Bahkan kamu memberikan kesempatan padaku untuk bertemu anak-anak dan mengadzani mereka. Terima kasih banyak. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Aku akan menepati janjiku padamu seperti kamu menepati janjimu padaku," bisik Mas Al.
Tanpa berpikir panjang aku memeluk Mas Al. Aku tidak akan membiarkan dia bunuh diri lagi. Aku membutuhkan dirinya begitu juga anak kami.
"Tidak Mas, jangan bunuh diri lagi. Aku butuh Mas, anak-anak juga. Aku mohon jangan bunuh diri lagi. Maafkan atas sikap ku yang jahat ke Mas. Tolong tetaplah hidup bersamaku dan anak kita," kataku sambil menangis.
"Aku takut Sayang. Aku takut jika tidak ku tepati janjiku, nanti suatu saat akan membuat kamu semakin terluka bahkan bisa jadi anak-anak juga. Biarlah aku yang menanggung semua. Aku ingin kamu dan anak kita bahagia bukan menderita," kata Mas Al.
Aku menangis menjadi-jadi. Berulang kali aku meminta maaf pada Mas Al. Aku tidak ingin kehilangannya. Mas Al masih teguh pada janjinya. Akhirnya ku ancam juga dia.
"Kalau Mas tidak mau memaafkan aku maka aku akan ikut Mas mati. Biarlah anak-anak bersama orang tua Mas," ancamku.
Mas Al diam beberapa saat. Kurasa dia sedang mempertimbangkan ucapanku.
"Apa tidak apa-apa jika aku tidak menepati janji? Apa benar-benar boleh?" tanyanya.
Aku mengangguk. Ku katakan bahwa aku ingin hidup bahagia bersama dirinya dan anak kami. Hidup sebagai keluarga. Aku tidak ingin menyesal ditinggal mati karena rasa marah ku, rasa cemburuku juga traumaku. Mas Al bukanlah Ustadz Zaki. Dia benar-benar sudah bertaubat atas kesalahannya dulu jadi untuk apa aku permasalahkan lagi toh dia juga menerima masa laluku dengan ikhlas.
Mas Al mengangguk menyetujui permintaan diriku. Dengan takut dia memelukku dan berterima kasih. Dia berjanji apapun yang terjadi di masa lalunya itu hanya akan menjadi masa lalu tidak akan dia bawa ke dalam kehidupan kami.
Dia berjanji akan menceritakan semua masa lalunya. Jika ada sesuatu yang dia lupa mengutarakan maka itu murni karena dia memang lupa bukan berniat menutupi dariku dan saat dia sudah ingat dia akan langsung memberi tahukan padaku. Salah satu alasan yang membuat amarahku tidak juga mereda adalah karena aku tahu dari orang lain dan dia baru bercerita setelah ku tanyakan. Menyebalkan.
Sekarang aku sadar bahwa suamiku hanyalah manusia biasa yang punya lupa dan kesalahan di dalam hidupnya. Setidaknya dia berusaha untuk tidak mengulangi perbuatannya itu dan berusaha menjadi orang yang lebih baik dari yang dulu.
Share this novel