"Reyhan! Kenapa sih narik tangan aku?" tukas Rania. Dicobanya melepaskan tangan yang sedang dipegang Reyhan, tapi sia-sia. Lelaki itu memegang tangannya dengan erat.
Reyhan tidak membalas kata-kata gadis itu. Ditariknya lagi agar mereka berjalan kembali.
"Rey! Lepasin tangan aku.. Sakit nih, Reyhan." ujar Rania memelas.
Reyhan menghentikan langkahnya dan menatap tangannya yang menggenggam pergelangan tangan gadis itu. Perlahan dilepaskannya genggamannya di tangan Rania. Matanya melihat tanda memerah di pergelangan tangan gadis itu. Dihembuskannya nafas lalu jarinya mengelus lembut bekas yang memerah itu.
"Rey kamu kenapa?" tanya Rania. Dia mencoba melepaskan tangannya yang sedang dielus Reyhan. Rania merasa geli dan tidak nyaman. Tapi Reyhan masih belum mau melepaskannya.
"Kamu bilang tangan kamu sakit kan? Aku juga sakit Nia, melihat kamu jalan dan ngobrol sama Dimas." ujar Reyhan dengan pedas.
Rania melongo mendengar penjelasan lelaki itu. Apakah maksudnya Reyhan cemburu dengan adiknya? Tak masuk akal!
"Dimas itu adek kamu, Rey.. Dan dia juga temenku. Temen akrab sejak kami masih bocil. Kenapa aku gak boleh ngobrol sama dia?" ucap Rania dengan jengkel.
"Sayang, karna aku gak suka melihat kamu dengan lelaki lain."
"Maksudnya? Rey denger, aku tau batas pergaulan, dan aku gak suka kalo kamu mulai membatasi pertemanan aku!"
"Aku cemburu."
Sekali lagi Rania melongo. Beneran nih lelaki playboy ini cemburu?
"Masa cemburu sama Dimas? Adek kamu sendiri?"
"Dia kan lelaki. Awas kalo kamu jadi naksir dia."
Rania tersenyum sinis. "Kamu yang playboy, sayang. Bukan aku."
Reyhan terdiam mendengar kalimat gadis di depannya itu. Kemudian senyum lebar mulai muncul di bibirnya.
"Lagi sayang.. Bilang sekali lagi."
"Bilang apa?" ucap Rania bingung.
"Yang kamu bilang sebelumnya."
"Playboy?"
"Eh-eh.." Reyhan menggelengkan kepalanya. "Yang satu lagi."
Rania diam memikirkan apa yang diucapkannya tadi. Seketika matanya melebar dan bibirnya digigit. Dia ingat apa yang diucapkannya kepada lelaki ini barusan tadi. Dan dia sungguh malu sekarang ini.
"Udah ingat, yank?"
Rania geleng-geleng kepala.
"Mau kuingatkan?"
Makin laju kepalanya digelengkan.
Reyhan geli melihat tingkah gadis itu. Diulurkannya tangan menuju bibir Rania. Dia mau melepaskan bibir yang sedang digigit gadis itu. Tapi Rania menggelengkan kepalanya menolak untuk melepaskan.
"Mau aku cium?"
Rania geleng kepala ketakutan.
"Kalo gitu lepasin bibirnya sekarang." tukas Reyhan.
Rania melepaskan bibirnya dan menatap lelaki itu dengan geram. Reyhan tersenyum mengulurkan tangannya ke bibir Rania. Dielusnya bibir yang barusan digigit gadis itu. Ada tanda bekas gigitan dan bibir itu sedikit membengkak.
"Sayang."
Tangan Rania yang terangkat bermaksud mau menghentikan tindakan lelaki itu langsung terhenti di tengah jalan.
"Ya?"
"Ha-ah.. Itu yang kamu bilang tadi."
"Reyhan!" Rania menepis tangan Reyhan yang sedang mengelus bibirnya. Dia kesal karena lelaki itu mengingatkan apa yang diucapkannya tadi.
Sedangkan Reyhan pula tersenyum menatap gadis di depannya. Tatapan galak dari mata bulat gadis itu tidak membuatnya gentar.
"Aku suka kalo kamu manggil aku seperti itu."
"Tadi aku gak sengaja." kilah Rania
"Gakpapa.. Aku suka kok.. Sering-sering aja khilafnya."
"Gak bakal..!"
Reyhan menatap Rania dalam-dalam. Ditelitinya wajah gadis itu. Mata bulat, alis yang tersusun cantik, hidung mancung, dan yang paling menggemaskan adalah bibirnya yang sangat menggoda. Bibir bawahnya agak tebal dan dibagian tengahnya agak terbelah.
"Rey.." bisik Rania.
"Hmm.." Mata Reyhan beralih menatap mata gadis itu. Dilihatnya Rania menatapnya dengan bingung.
Reyhan sadar dengan keterlanjurannya meneliti wajah gadis itu, kemudian menegakkan bahunya. "Ya udah, panggil aku kayak begitu kapan kamu siap nanti."
"Ihh, ke sana lagi dia." Jantung Rania sudah mau copot dipandangi Reyhan dengan lama tadi. Darah mempompa jantungnya dengan kencang saat lelaki itu menatap bibirnya dan berhenti cukup lama di sana.
"Yuk lah jalan. Nanti ketinggalan sama yang lain." ujar Rania.
"Nia." Suara Reyhan menghentikan gadis itu.
"Ya.."
"Ingat, kamu itu milik aku."
"Bukan!" Rania geram.
"Iya! Kamu milik aku. Jadi jangan sembarangan berhubungan dengan lelaki lain. Aku tau kamu bisa menjaga diri, tetaplah begitu dan jangan melewati batas." ujar Reyhan tegas.
"Kamu mulai mengatur aku Rey?"
"Terserah kata kamu. Yang penting udah aku ingetin, kamu jangan lupa itu.."
"Ishh! Aku mending sama Dimas deh daripada sama kamu!"
"Gak bisa.. Kamu itu hak prerogatif aku.. Aku udah kasih peringatan ke Dimas kalo kamu tuh gak boleh diganggu gugat."
"Gila. Gila kamu, Rey."
Reyhan tersenyum sinis, digenggamnya jari Rania. Sekarang jari mereka sudah saling bertaut. "Yuk jalan.."
***
Setelah lelah berjalan mengelilingi Taman Safari, mereka makan dan beristirahat di kafe yang tersedia dalam area wisata. Kafe yang menyediakan masakan tradisional menjadi pilihan mereka. Rania duduk diantara ibunya dan kak Melly. Di ujung seberang meja duduk Reyhan bersebelahan dengan adiknya Dimas.
"Papa, kapan lihat beruangnya? Gajah juga?" celoteh mulut kecil Fadhlan kepada Arya.
"Nanti ya.. Sekarang kita makan dulu, terus sholat dulu, baru deh lihat gajahnya." Arya menjelaskan kepada anaknya Fadhlan.
"Ayo cepat-cepat makannya, Pa.. Nanti keburu gajahnya bobok siang."
Sontak mereka ketawa mendengar celotehan Fadhlan. Menggemaskan sekali caranya berbicara.
"Gajahnya udah besar, nak. Gak bobok siang lagi." kata Arya. "Pelan-pelan makannya. Nanti keselek."
"Beneran?"
"Iya, lihat deh nanti."
"Iya lah.." Fadhlan akur dengan ucapan ayahnya. Disuapnya makanan dengan tertib.
"Kapan-kapan boleh lah kita ulang libur bareng lagi. Yang deket-deket aja.." saran Mama Rina.
"Setuju Kak Rina.. Nanti sekalian ajak Liya dan keluarganya." jawab ayah yang setuju dengan rencana Mama Rina.
"Makin rame makin seru ya.." ujar Papa Darwis, papanya Reyhan.
"Iya, kalo kita liburan nanti semoga Liya bisa ikut. Kebetulan dia lagi ikut suaminya seminar di Surabaya." kata Mama Rina menjelaskan.
"Iya kak, lain kali.." balas ayah.
"Kalian yang di Jakarta harus ikut juga ya kalo nanti kita jalan-jalan lagi." Kali ini ibu bersuara. Tatapannya tertuju kepada anak gadis yang duduk di sebelahnya dan lelaki muda yang duduk di ujung seberang meja.
Rania berhenti menyeruput es lemon tea-nya ketika Ibu menyebut dirinya. Perlahan kepalanya dialihkan menatap lelaki di ujung meja. Reyhan sedang duduk santai sambil menatap ke arahnya. Lelaki itu hanya memandang Rania dan tidak mengatakan apa-apa. Rania kesal melihat tingkah Reyhan yang tidak menjawab perkataan Ibu.
"Insya Allah, Ibu.. Kalo waktunya pas, Nia pasti ikut." ucap Rania menjawab ibunya. Lemon tea kembali dihirup.
Ibu mengangguk lalu mengalihakan kepalanya menatap Reyhan. "Reyhan, kamu bisa kan, nak?"
"Insya Allah kalo gak ada halangan, Ibu. Tapi kalo Nia bilang dia bisa ikut, Rey pasti akan usahakan bisa ikut juga."
Ibu dan yang lain ketawa geli mendengar jawaban Reyhan. Dimas bersiul menggoda. Sedangkan Arya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya.
Rania mendelik tajam kepada lelaki di seberangnya. Pengen saja tangannya mencakau wajah Reyhan yang sedang tersenyum menggoda ke arahnya.
"Kenapa Reyhan harus ikut-ikutan Nia? Kalo dia gak bisa, ya udah kita-kita aja yang pergi. Ya kan, Bu?" Rania meminta dukungan ibunya.
"Aku mau ikut kalo ada kamunya.."
Rania cemberut, membesar kecilkan matanya ke arah Reyhan. Rania tau lelaki itu sengaja menggodanya di depan keluarga mereka.
"Kenapa harus begitu?" Pertanyaan bodoh Rania. Gadis itu mengutuk dirinya di dalam hati.
"Karena kita kan sepaket."
Panas hati Rania mendengar keluarganya tertawa mendengar celetukan Reyhan. Jawaban khas Reyhan yang suka ngaco.
"Udah udah, berhenti ganggu Rania." ujar Papa Darwis. Orang tua itu memberi tanda isyarat gelengan kepala kepada Reyhan.
"Nia, kamu masih sering digangguin sama Reyhan?" tanya Mama Rina.
Rania melongo. Heran kenapa mereka menjodohkan dirinya dengan lelaki yang ternyata suka mengganggunya ini. Dipandangnya Reyhan yang sedang menunggu jawababnya.
"Hmm? Jujur aja, jangan takut."
Reyhan menyandarkan punggungnya di kursi. Sikapnya santai menatap Rania. Seakan tak mempermasalahkan apa pun jawaban yang akan dikeluarkannya. Kesal sungguh hati Rania.
"Emm, enggak kok, Ma." jawab Rania. Memang gak separah dulu, ucap Rania dalam hati.
"Bagus. Kalo si bujang itu masih gangguin Nia, kamu kasih tau mama aja. Nanti tak jewer telinganya." kata Mama Rina.
"Apa sih, Ma. Kayak anak kecil aja dijewer segala." Reyhan memprotes mamanya yang duduk disebelah adiknya Dimas.
"Iya, kalo gak mau dijewer, berenti gangguin Rania."
"Mama kan denger sendiri yang dibilang Nia barusan. Rey gak pernah lagi mengganggu calon menantu mama yang cantik itu.."
Meledak tawa Dimas mendengar abangnya yang jelas-jelas sedang mengganggu Rania.
Rania apalagi, merah padam wajah putihnya mendengar kata 'calon menantu' yang diucapkan Reyhan. Mungkin sebentar lagi Reyhan akan merasakan tinjunya melayang di kepala lelaki itu. Biar normal sedikit kelakuannya itu.
Rania menoleh ke samping ketika Kak Melly mengelus punggungnya untuk menenangkan. Senyum di bibir Kak Melly sedikit meredakan rasa geramnya.
"Sholat yuk?" ajak Kak Melly.
Rania menganggukkan kepalanya.
"Ibu, Nia ke mushola dulu sama Kak Mel." Rania memberitahu ibunya. Malas dia di dekat lelaki tak betul itu.
"Iya sayang, bentar lagi Ibu nyusul."
"Bang, Melly sholat dulu. Gantian kita ya.."
"Iya, pergi lah. Abang liatin anak di sini." jawab Arya. Senyum dihadiahkan untuk istrinya.
Rania dan Melly beranjak meninggalkan meja menuju mushola yang tersedia di area itu.
"Rey, gimana perkembangan hubungan lo sama Nia?" tanya Arya ketika orang tua mereka baru saja pergi untuk menunaikan sholat.
"Nia masih menolak lo, bang?" celetuk Dimas sambil ketawa.
Reyhan melotot ke arah adiknya. "Lumayan ada kemajuan lah."
"Pelan-pelan aja, sampe dia merasa nyaman deket lo. Dia masih rapuh sekarang, dan lo tau kenapa "
"Iya, Ri. Gue tau. Doakan semuanya lancar aja ya."
Arya menganggukkan kepalanya.
"Salah lo juga sih bang, udah tau naksir Rania, tapi malah digangguin terus." ujar Dimas geli.
"Biar ada tantangannya ketika menaklukkan hati si cantik Rania."
Tangan Arya otomatis melayang ke kepala Reyhan.
" Aduh!" ujar Reyhan sambil menggosok kepalanya. "Sakit tau Ri! Kenapa sih dua beradik ini suka banget melakukan kekerasan. Gue sering banget dicubit Rania, tau."
Ketawa Dimas langsung pecah mendengar apa yang dikatakan Reyhan barusan.
"Jangan ngomong macam-macam tentang adek gue." suara Arya mengancam.
"Iya iya, tau. Gue cuman becanda. Lo serius amat."
"Lo terbully, bang?"
"Iya, hati dan perasaan gue nih yang sering dibully."
"Duh, kasian.. Tapi masih mending lah, daripada tinjunya yang melayang. Lo ingat kan?" tukas Dimas.
Sontak ketiga lelaki itu tertawa mengingat kejadian dulu waktu Rania meninju perut Raihan.
"Lo jangan sia-siakan kesempatan ini, bro. Gue males liat lo kayak zombie waktu dulu Rania jadian sama Iman." tegur Arya.
Iman. Satu nama yang jadi target cemburunya suatu ketika dulu. Lelaki yang sangat baik, sopan dan ramah, yang berhasil mencuri hati Rania.
Reyhan mendesah pelan. "Iya, gue akan manfaatin peluang ini. Gue akan jaga adek lo baik-baik."
Arya menganggukkan kepalanya.
***
"Ante Nia, kenapa kita gak boleh kasih makan beruang?" tanya Fadhlan.
"Gak boleh, sayang. Karena berbahaya."
"Kok bahaya?"
"Iya, nanti tangan kita bisa disambar beruang."
"Disambar?"
"He-eh.. Kalo tangan kita keluar nanti beruang mengira tangan kita ini makanan, terus ditariknya. Terus digigit kayak gini. Hap.. Hap!" Rania mencontohkan menggigit tangan Fadhlan.
Fadhlan berteriak-teriak kegelian ketika Rania pura-pura menggigit tangannya. Fazia yang ada di pangkuan Rania mengulurkan tangannya minta digigit juga. Tawa geli gadis kecil itu kedengaran ketika Rania melakukan hal yang sama.
