Suasana mall di akhir pekan itu terasa ramai karena bertepatan dengan liburan sekolah. Rania berjalan santai di sebelah Reyhan sambil menyusuri beberapa toko di dalam mall tersebut. Beberapa kali Reyhan menawarkan Rania untuk berbelanja, tetapi gadis itu menolaknya.
"Mau beli sepatu gak, yank?" tanya Reyhan sekali lagi. Mereka sedang berjalan di depan outlet Jimmy Choo. Tapi Rania menggelengkan kepalanya.
"Enggak lah, Rey.. Aku cuma pengen keliling-keliling aja kok.." tolak Rania dengan halus.
"Bukannya kamu suka koleksi sepatu?"
Rania mengerutkan dahinya. "Siapa yang bilang?"
"Ada lah.." ujar Reyhan berahasia.
Rania mencibirkan bibirnya. "Halah, palingan dikasih tau Bang Arya.."
"Siapa bilang?"
"Kalo bukan Bang Arya, pasti Dimas lah tuh.."
Reyhan mengangkat bahunya berpura-pura tak tau.
"Gak mungkin lah ibu yang kasih tau.." ujar Rania mengerutkan dahinya.
"Ayok masuk dulu.." Reyhan menarik tangan Rania masuk ke dalam toko sepatu terkenal itu.
"Gak usah, Rey.. Aku lagi gak pengen beli sepatu.."
"Trus maunya beli apa? Baju?"
Rania menggeleng.
"Tas?"
"Enggak mau apa-apa.. Aku cuman mau liat-liat aja kok.."
"Ya udah, kalo gitu ayuk kita liat-liat.. Sepatunya cantik-cantik banget nih, yank.."
Pelayan toko yang tadi menyapa mereka, menanti dengan sabar dengan senyum tipis tersungging di bibir.
Rania menahan wajahnya agar tidak cemberut ketika Reyhan menuntunnya menuju rak yang memajang berbagai macam sepatu model terbaru yang terlihat cantik dan menarik. Sesekali ditawarkannya kepada Rania untuk mencoba sepatu yang menurutnya cocok. Walaupun enggan dicobanya juga beberapa sepatu yang di sodorkan lelaki itu.
Tetapi kemudian matanya memandang sepasang sepatu model klasik pump warna champagne yang sungguh menarik. Mimik wajahnya langsung berubah antusias ketika melihat sepatu itu, pasti cocok dipakai untuk annual dinner perusahaannya tak lama lagi. Tetapi kemudian Rania harus kecewa karena sepatu yang tersedia tidak ada yang sesuai dengan ukuran kakinya.
"Gak di stok ulang, Mbak?" tanya Rania penuh harap kepada pelayan toko.
"Udah kita pesan, Mbak.. Tapi barangnya belom datang.."
"Kapan kira-kira datang lagi ya?"
"Kemungkinan dalam minggu depan.. Tapi kita juga belom terima list barang yang akan datang nanti."
"Ohh, begitu ya.. Saya tertarik banget sama sepatu ini.." ujar Rania. Wajahnya kelihatan kecewa.
"Nanti kami hubungin kalo sepatunya sampe, gimana Mbak? Mba nanti bisa tinggalkan nomor telepon di kaunter sebelah kasir.."
Rania mengangguk setuju mendengar ide itu. "Boleh, Mbak.." jawabnya dengan berbinar.
"Kalo gitu biar saya bantu.. Mari kita ke kaunter di sebelah sana." ajak pelayan tersebut dengan ramah.
Reyhan hanya memperhatikan Rania dengan ekor matanya ketika gadis itu berjalan mengikuti pelayan tersebut. Kemudian diayunkannya pula kakinya mengikuti mereka. Dibiarkannya Rania menyelesaikan urusan pengisian data untuk dicatat di sistem toko itu.
"Makan yuk?" ajak Reyhan ketika mereka baru saja keluar dari outlet tadi.
Rania menganggukkan kepalanya setuju. "Ayuk.."
Reyhan memilih restoran Barat di dalam mall itu untuk makan siang mereka. Lelaki itu sudah melakukan reservasi sebelumnya, sehingga mereka mendapatkan tempat yang strategis di bagian dalam.
"Enak gak makanannya?" tanya Reyhan.
"Enak.." Rania menganggukkan kepalanya. Mixed Grilled Seafood yang dipesannya memang terasa lezat sekali.
"Coba aku cicip dikit.."
Rania berhenti mengunyah makanannya. Tapi kemudian dianggukkannya kepalanya.
"Ambil lah.."
"Maunya disuapin.."
"Jangan mengada-ada, oke? Kalo mau ambil sendiri.." Rania mendelikkan matanya.
"Bisa gak sih, gak usah judes begitu?" sindir Reyhan. "Memang apa masalahnya kalo aku minta suapin kamu?"
Rania sedikit terkejut, tidak menyangka lelaki itu akan marah. "Kamu kan bisa ambil sendiri, Rey..." jawabnya.
"Aku memang bisa ambil sendiri, tapi maunya kamu yang suapin," ujar Reyhan ketus. "Kamu takut kenapa?"
Rania menggeleng.
"Terus? Malu?"
Rania menggigit bibirnya sambil menggeleng.
"Ngomong lah, jangan cuman menggeleng aja. Kamu marah sama aku?"
"Bukan.."
"Jelasin dulu, kalo enggak kita gak akan kemana-mana.." tegas suara Reyhan.
"Aku takut.." ucap Rania singkat. Dia masih ragu-ragu untuk berbicara.
"Takut kenapa, Nia? Jelasin ke aku, biar aku tau."
"Aku takut terhanyut rayuan kamu.."
Reyhan menatap wajah Rania dengan tajam. "Jadi aku gak boleh melakukan itu lagi?"
"Bukan gitu juga.."
"Maksudnya gimana ini? Kamu jangan berbelit-belit, Nia..!"
"Reyhan, jangan marah-marah dong…" ujar Rania gugup.
Tapi Reyhan tetap bergeming, dia menunggu gadis itu menjelaskan lebih lanjut.
"Aku tuh takut misalnya nanti jadi terbiasa dirayu gitu.."
Rania menanti tanggapan dari Reyhan, tetapi lelaki itu masih bergeming. Dia tidak mengalihkan matanya dari menatap Rania
"Rey, coba pahami aku, please.."
"Aku udah memahami kamu terlalu lama, Nia.. Sekarang jelaskan maksud kamu.. Kamu maunya gimana?"
"Aku takut terlalu mudah memberikan hatiku ini, Rey.. Padahal saat ini aku masih mencoba untuk membukanya kembali.."
"Kenapa harus ditahan untuk membukanya? Apa kamu mau main-main sama aku??"
Rania tersentak mendengar suara Reyhan yang mulai tegang menahan marah.
"Bukan Rey, bukan gitu.. Aku takut jadi suka sama kamu.."
"Apakah aku memang sejahat itu?" ucapnya tegang.
Rania mengeluh sambil menggeleng. "Aku malu jika terlihat terlalu mudah.. Terlalu cepat mengubah hati.."
Reyhan menghela nafasnya dengan keras. "Maksudnya setelah sekian lama ini membenci aku, terus kamu takut jika tiba-tiba aja semudah itu jadi suka sama aku? Malu bakal diketawain orang? Takut dibilang gampangan. Begitu kah?!"
Rania menatap Reyhan takut-takut. Salahnya juga yang terlalu mengikuti perasaan.
"Aku minta maaf.." ujarnya gelagapan.
"Nia, dengar.. Aku tau masalah hati ini memang rumit.. Jujur aku gak akan memaksa kamu untuk menyukai sesuatu yang kamu gak suka. Tapi untuk satu hal ini, yang menyangkut masa depan aku dan juga kamu, aku harap kamu mau bekerja sama."
"Kamu meminta waktu, aku berikan. Kamu bahkan memberi syarat gak akan mau dipaksa jika seandainya kamu menolak, aku juga setuju," Reyhan menambahkan dengan tajam. "Kalau malu yang kamu jadikan alasan, mending kamu tolak mentah-mentah permintaanku dulu, Rania Andriana..!"
Wajah Reyhan merah menahan marah. Pelipisnya berdenyut seolah ingin memuntahkan lagi ketidakpuasan yang ada di dalam hatinya.
Rania yang masih terpana meremas serbet yang ada di pangkuannya. Dia takut menatap Reyhan yang masih memamerkan wajah marahnya. Tatapan dingin yang diberikan lelaki itu tiba-tiba saja membuatnya merasa sedih.
"Rey, aku minta maaf.." sekali lagi Rania meminta maaf. "Tapi bisa kan kita pelan-pelan dulu?"
Dia mungkin memang pengecut karena bertingkah bodoh seperti ini. Demi gengsi dirinya menolak pendekatan yang diberikan Reyhan. Hanya karena tidak suka dicap gampangan! Rania mengeluh di dalam hati.
Reyhan tidak memberikan reaksi. Dia menunjuk piring Rania. "Makan lah.. Nanti kita bicara lagi."
"Rey, aku gak bermaksud main-main," Rania kembali bersuara. Hatinya berdebar cemas karena Reyhan sepertinya tidak semangat lagi di depannya. "Tapi aku janji akan memberikan peluang untuk kita."
Reyhan mengangkat kepalanya mendengar pernyataan Rania. Matanya tajam meneliti wajah gadis di hadapannya. Rania menanti dengan rasa tak karuan, serbet di pangkuan diremas semakin kuat.
