Semilir angin di tepi pantai sore itu menerpa lembut rambut Rania Andriana. Dibiarkan saja angin mengacak rambutnya tanpa berusaha untuk memperbaiki. Gadis itu termenung dalam lamunannya dan sama sekali tidak memperhatikan keramaian di sekelilingnya.
Lamunan Rania jauh meninggalkan pantai yang tercipta indah di depan matanya, yang seharusnya mampu menenangkan masalah yang dihadapinya saat ini. Pikirannya saat ini singgah di rumah ibunya. Ya, pikirannya yang kusut bermula dari sana.
Masih terngiang diingatan Rania akan pembicaraannya dengan ibu tadi malam.
"Nia, kesini sebentar nak.." panggil ibu setelah Rania selesai membersihkan meja makan malam mereka tadi.
"Sebentar Ibu, Nia cuci tangan dulu." cepat Rania ke dapur untuk membersihkan tangan.
Di ruang depan sudah ada ayah dan ibu, Pak Dino dan Bu Lila, duduk sambil menonton berita malam. Sofa di sebelah ayahnya menjadi target Rania untuk melabuhkan punggung.
Beberapa saat mereka asik membahas berita yang tayang di saluran berita. Rania dan ayahnya saling berbalas komentar mengenai berita terbaru yang disampaikan pembaca berita di layar televisi.
Di saat jeda iklan, ibu yang dari tadi hanya diam dan tidak ikut mengomentari berita mulai bersuara.
"Nia, gimana kerjaan di kantor? Lancar?" tanya ibu.
"Alhamdulillah, lancar Ibu. Berkat doa Ayah dan Ibu." balas Rania sambil tersenyum.
"Alhamdulillah.. Semua itu juga karena usaha dan kesungguhan kamu. Ibu tau gimana kamu suka sama pekerjaan kamu itu. Makanya kamu jarang pulang ke sini.." sempat pula ibu curhat di akhir kalimat.
Rania ketawa mendengar omongan ibunya.
"Ibuu, jarang gimana sih? Nia kan balik tiap bulan, Bu.." Rania tersenyum menjawab sambil mengingatkan ibunya.
"Iya, tapi Ibu pengennya kamu pulang tiap minggu, Ibu kan suka kangen sama kamu.. Ini udahlah pulang sekali sebulan, itu pun cuma pas weekend aja." sedih aja kedengaran suara ibu.
Rania menghela nafasnya pelan. Sering sekali ibu memintanya untuk pulang ke rumah keluarga mereka di Bogor setiap akhir pekan.
"Bu, Nia bukannya gak mau pulang tiap minggu. Tapi Ibu kan tau jalanan padat banget menuju luar kota, apalagi kalo udah Jumat malam.. Ditambah kerjaan Nia sekarang ini lagi banyak banget.. Maaf ya Bu, saat ini Nia memang gak bisa pulang tiap minggu. Tapi kalo Ibu kangen, kita kan bisa video call kan Bu.." lagi-lagi alasan yang sama yang diberikan Rania setiap kali ibu mengeluhkan frekuensi kepulangannya.
"Sudahlah Bu, biarlah Nia pulang seperti biasa. Lagian pulang tiap minggu itu kan bikin capek. Nanti dia gak semangat di kantor karna kecapean, kerjaan jadi gak beres." Yes! Seperti biasa, ayah akan menjadi penyelamat dikala ibu mulai mengomelinya.
"Bener Bu.. Ibu tau kan gimana capenya nyetir di jalanan yang macetnya kebangetan itu.. Udahlah gitu kadang kalo macet itu suka bikin mengantuk.." bersungguh-sungguh Rania meyakinkan ibunya. Senyum meminta pengertian tak pernah hilang dari wajahnya.
"Mmm.. Iya lahh. Bukan apa sih, Ibu kesepian setiap kali kamu balik ke sana. Lagian Ibu khawatir membayangkan kamu sendirian di negeri orang.." jawab ibu dengan mimik wajah sendu.
Rania ketawa mendengar kalimat ibunya.
"Ibuu, kok kedengerannya Nia tuh tinggal di Amerika atau Inggris sana. Semalam Nia pulang, Jakarta Bogor masih dua setengah jam kok Bu." tawa Rania masih bersisa saat membalas ucapan ibunya.
"Tapi Ibu kesepian..." Ibu masih tak mau kalah.
"Ibu masih kesepian dengan adanya Fazia dan Fadhlan di rumah ini? Kapan ya waktu itu Ayah nelpon, katanya Ibu sampe kecapean meladeni kedua bocah itu karna tiap hari maunya main sama nenek mereka." Rania tertawa membalas ucapan ibunya.
Abang Arya, kakak Rania memang tinggal bersama orang tua mereka. Ibu tidak mengizinkan abangnya pindah rumah setelah menikah. Kebetulan abangnya memang bekerja di Bogor, jadilah abang dan keluarganya tinggal di rumah orang tua mereka.
Dengan kehadiran cucu yang sangat aktif membuat kehidupan orang tua Rania menjadi penuh warna. Kadang mereka sampai kewalahan meladeni keinginan anak kecil yang banyak tingkahnya. Tapi mereka sangat bahagia, kasih sayang sepenuhnya tercurahkan untuk cucu kesayangan mereka.
"Ihh, iyaa.. Tapi kamu tuh yang kesepian gak ada yang nemenin.." Ibu masih aja membalas gak mau kalah.
"Kesepian gimana? Nia gak kesepian kok, Bu. Di kantor dan rumah ada temennya.."
"Bukann.. Maksud Ibu gak ada yang nemenin kamu tidur.." balas ibu cepat.
"Hah.. Maksudnya gimana sih Bu?" Rania bingung menjawab ibunya.
"Maksud Ibu, suami sayang. Ibu pengen kamu segera menikah.."
Rania mulai panik ketika kata suami dan pernikahan keluar dari mulut ibunya. Susah payah gadis itu menyusun kalimat agar bisa dikeluarkan untuk menjawab ibu. Tapi kata-kata yang coba disusun tidak mau keluar dari mulutnya.
"Maksud Ibu kamu tuh begini, nak..," ayah mulai bersuara kembali ketika anak gadisnya hanya terdiam. "Minggu lalu ada laki-laki yang menyampaikan hajatnya ingin menjadikan kamu istrinya. Dari yang ayah lihat, dia lelaki yang baik, sholeh dan sayang dengan keluarga. Sebenarnya kami juga tertarik dan ingin menjodohkan lelaki ini dengan Nia.." panjang lebar ayah menjelaskan maksud sebenarnya.
Rania diam mencerna kata-kata ayahnya. Keringat dingin mulai muncul dan menerpa kulit halusnya. Rania tidak bersuara, jari-jarinya yang terjalin bergerak untuk meredakan debaran di dalam dada.
"Atau Nia udah ada calon?"
Rania menatap ayahnya. Diam cukup lama sebelum kepala digelengkan pelan.
Ayah dan Ibu saling berpandangan. Wajah anak gadis kesayangan ditatap dalam diam.
"Nia mau mencari sendiri?" tanya ayah lagi.
"Kalo Nia mau mencari sendiri, Ibu gak masalah. Tapi jangan kelamaan. Usia kamu udah 26 tahun, udah pas untuk menikah dan ada yang mendampingi.."
Ayah menyentuh lengan ibu dengan halus dan memberikan isyarat gelengan kepala. Dia tidak ingin Rania merasa tertekan mengenai apa yang sedang mereka perbincangkan sekarang.
"Atau gimana kalo Nia menerima usulan dari ayah dan ibu barusan?"
"Siapa laki-laki itu, Ayah?" Rania yang sebelumnya tidak bisa mengeluarkan kata, kali ini mencoba bertanya dengan susah payah kepada ayahnya. Otaknya tidak bisa berpikir, ludah yang coba ditelan untuk meredakan kepanikan terasa sungguh perit dan berpasir.
"Reyhan, anak Bu Rina." ayah menjawab lugas.
"Haa!! Lelaki playboy sok cakep itu??!" Rania melotot marah.
P.S :
Novel Penantian Cinta ini awalnya saya publikasikan tanggal 11 November 2020. Seiring berjalannya waktu, saya cuman bisa mengarangnya sampe Bab 6 aja, yg waktu itu saya publis tanggal 2 Desember 2020. Gak sampe sebulan, idenya mentok teman-teman:D:D
Di bulan Februari 2021, saya putuskan untuk meng-unpublished novel ini dengan tujuan mau ngedit biar tambah keren dikit lah:P
Tapi lagi2 kerjaan yang menumpuk ditambah adanya audit beruntun di kantor membuat saya kembali melupakan niat untuk menyambung penulisan novel ini. Setelah keruwetan di kantor mereda, sayanya yang jadi males buat mikir2 gitu untuk mengolah novel ini. Pengennya sih santai santai aja gak mikirin yang lain:D
Mungkin karena niatnya memang pengen santai, tiba2 saja idenya datang tanpa diundang.. Si ide yang muncul langsung saya tulis dan simpan di notes biar gak lupa. Hehhe, mungkin temanya bakal klise, tapi saya akan berusaha membuatnya semenarik mungkin:):)
Hari ini saya memulai lagi mengupdate novel Penantian Cinta. Mohon supportnya ya teman2. Kalo ada masukan atau kritikan atau pertanyaan, silahkan tinggalkan komennya ya:)
Salam sayang,
Arum Lily
12 Juni 2021
Share this novel