"Aku juga mau dong digigit?" satu suara kedengaran di antara mereka.
Rania mengangkat kepalanya lalu menatap Reyhan yang sedang mengemudi dengan pelan menyusuri jalan untuk melihat satwa dengan lebih dekat.
Rania mencibir. "Males, pasti pahit itu."
"Alan, coba gigit tangan Om Rey kayak Ante Nia tadi." minta Reyhan kepada ponakan Rania.
Fadhlan mengambil tangan Reyhan lalu mencontohkan seperti yang dilakukan Rania tadi. Pura-pura menggigit tangan Reyhan.
"Pahit gak?" tanya Reyhan.
Fadhlan menggelengkan kepala. "Enggak."
"Beneran?"
Fadhlan kemudian mengangguk dan tertawa. "Bener."
Reyhan tersenyum dan mengacak rambut bocah lelaki itu.
"Gak pahit kok, yank."
Rania melotot gemas kepada lelaki di sampingnya. Kalau tidak ada keponakannya pasti sudah dicubitnya lelaki itu.
Nasib baik kedua ponakannya memaksa ikut mobil mereka untuk menyusuri lokasi tempat satwa yang dilepaskan secara bebas. Kalau cuma mereka berdua saja mungkin bisa habis sabarnya meladeni kelakuan lelaki itu.
"Entah lah, mungkin Fadhlan salah."
"Alan betul lah.." protes Fadhlan.
Rania geram, wajahnya cemberut.
"Alan, tuh ada rusa di depan." tunjuk Nia.
Fadhlan dan Fazia bersorak kesenangan melihat binatang yang mulai kelihatan di depan mereka.
"Nia.."
Rania menoleh. "Hmm.."
"Kamu boleh kok gigit aku beneran, tapi kalo kita berdua aja."
"Rey, stop! Ada anak-anak di sini." tegur Rania.
"Eh, iya maaf. Nanti kita sambung kalo udah berdua aja." Reyhan mengedipkan sebelah matanya.
"Gatal!!" Tangan Rania meluncur menuju pinggang Reyhan. Dicubitnya pinggang itu dengan gemas.
"Sakit yank!" Reyhan mengaduh.
Rania tidak peduli, diabaikannya lelaki itu lalu meladeni celotehan keponakannya.
"Om Rey, berenti dulu.. Biar rusanya datang kayak mobil itu." tunjuk Fadhlan ke mobil di depan mereka.
Reyhan menghentikan mobilnya. Dilihatnya dua ekor rusa datang menghampiri mobil mereka.
Salah satu rusa mematukkan mulutnya di kaca mobil, sedangkan yang satu lagi berjalan berputar di samping mobil.
Fazia yang awalnya takut melihat binatang di luar jendelanya akhirnya mulai tertawa setelah Rania memberitahu jika rusa tersebut tidak bisa menggigitnya.
"Gak takut lagi kan, dek?" ucap Fadhlan dari bangku belakang.
"Gak.."
Mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat tinggal binatang lain. Setelah menyusuri beberapa lokasi, sekarang di depan mereka berdiri gerbang tinggi yang menghalangi mereka untuk melanjutkan perjalanan.
"Kenapa ada pagarnya?" tanya Fadhlan heran.
"Karena kita akan masuk ke tempat tinggal singa. Agar singa gak memakan binatang lain, makanya tempat tinggal mereka dibatasi. Untuk masuk ke sana harus lewat gerbang ini dulu." Reyhan memberi penjelasan.
"Terus gimana cara buka gerbangnya?"
"Alan lihat bapak-bapak di sana itu? Mereka akan membantu membuka gerbang agar kita bisa lewat."
"Ooo.." Fadhlan membulatkan bibirnya takjub.
Rania tersenyum sendiri. Menurut Kak Melly sebenarnya Fadhlan sudah pernah ke sini, tapi waktu itu dia masih terlalu kecil. Itulah mengapa dia tidak banyak mengingat tempat ini.
Mereka mendengar bunyi auman singa ketika masuk lebih jauh. Sosok singa belum kelihatan, tapi suaranya sudah kedengaran.
Reyhan mengendarai mobil lebih jauh ke dalam. Di depan sana banyak singa yang berkumpul di pinggir jalan. Ada juga yang sedang bersantai di atas pohon.
"Om Rey, nanti berhenti ya." minta Fadhlan dengan penuh semangat.
"Siap bos."
Reyhan menghentikan mobil di pinggir jalan. Seekor singa yang tadinya sedang bersantai mulai berdiri dan berjalan menuju mobil mereka.
Binatang itu berjalan pelan sampai akhirnya berdiri menghadang mobil mereka. Singa yang lain datang lalu berhenti di sisi jendela Rania. Singa tersebut membuka mulutnya beberapa kali.
Fadhlan menatap binatang itu dengan takjub. Anak itu senang bisa melihat singa sedekat ini.
Tiba-tiba singa di samping Rania mengeluarkan suaranya dengan keras. Kaki depannya bersandar di pintu mobil. Seketika itu juga Fazia mengeluarkan suara tangisannya. Sepertinya gadis kecil itu ketakutan melihat binatang yang seolah akan menerkamnya.
Rania berusaha membujuk gadis kecil itu agar diam, tapi tangisannya malah makin keras. Fazia masih terus menangis walaupun sudah terlindung di pelukan Rania.
Reyhan mengulurkan tangannya ke arah Rania. Dicoleknya lengan gadis itu agar menyerahkan Fazia kepadanya.
"Sini biar aku yang gendong."
Rania terdiam tidak bisa berpikir apa-apa, lalu melepaskan tangannya dari tubuh Fazia. Reyhan maju untuk mengambil gadis kecil itu dari pelukan antenya
Fazia terisak-isak dalam pelukan Reyhan. Kepalanya disandarkan di bahu lelaki itu.
"Sudah, jangan takut.. Kan di sini ada Om Rey. Ada Bang Fadhlan dan Ante Nia juga yang jagain Zia. Kita semua akan selalu lindungin Zia. Diam ya, sayang.." Reyhan mengelus lembut punggung Fazia.
"No no nangis, dek. Singanya udah pergi ke mobil di belakang kita.." Fadhlan menenangkan adiknya.
Suara tangis Fazia mulai berkurang, tapi anak itu tidak mau membalikkan badannya. Dia sepertinya nyaman berada dipelukan Reyhan, tangannya melingkar di leher lelaki itu.
"Zia masih takut, sayang?"
Fazia menggeleng.
"Zia mau duduk sama Om di sini?"
Fazia menganggukkan kepalanya. "Mau."
"Oke. Kita pindah ke tempat lain yuk?"
"Ayuuk..!" teriak Fadhlan bersemangat. Fazia ikut mengangguk-anggukkan kepalanya yang masih bersandar kepada lelaki itu.
Reyhan memindahkan duduk Fazia menghadap depan agar lebih nyaman dan anak itu leluasa melihat ke hadapan.
"Ayo kita berangkat..!" ujar Reyhan dengan ceria.
"Ayoo.." balas Fadhlan dan Fazia bergantian.
Rania dari tadi terpaku melihat cara Reyhan membujuk ponakannya, mengembangkan senyum lalu mengacak rambut Fazia.
Tindakan Rania itu membuat Reyhan menatapnya. Mata mereka bertemu cukup lama. Mereka tidak mengucapkan apa-apa, hanya mata yang saling berbicara.
Pelan senyum kembali mengembang dibibir Rania. Dihadiahkannya senyum manis untuk lelaki itu. Reyhan terpesona melihatnya dan sempat terdiam, lalu membalas senyum Rania. Senyumannya kelihatan lain dari biasanya. Kali ini lebih tulus.
"Let's go."
Rania mengangguk dengan senyuman. "Let's go.."
Share this novel