KEPUTUSAN MUTLAK

Romance Series 12364

Tiga bulan telah berlalu, Akan tetapi sampai sekarang Alex tak kunjung sadar dari kritisnya. Bahkan tanpa disadari oleh Alex , air mata Catherine sudah hampir mengering karena menangisi lelaki itu yang sampai detik ini tak mempunyai satupun niat untuk segera sadar dari tidur panjang tersebut.

"Kamu harus istirahat, Nak!" ucap Laura yang merasa kasihan pada Catherine yang sejak beberapa hari yang lalu tak pernah sekalipun pergi dari sisi Alex.

"Gak apa-apa kok, Tante. Aku nemanin Alex disini aja, nanti kalau dia sadar terus nyariin aku gimana? kan kasihan nanti Alexnya," tukas Catherine seraya mengelus kepala Alex, lalu ia memberikan kecupan lembut dikening pria yang sangat dicintainya itu.

"Kalau memang itu maunya kamu, yaudahlah karena tante juga ga bisa maksa kamu.Tapi kalau memang nantinya kamu mau pergi dari Alex untuk selama-lamanya, Yaudah silahkan saja karena Tante rasa juga hubungan kalian cuman dilandasi sama bisnis keluarga juga." Laura tersenyum sambil merapikan pakaiannya.

"Oh iya nak, Tante pergi dulu ya mau arisan. Kamu gak apa-apa kan tante tinggal disini? Nanti kalau memang ada terjadi sesuatu sama Alex, kamu langsung hubungi Tante ya." Laura tampak tenang seolah-olah ia tak memiliki perasaan panik ataupun sedih dalam hatinya, hal ini jelas sangat bertolakbelakang dengan Catherine yang rasanya hampir mau mati setiap kali melihat Alex masih terbaring koma diatas ranjang.

Sebenarnya Catherine sudah mengetahui jelas apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga Alexander, ia bisa merasakan bagaimana rasa kesepian yang selama ini dirasakan Alex sampai membuatnya kadang merasa kasihan pada lelaki itu. Bahkan tanpa disadarinya, rasa kasihan itu perlahan berubah menjadi perasaan cinta yang membuatnya sangat takut kehilangan Alex.

"Cath? kok ngelamun sih, kamu dengerin kan yang tante bilang?" tanya Laura yang membuyarkan lamunan Catherine.

"Iya, Aku paham kok." jawab Catherine sambil merubah posisi duduknya seraya menggenggam erat jemari Alex.

Sementara itu, Laura pergi meninggalkan ruangan tersebut dengan kaki yang ringan, padahal jelas-jelas saat ini siapapun pasti bakal melihat kalau anaknya sedang berjuang dalam kritisnya dan pastilah ibu manapun takkan sanggup bernafas bila melihat keadaan anaknya yang sedang kritis seperti ini.

"Kamu harus segera sadar, Lex." Catherine menegang erat jemari Alex seraya tak berhenti memohon agar kekasihnya itu bisa segera sadar. Kini, pikirannya kembali kalut dan air matanya mulai membasuhi kedua pipinya sekali lagi.

Entah kenapa pikiran Catherine benar-benar kacau saat ini, selain karena tak ingin kehilangan Alex dari hidupnya bahkan Catherine juga merasa bimbang dengan notifikasi pesan dari Dennis yang tak berhenti menanyakan jawaban atas lamaran yang waktu itu diajukan oleh Dennis.

Catherine benar-benar bingung, ia sendiri juga mulai ragu siapa sebenarnya orang yang selama ini tulus dicintainya dan siapa seharusnya lelaki yang pantas menjadi pendamping hidupnya. Dan keraguan ini jugalah yang membuat Catherine sulit tidur dan berkali-kali kehilangan fokus.

"Kau harus bangun, Alexander. Kau harus membuatku berhenti meragukanmu lagi, kalau memang kau yang terbaik untukku maka bangunlah dan buktikan kalau kau mencintaiku!" lirih Catherine yang masih terus menangis.

Dan air matanya semakin deras tatkala saat ia melihat layar handphonenya menampilkan panggilan telepon dari Dennis, ia seperti orang yang mulai kehilangan arah dengan diselimuti berjuta tanda tanya.

"Bangunlah, Alexander!" lirihnya lagi, lalu ia bangkit dari kursinya dan berlari ke toilet yang ada didalam kamar sambil menyalakan kran wastafel.

Catherine menangis sesenggukan disana dan membiarkan air di wastafel menyumpahi lantai sampai membasahi kakinya.

"Kenapa kau sama sekali tak berhenti membuatku menunggu? kenapa kau selalu mempermainkanku, Alex?" tanyanya sambil melirik kepada sosok dirinya melalui pantulan kaca.

"Kau harusnya bisa memutuskan sendiri siapa yang terbaik untukmu, Catherine! Kau harusnya tidak lemah seperti ini," tukas Catherine sambil memejamkan matanya sejenak.

Dengan perlahan-lahan, ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya ia memegang gagang pintu toilet dan mengambil nafas panjang.

"Baiklah, aku akan keluar kamar dan menerima lamaran Dennis. Aku harusnya berhenti menyiksa diriku sendiri, bahkan Alex saja masih bersikap egois dengan terus-menerus tertidur dalam komanya. Lagian Kak Axel pasti gak akan terima kalau melihatku menderita seperti ini, aku juga butuh bahagia!" gumam Catherine yang sudah tak mampu lagi berpikir keras, ia seolah kehilangan hati nalurinya sendiri dan membiarkan pikiran dan egonya mengendalikan dirinya.

Dan benar saja, begitu ia keluar toilet. Catherine langsung mengambil handphonenya dan menjawab panggilan Dennis saat itu walau sebenarnya hatinya terasa sakit melihat Alex yang masih belum sadarkan diri dan membiarkannya menunggu sampai detik ini setelah bertahun-tahun menyiksanya dengan luka dan hubungan yang Toxic.

Cukup lama Catherine berbincang-bincang dengan Dennis melalui telepon, entah apa yang saat itu dibahas oleh keduanya. Namun yang jelas wajah Catherine tampak lega seusai mengakhiri panggilan telepon tersebut. Dan buru-buru ia mendekati ranjang Alex kembali dan mengecup kening kekasihnya itu, kali ini kecupan itu cukup lama seolah-olah ini adalah kali terakhir ia memberikan kehangatan pada sang kekasih.

"Aku sudah menerima lamarannya. Kalau memang kamu cinta sama aku, aku harap sebelum pernikahan itu terjadi maka kamu harus sadar dari tidur kamu. Aku benar-benar gak berniat mempermainkan kalian, tapi aku juga seorang wanita yang pantas memilih siapa yang pantas untuk jadi pendampingku." Catherine kembali duduk sambil berbaring di atas lengan Alexander, ia mula memejamkan matanya dan terhanyut dalam lamunannya kembali.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience