Aisyah

Drama Series 6599

Hari demi hari perutku yang tadinya rata kini menggembung layaknya balon yang diisi udara. Makin besar dan terus membesar seiring berjalannya waktu kehamilan ku yang terus mendekati hari kelahiran anak-anakku dan Mas Al.

Sudah tujuh bulan lamanya buah hatiku ada di dalam rahimku ini. Mereka terus tumbuh dengan sehat. Kini tiba saatnya untuk memeriksa mereka ke Dokter Fahmi, dokter kepercayaan keluarga Mas Al suamiku. Aku bersiap-siap seperti biasa. Tampil se-bagus mungkin supaya tidak mempermalukan suamiku.

Seperti yang sudah-sudah, suamiku selalu mencium keningku saat berhadapan langsung dengan ku. Kuraih tangannya dan ku kecup seperti biasa. Rutinitas yang mendarah daging bagi kami. Cinta Mas Al membuatku lupa bahwa aku pernah merasa terpaksa menikah dengannya. Kini cinta itu tumbuh di hatiku seiring dengan buah hatiku yang berkembang di dalam perut ini. Mas Al telah menghapus luka dan kecewaku pada yang dulu pernah ku cinta. Kesabaran dan keikhlasan juga cintanya perlahan membuatku menerima suamiku.

Kami berkendara menuju rumah sakit dan bercengkrama sepanjang jalan. Ada saja kelakuan suamiku yang membuat ku geli. Tak ku sangka semakin kesini semakin aku tahu kepribadian suamiku yang lainnya. Pribadi yang penuh dengan keusilan, kemanjaannya dan sayang pada anak-anak. Dulu saat dia dan mertuaku bilang bahwa yang menjaga dan merawat adik-adik Mas Al adalah Mas Al sendiri aku sempat ragu dan tidak percaya. Sekarang kurasakan sendiri bahwa dia begitu mencintai dan mempedulikan anak kami sekalipun mereka masih di dalam rahimku.

Mas Al merawat aku dan anak-anak kami dengan baik. Ketika aku mulai bahkan muntah juga kecapean, dengan sigap Mas Al merawat kami. Tak pernah sekalipun ku dengar dia mengeluh merawat kami. Malahan dia selalu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an untukku dan anak-anak. Mengelus perutku yang buncit dan mengajak buah hati kami berbicara. Sungguh manis dan menyentuh hatiku.

Di rumah sakit seperti bulan-bulan sebelumnya, Dokter Fahmi mengecek perutku dan memperlihatkan perkembangan anak kami melalui layar USG dimana kami bisa melihat bahwa anak kami tidak kurang suatu apapun. Tumbuh dengan sehat dan lincah, meskipun terkadang aku merasa sakit saat mereka beraktivitas di dalam rahimku. Maklum ada empat bayi di dalamnya yang senang sekali bermain menendang-nendang. Bisa kubayangkan bagaimana jika mereka sudah lahir nanti.

Rutinitas pemeriksaan kandungan sudah kujalani selama tujuh bulan lamanya kurang dua bulan dan sepuluh hari kira-kira aku bisa bertemu dan melihat buah hatiku dan Mas Al hadir di dunia. Kami berdua sungguh benar-benar tidak sabar menantikan kelahiran anak-anak sekalipun ada perasaan was-was di hati suamiku. Bisa kulihat jelas di wajahnya dia selalu merasa takut dan iba kepadaku. Mungkin karena aku akan bertaruh nyawa untuk melahirkan nanti. Mas Al sangat khawatir soal itu.

Setengah jam lamanya kami berbincang dengan Dokter Fahmi di ruangannya membahas persiapan kelahiran anak-anakku. Dokter menyarankan untuk Mas Al dan aku untuk tes darah. Berjaga-jaga jika aku atau anak-anak membutuhkan donor darah jika terjadi sesuatu tapi semoga saja tidak. Semoga semua lancar dan anak-anak selamat beserta diriku sehingga kami bisa berkumpul sebagai satu keluarga kecil yang utuh.