"Aku tau ini situasi yang sulit buat kamu, Nia. Tapi aku cuma meminta satu hal dari kamu, cobalah untuk lebih terbuka melihat aku dan diriku."
Pandangan Reyhan lurus menatapnya tanpa berkedip. Rania menelan ludahnya dengan pelan lalu menganggukkan kepalanya. Ditatapnya lelaki itu berharap agar Reyhan akan mempercayainya. Reyhan menatapnya cukup lama sebelum akhirnya kembali menyuap makanannya.
*******
Reyhan mengajak Rania menonton film di lantai atas. Penolakan Rania dibantah oleh lelaki itu. Teater premier adalah pilihan Reyhan kali ini, alasannya agar tidak terganggu oleh penonton di sebelah mereka. Rania sudah khawatir tapi tidak bisa menolak.
Selesai memesan tiket mereka menuju mushola untuk menunaikan sholat Ashar. Rania tersenyum dalam hati, ternyata Reyhan tidak melupakan kewajiban mereka.
Lelaki itu sudah selesai duluan dan sedang duduk menunggu Rania di bangku yang disediakan di depan mushola. Rania yang bersiap keluar dari mushola memperhatikan Reyhan yang sedang mengobrol dengan lelaki di sebelahnya. Diperhatikannya ketika Reyhan berinteraksi dengan anak kecil yang ada dalam gendongan lelaki di sebelahnya. Anak kecil itu tertawa karena perutnya digelitik Reyhan.
Tiba-tiba hati Rania berdesir melihat pemandangan di depannya itu. Entah mengapa aksi Reyhan yang bermain dengan anak kecil itu menarik minatnya. Sepertinya Reyhan memang menyukai anak-anak. Sebelumnya dia sudah melihat bagaimana lelaki itu sangat perhatian dengan keponakannya.
Jantung Rania berdegup dengan kencang. Apakah ini jawaban atas doa yang dipanjatkannya kepada Sang Pencipta barusan tadi? Bahwa dia meminta agar diberi keikhlasan dalam mengenal Reyhan.
Selama ini dia memang egois, karena memaksa dirinya untuk tidak gampang menerima kehadiran orang lain. Walaupun dia menerima semua saran dan nasehat yang datang, tapi hatinya masih tetap keras belum mau dibuka. Mungkin kesedihan lama lah yang masih menahan dirinya.
Tapi kali ini berbeda, hati dan perasaannya terusik melihat lelaki itu. Senyumnya terlihat menawan. Gesturnya terlihat ramah tapi menggoda. Rania mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Dia seolah-olah baru pertama kali ini melihat Reyhan.
Reyhan mengalihkan matanya ketika melihat langkah Rania yang datang mendekatinya. Senyum terkembang di bibirnya.
"Udah?"
Rania mengangguk. Tangannya mencolek pipi anak kecil yang sekarang duduk di pangkuan Reyhan. Lelaki itu menyerahkan si anak lalu mereka pun berpamitan.
Ketika mereka berjalan meninggalkan area itu, Rania tiba-tiba menyelipkan tangannya di lengan Reyhan. Untuk pertama kalinya dia yang memulai melakukan pendekatan. Tapi kemudian Reyhan melepaskan tangannya lalu mengaitkan jari mereka. Rania tersenyum malu-malu ketika mereka berjalan sambil bergandengan tangan.
Mereka sampai di dalam bioskop tepat sebelum film dimulai. Pegawai bioskop datang menghampiri tepat setelah mereka duduk di sofa. Pegawai tersebut menawarkan camilan untuk mereka menonton nanti. Mereka memilih popcorn karamel dan churos coklat. Rania mengedarkan pandangannya sekilas untuk melihat bahwa teater itu cuma terisi setengah saja.
"Wah, ga seru nih yank, kalo kamu ketiduran gak bisa nyander di bahu aku.." celetuk Reyhan. Sofa gandeng mereka memang dipisahkan dengan semacam meja kecil untuk meletakkan makanan.
Rania tertawa mendengarnya. "Bagus lah, biar kamu gak bisa ngapa-ngapain.."
"Gak bisa ngapa-ngapain gimana?"
Rania berpikir sebelum menjawab. "Kalo ada jarak begini kamu kan gak bisa misalnya peluk-peluk aku, atau mungkin mencium aku.."
Reyhan menatap gadis itu cukup lama. "Emang ada yang begitu?" ujarnya berbisik pura-pura tak tau.
"Banyak kok yang begitu.." kata Rania sambil mengangguk.
"Oh ya?"
"Iya.." jawabnya.
"Kalo begitu kita juga bisa dong, yank?" ujar Reyhan setelah beberapa saat.
Rania mengulurkan tangannya, dicubitnya lengan lelaki itu sampai Reyhan jadi tersentak mundur. Wajahnya meringis kesakitan sambil mengelus lengannya.
"Ya ampun, Nia..! Sakit banget.." ujarnya sewot.
Rania menggigit bibirnya melihat lelaki di sebelahnya itu. Mau saja dia tertawa melihat wajah cemberut Reyhan, tapi akhirnya diulurkannya lagi tangannya ke lengan lelaki itu. Reyhan langsung mundur melihat tangan Rania.
"Iya, iya.. Aku janji gak akan gangguin kamu.. Jangan cubit aku, tolong.."
Tawa muncul di wajah Rania melihat wajah ketakutan Reyhan. Diusapnya lengan lelaki itu untuk menghilangkan rasa sakitnya. Reyhan diam memperhatikan tangan Rania yang sedang mengusap cepat legannya.
"Masih sakit?"
"Masih.." jawab Reyhan.
"Masa sih?"
"Iya.. Cubitan kamu maut banget.."
Rania menggeleng seakan tidak percaya, tapi diusapnya sekali lagi lengan lelaki itu. Bersungguh-sungguh Rania melakukannya sehingga membuat Reyhan tersenyum tipis. Lalu Reyhan menyambar tangan Rania sehingga membuat gadis itu terkejut. Rania terdiam ketika Reyhan menggenggam tangannya dan meletakkannya di atas lengan sofa lelaki itu
"Udah, jangan liatin aku mulu.. Filmnya udah mulai tuh.." sahut Reyhan. Sadar Rania masih memperhatikannya dengan wajah bingung.
Perhatian Rania jadi terlalihkan ketika mendengar itu. Tubuhnya kaku dan terasa panas saat merasakan elusan jari lelaki itu di jemarinya. Dicobanya menarik tangannya dari genggaman Reyhan, tetapi lelaki itu kuat menahannya.
Reyhan memberikan isyarat agar Rania menghadap ke layar yang sudah menayangkan film beberapa saat yang lalu. Akhirnya Rania mengalihkan badannya menghadap ke depan dan mencoba untuk berkonsentrasi menatap film yang ditayangkan di layar. Walaupun saat ini gemuruh di dalam hatinya berdentum seakan memintanya untuk menenangkan perasaannya.
Tak berapa lama pesanan makanan mereka diantar oleh salah seorang staf bioskop. Wangi popcorn karamel di dalam mangkuk kaca membangkitkan selera Rania. Belum lagi churros yang masih panas menguarkan hawa hangat di sekitar mereka. Tangannya yang sudah bebas menjangkau air minum untuk menenangkan perasaannya yang saat ini sungguh kacau.
Selama sisa penayangan film Rania hanya mampu duduk merapat di pinggir sofa. Posisinya yang agak jauh dari Reyhan menghantarkan perasaan lega sehingga dia pun akhirnya bisa menikmati tayangan di hadapannya. Di pertengahan tayangan film, Rania sempat melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya itu. Reyhan terlihat menikmati film tanpa berusaha untuk mengganggunya. Sekali-sekali didengarnya lelaki itu tertawa menyaksikan adegan yang sedang mereka tonton.
Ketika ekspresi Reyhan lebih menarik perhatiannya daripada tontonan di layar, saat itulah Rania bisa melihat Reyhan yang sesungguhnya. Dibalik sikap menyebalkan yang sering diperlihatkannya dulu, ternyata Reyhan memiliki pribadi yang menyenangkan, perhatian dan humoris. Banyak hal-hal tak terduga yang muncul dari diri lelaki itu sejak beberapa waktu terakhir ini. Hal yang tidak disangka oleh Rania bisa membuat dirinya tersenyum dan tertawa. Walaupun bisa dibilang sikap menyebalkan Reyhan belum hilang seutuhnya, tapi itu semua masih dalam batas toleransinya. Rania tersenyum tipis tidak menyangka bisa mengatakan hal baik mengenai Reyhan
Seakan tau ada yang memperhatikan, dengan perlahan Reyhan memiringkan badannya menatap Rania. Dan ketika itu juga mata mereka saling melekat. Alis Reyhan naik seolah bertanya ada apa. Rania tersentak, malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan lelaki itu.
"Ada apa?" tanya Reyhan sayup-sayup kedengaran.
Rania menggeleng. "Gak ada.."
"Mau ke toilet?"
Rania menggeleng lagi. Jarinya spontan merapikan rambut dengan maksud mau menghilangkan rasa malu.
"Bosen?" tanya Reyhan lagi.
"Enggak kok.."
"Terus?? Mau dicium?"
Sontak mata Rania terbelalak. Dengan kesal diancungkannya tinju ke arah Reyhan sebelum berbalik menghadap layar dengan wajah cemberut. Menyesal sekali rasanya dirinya menyebutkan hal-hal baik mengenai lelaki itu barusan.
Share this novel