Kami berjalan santai ke laboratorium untuk pemeriksaan darah. Pertama kali Mas Al yang melakukan tes kemudian aku. Tidak terlalu lama hanya bekisar dua hingga lima menit untuk pengambilan darah yang lama adalah menunggu hasilnya.

Setelah Mas Al keluar dari lab aku segera masuk ke dalam. Prosedurnya mudah rupanya. Aku diminta untuk menyerahkan urin dan di ambil sampel darahnya dan diminta untuk menunggu diluar. Sesaat di depan pintu ruang lab aku melihat Mas Al berbicara dengan seorang laki-laki yang kemungkinan adalah kenalannya. Kudatangi hati-hati karena takut menganggu mereka berdua.

"Sedang apa kamu disini Al?" tanya pria asing itu.

"Tes darah, Mas, persiapan lahiran anak-anak ku," kata Mas Al.

"Wah sudah mau jadi Ayah rupanya. Kapan menikah? Ternyata berjodoh juga kamu dengan Aisyah," kata pria itu lagi.

"Bukan, Mas, bukan dengan Aisyah tapi dengan orang lain," kata suamiku menimpali.

Aku tertegun mendengar percakapan mereka. Siapa Aisyah? Apa hubungannya Mas Al dengan dia? Kenapa Mas Al tidak pernah cerita padaku? Apa selama ini cintanya untukku itu palsu? Apa aku cuma pelampiasan ataukah aku hanya pengganti baginya? Ya Allah ada apa ini? Cobaan seperti apa kali ini yang harus hamba hadapi?

Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam hati dan pikiran ku kini. Aku marah, kecewa, jijik semua bercampur jadi satu hingga aku tak menyadari kehadiran Mas Al disampingku. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin tahu siapa Aisyah ini.

"Sayang sudah selesai tes darahnya? Diminta ngapain saja tadi? Kalau Mas tadi diminta urin dan darah terus disuruh nunggu disini," kata Mas Al.

"Sayang kok diam saja? Ada apa?" tanya Mas Al lagi karena tidak mendapat respon dariku.

"Mas ada salah ya ke kamu? Apa ada kata-kata atau kelakuan Mas yang menyakiti hati kamu sayang?" tanya Mas Al lagi, kali ini dia menyelidiki.

Aku tetap diam tak menjawab. Melihatku tak menghiraukan pertanyaannya Mas Al memilih diam. Sepertinya dia tahu aku sedang marah dan kecewa padanya. Dia diam sambil terus menatap kearah ku. Tak ku hiraukan jua. Hatiku terlanjur sakit. Aku kalut.

Mas Al ikut terdiam. Dia tahu aku tak ingin bicara dengannya saat ini jadi dia diam. Hingga suster memanggil nama kami berdua untuk memberikan hasil tes kami aku tetap diam. Mas Al mengambil inisiatif untuk datang menghampiri suster dan mengambil tes miliknya juga milikku.

Sekembalinya dari ruang lab Mas Al duduk disebelah ku dan mengajak aku untuk pulang. Aku mengangguk tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku. Kami beranjak pergi ke tempat parkir dimana mobil kami berada.

Mas Al menyalakan mesin mobil dan kami pun meluncur ke rumah. Di sepanjang perjalanan kami tak sepatah katapun keluar dari mulutku dan Mas Al. Kami diam membisu layaknya sedang perang dingin. Berbeda dengan pertama kali saat kami berangkat menuju rumah sakit tadi atau saat kami sedang bercengkrama dengan dokter. Semua berbeda. Kini dalam hatiku ada banyak hal yang berkecamuk. Aku marah, sedih, kecewa, sakit, jijik dan juga hilang kepercayaan pada Mas Al, suamiku sendiri.

Akankah masalah ini berakhir ya Allah ataukah pernikahan kami yang akan berakhir sampai disini?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience