Suasana hening di dalam mobil sudah terjadi sejak mereka masuk ke dalam Mazda Reyhan. Hanya dengungan lembut suara AC yang kedengaran mengalun di dalam kendaraan itu. Masing-masing saling diam, tidak ada yang mau mengalah memulai pembicaraan.
"Nia.." suara maskulin Reyhan terdengar memecah keheningan.
Rania hanya melengos dan mengalihkan kepalanya menghadap jendela.
"Rania..!" kali ini keras kedengaran suara Reyhan.
Rania menolehkan kepalanya menatap lelaki itu. Walaupun mendongkol tapi akhirnya dia bersuara juga.
"Kamu kok tau sih aku di sini?"
"Kenapa? Kamu takut ketahuan jalan sama lelaki lain?"
"Please deh jangan ngaco.. Mereka cuma teman kantor aku." Rania membesarkan matanya mendengar tuduhan Reyhan.
"Terus kenapa whatsapp dan telepon aku gak dijawab?!" tajam suara Reyhan bertanya kepada Rania.
Ya ampun, gila kontrol kah lelaki ini, ucap Rania dalam hati. Kombinasi yang gak cocok dengan ke-sok cakepannya itu. Rania ketawa sinis dalam hati.
"Kenapa ketawa? Coba kasih tau lucunya dimana?"
"Eh enggak,, aku tuh sibuk banget sepagian tadi.. HPnya ku silent, jadi gak denger waktu kamu nelpon." buru-buru Rania menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Sibuk mengabaikan pesan dan panggilan dari aku ya?" Reyhan mengecilkan matanya menatap gadis itu.
"Ya ampun, kamu ngasal banget sih, Rey.. Aku beneran sibuk kerja dari tadi pagi.. Banyak laporan bulanan yang harus aku siapin.."
Walaupun Rania merasa sebal mendengar tuduhan laki-laki itu, tapi bersungguh-sungguh juga dia menjawab.
"Jadi beneran sibuk kerja?"
"Iya, beneran.. Suer.." Rania menundukkan kepala, sambil tangan kanannya disilangkan ke dada.
Senyum Reyhan muncul melihat gelagat gadis itu. Mereka jarang ngobrol berdua karena dari dulu Rania selalu menghindarinya. Dan jujur dia sangat menikmati kebersamaan yang terjalin seperti saat ini.
"Iya deh, aku percaya.. Tapi lain kali kalo aku nelpon atau kirim pesan harus dijawab. Oke?"
"Iya, tapi gak janji.." ucap Rania melihat ke arah lelaki itu.
"Gak ada tapi tapi.. Harus dijawab, titik."
"Ayolah Rey.. Aku kan sibuk juga ada kerjaan.."
"Iya, aku tau.. Aku gak akan ganggu kalo kamu lagi sibuk. Tapi kamu gak boleh bohong, gak boleh ngeles.. Ntar tiap aku hubungin kamu-nya kasih alasan sibuk melulu.."
"Uhm, iya baiklah.." Rania akur dalam keterpaksaan.
"Nia, denger sini.. Aku mau kita sama-sama berusaha agar hubungan ini berhasil.. Bukan cuma aku atau kamu yang mewujudkannya.. Tapi kita berdua. Beri peluang untuk hubungan ini.. Kamu mau kan?" lembut suara Reyhan meminta pengertian gadis itu.
Rania terdiam mendengar permintaan Reyhan. Wajahnya panas menahan malu. Reyhan yang seperti ini belum pernah dilihatnya sebelumnya. Tapi tatapan yang dari tadi ditujukan kepada lelaki itu sama sekali tidak dialihkan.
Saling tatap yang cukup lama diantara mereka itu diakhiri dengan anggukan si gadis.
***
Dua minggu yang lalu..
Rania sedang asik membaca di ponselnya ketika panggilan masuk dari abangnya muncul di layar ponsel. Buru-buru tanda terima ditekan gadis itu.
"Halo abang.." jawab Rania ceria.
"Halo juga adek.. Lagi ngapain?" kedengaran suara Bang Arya bertanya di ujung panggilan.
"Gak ada. Nia lagi baca aja.."
"Emm, baca mulu.. Makan udah belom?"
"Udah dong.. Udah jam segini masa sih belom makan.."
"Ohh.. Bukan apa sih, kamu kan suka lupa ngapa-ngapain kalo udah membaca gitu.. Konsenn banget." jawab Arya mengejek. Dia tau adiknya tidak seperti waktu kecil lagi yang kalau sudah memegang buku, tidak ingat dunia lagi.
"Sekarang Nia gak kayak gitu lagi dong, bang.. Kalo waktunya makan ya makan lah." balas Rania sambil tertawa.
"Bagus bagus, jangan sampe kurus.. Nanti Reyhan gak suka.." balas Arya santai.
Terkejut dan terbuka mulut Rania mendengar ucapan abangnya
"Bang Arya..! Abang tau rencana ibu kan? Kenapa gak kasih tau Nia? Abang malah sengaja pergi ke Bandung.."
Waktu dia pulang kemaren memang Bang Arya dan keluarganya pergi ke Bandung. Mereka mengunjungi rumah keluarga Kak Mely, istri Bang Arya. Tapi dari awal Rania yakin kalau abangnya tau mengenai perjodohan ini.
"Abang jangan ketawa.. Nia lagi marah nihh."
Kesal sungguh hatinya mendengar suara tawa Arya di ujung talian. Kalau dekat dengannya sekarang pasti sudah habis dicubitnya abangnya itu.
"Kenapa Nia marah? Memangnya Bang Arya salah apa?" ucap Arya setelah meredakan tawanya.
"Abang bersekongkol dengan ibu.."
"Bersekongkol demi kebaikan apa salahnya?" balas Arya dengan tenang.
"Bang Arya.. Abang tau kan lelaki itu? Dari dulu Nia gak suka sama dia.."
"Mungkin saat ini Nia belom suka sama dia, tapi mana tau nanti hati kamu bisa berubah. Itu semua kerja Tuhan, sayang.. Mudah baginya membolak balik hati manusia."
Rania menggigit bibirnya mendengar penjelasan abangnya barusan. Karena dia tau apa yang diucapkan Arya adalah suatu kebenaran.
"Tapi kenapa harus dia sih bang? Kayak gak ada yang lain aja yang lebih baik dan ganteng.." ucap Rania dengan masam.
"Reyhan baik kok, ganteng juga iya.. Hampir-hampir mendekati kegantengan abang lah." kedengaran suara Arya menjawab geli, sambil menaikkan nilai saham Reyhan di mata adiknya.
Seketika meledak ketawa Rania. Digelengkannya kepala saking tak percaya.
"Baik abang bilang..?! Gak salah orang kan bang?"
"Enggak lah, kita kan lagi ngomongin Reyhan."
"Helloo, Bang Arya tau kan apa yang udah dilakukan lelaki sok cakep itu ke aku? Dia itu pengacau juga pengganggu.. Abang menyaksikannya sendiri.." tegang suara Rania menyangkal ucapan abangnya.
Arya menghela nafas mendengar ucapan adiknya. Reyhan adalah teman akrabnya sedari dulu. Karena bertetangga, mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Dan dia mengakui cara Reyhan menyukai Rania memang aneh.
"Itu namanya proses pendekatan, bukan mengganggu.."
"Bang Arya bela aja terus teman abang itu.." Rania menjawab dengan kesal.
"Dek, Bang Arya bukannya mau belain Reyhan. Abang akui dia memang sering gangguin adek.. Tapi itu dulu.. Sekarang kan dia gak gitu lagi."
"Karna sekarang dia jadi playboy.. Ada mangsa baru. Sok cakep banget.." sinis suara Rania menjawab abangnya.
"Nia cemburu?" balas Arya dengan geli.
"Hiiiyy.. Mana mungkin.. No. Tidak. Enggak."
Arya langsung ketawa mendengar kalimat adiknya.
"Bagus lah, Nia gak perlu cemburu.."
"Yang bener lah, bang. Males banget sama si playboy itu.."
"Playboy mah memang gitu.. Nanti kalo udah menikah, mereka setia sama pasangannya."
"Abang dikasih apa sih sama si Reyhan, kok gencar banget promosiin dia?"
"Yee, abang gak nerima sogokan ya. Karna abang tau dia cocok sama adek abang yang cantik ini."
"Nia rugi banyak dong, bang.. Dia udah lah gak cakep, playboy pula."
"Nia gak rugi kok sayang.. Gak mungkin lah ibu dan ayah sengaja mau memperdaya Nia. Coba Nia kenali dulu pribadi Reyhan. Maksud abang, bukan kebiasaan dia yang suka mengganggu Nia dulu.. Reyhan sebenarnya adalah laki-laki yang baik dek, dia juga setia. Bang Arya minta Nia jangan marah dengan perjodohan ini. Abang cuma berharap Nia memberi kesempatan kepada Reyhan agar Nia bisa membuka kembali hati Nia."
Rania diam menyerap penjelasan panjang yang diucapkan abangnya. Tubuhnya menggigil membayangkan harus meninggalkan kenangan mengenai Iman yang saat ini masih tersimpan di hatinya.
Rania bukannya mau menutup pintu hati selamanya. Tentu saja dia ingin menikah dan memiliki anak-anak di kehidupannya yang akan datang. Tapi dia belum menemukan lelaki yang tepat dan sesuai dengan keinginannya.
"Nia..?"
"Bang, tolong yakinkan Nia kenapa harus membuka hati untuk laki-laki seperti Reyhan."
Arya terdiam mendengar permintaan adiknya. Dia menghela nafas pelan sebelum mengeluarkan suara. Dia tidak ingin memaksa adiknya, tapi ini lah saat yang sesuai untuk adiknya membuka kembali hatinya mengenal lelaki lain.
"Nia, kamu tau kan kita sudah mengenal keluarga Reyhan sejak dulu lagi, bahkan kita gak ingat kapan tepatnya kita pertama kali berteman dengan mereka.. Yang kita ingat adalah keluarga mereka sudah ada bersama kita dari dulu sampe sekarang.. Bener gak?"
"Iya.."
"Mereka hadir di saat bahagia dan sedih di keluarga kita.. Begitupun sebaliknya kita untuk mereka.. Saking udah deketnya.. Iya gak sih dek?"
Rania tidak mengerti arah pembicaraan abangnya. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya saat ini.
"Adek?"
"Mmm..?"
"Iya gak?"
"Iya apa?"
"Yang Bang Arya bilangin barusan. Setuju gak?"
"Iya iya.. Terus?"
"Sebelum Bang Arya lanjut, abang mau tanya dulu.. Apa pendapat Nia mengenai keluarga Reyhan?"
"Maksudnya gimana bang?" Rania bingung dengan pertanyaan Arya.
"Maksudnya ya seperti yang Bang Arya tanya.. Nia jawab aja.."
Rania menggigit bibirnya sebelum mengeluarkan suaranya.
"Keluarga Mama Rina sangat baik. Mereka udah kayak keluarga bagi kita, kecuali yang satu itu tuh.."
Mama Rina itu mamanya Reyhan, mereka sudah kebiasaan memanggilnya dengan panggilan begitu.
"Yang satu itu kenapa enggak pula?"
"Bang Arya…, abang udah tau jawabannya.."
"Maksudnya Reyhan gak baik?"
"Entah lah.." jawab Rania enggan.
Arya diam memikirkan kalimat selanjutnya.
"Keluarga Mama Rina memang udah seperti keluarga kita kan? Jadi bisa dibilang ini nilai tambah lah, karna Nia udah mengenal mereka dengan baik. Nia gak akan canggung atau sungkan lagi dibandingkan jika berkenalan dengan orang yang baru dikenal."
"Nia memang suka dengan keluarga Mama Rina.."
"Tapi tidak dengan anaknya yang satu itu?"
"Karna anaknya yang satu itu nyebelin banget.."
Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit juga meyakinkan adiknya karena Reyhan memang bukan topik favorit adiknya.
"Hmm, Nia ingat gak waktu ayah kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit? Siapa yang mengantar kita?"
Rania merapatkan bibirnya mengingat kejadian ngeri dulu. Dia dan Arya yang saat itu masih sekolah, histeris ketika mendapatkan kabar mengenai tabrakan beruntun yg dialami kedua orang tuanya.
"Reyhan.."
"Ya. Reyhan langsung ngambil mobil terus mengantar kita ke rumah sakit."
Rania diam saja tidak menjawab pernyataan abangnya itu.
"Terus waktu itu ada orang yang pengen banget makan manggis muda, tapi udah dicari di pasar gak ada yang jual. Akhirnya siapa yang beliin?"
"Entahlah.. Mungkin Reyhan.." jawab Rania dengan cemberut.
"Memang dia."
Rania masih kesal dengan kejadian dulu itu waktu dia mengidam buah manggis. Sudah beberapa sentra buah yang didatanginya di pasar tapi buah manggisnya sedang kosong. Keesokan harinya ketika dia pulang sekolah, dia melihat satu bungkus besar yang berisi buah manggis di atas meja makan. Dia sedang asik makan ketika ibu datang lalu memberitahu kalau buah itu dibelikan oleh Reyhan. Ingin rasanya dimuntahkannya lagi buah itu dari perutnya, tapi dilihatnya wajah ibu sudah mulai melotot.
Arya diam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Ketika keluarga kita liburan ke Lombok…"
"Bang Arya, stop.."
"Kamu masih mengingat dia, sayang?"
"Nia gak akan pernah melupakan dia, bang.."
Arya diam mendengar pernyataan Rania.. Dia memahami apa yang dirasakan adiknya saat ini. Tentu sulit baginya mengganti sosok Iman dengan orang lain.
Iman lelaki yang baik dalam segala hal. Dia tau adiknya Rania beruntung pernah kenal dengan lelaki seperti Iman. Bahkan waktu pertama bertemu, dia dan keluarganya langsung setuju dengan pilihan adiknya itu. Tidak ada alasan untuk tidak menyukai Iman.
Tapi takdir berkata lain. Iman meninggal di saat dia sedang melantunkan ayat suci setelah mengerjakan sholatnya. Tiba-tiba, dia pergi tidak meninggalkan tanda. Di usia yang begitu muda dan tidak mempunyai riwayat penyakit apapun.
Dunia Rania seketika hancur mengetahui kabar tunangannya sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Saat itu dia sempat mengalami depresi dan sedikit kehilangan arah.
Keluarga dan sahabatnya lah yang membuatnya kembali semangat menjalani hidup. Mereka selalu mengingatkannya untuk bersabar dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tapi di fase pemulihannya itu pula Rania terlalu larut dalam pekerjaannya. Dia terlalu sibuk bekerja demi mengalihkan pikirannya dari memikirkan almarhum Iman.
Keluarganya bimbang mengetahui keadaan Rania yang seperti itu. Mereka ingin agar Rania cepat pulih dan kembali menatap masa depan dengan optimis.
Ide dari Reyhan lah yang meminta keluarga Arya untuk menjalani liburan di Lombok. Menurut Reyhan angin pantai dan rutinitas yang berbeda dari biasanya pasti bisa memulihkan keadaan Rania.
Setelah melakukan sedikit pemaksaan akhirnya Rania setuju pergi berlibur dengan keluarganya. Bahkan keluarga Reyhan pun ikut meramaikan liburan tersebut. Tujuannya cuma satu, mereka ingin Rania kembali ceria dan bahagia dengan keluarganya di sisinya.
Rania tidak masalah keluarga Reyhan ikut dengan mereka, tapi dia tidak mengizinkan Reyhan pergi bersama mereka. Rania tidak ingin nanti menjadi tersangka di hadapan keluarganya sendiri karena menenggelamkan Reyhan ke dalam laut Gili Meno.
"Abang pun dan keluarga kita juga tidak akan mungkin pernah melupakan almarhum Iman.. Dia adalah sosok yang sangat tulus dan di usianya yang masih begitu muda telah banyak memberikan pengajaran kepada kita dengan kebaikannya."
"Dan kita gak mungkin mempertanyakan Tuhan kenapa Dia memberikan cobaan seperti ini.. Nia tau kan, Tuhan gak akan mungkin memberikan cobaan di luar kemampuan kita. Cobaan yang datang inilah yang akan mendewasakan kita nantinya, ini jika kita bersabar dan melihatnya sebagai pelajaran hidup.."
Air mata mulai menggenangi mata bening Rania ketika mendengar ucapan abangnya. Dia menggigit bibirnya seakan tidak ingin suara isakan keluar dari mulutnya.
"Nia udah lama berteman dekat dengan alhamrhum Iman, pastinya Nia udah mengenal dia dengan baik kan? Menurut Nia, apakah Iman akan senang melihat keadaan Nia seperti sekarang ini?"
Rania tidak kuasa lagi menahan air matanya. Suara isakan dan air mata yang berguguran seakan menjawab pertanyaan abangnya.
"Almarhum Iman juga pernah mengalami kehilangan, dek.. Orang tuanya meninggal ketika dia masih remaja dulu.. Tapi dia gak menyerah kan, sayang? Dia gak mau larut dalam kesedihannya.. Ditengah kesedihannya itu pun dia tetap mencari kebahagiaan.. Kuncinya apa, dek? Kuncinya adalah ikhlas dan sabar.."
"Bang Arya…" Rania bersuara. Suara isakannya masih kedengaran dengan jelas.
"Mmm..?"
"Sakit rasanya, bang.. Jantung Nia… Seperti ada yang menusuk jantung Nia.." Rania menangis sambil menekan dadanya.
Arya menghembuskan nafasnya dengan pelan ketika mendengar suara tangisan adiknya. Hatinya pun saat ini terasa sakit, tapi dia ingin agar Rania ikhlas menerima ketentuan ilahi.
"Nia kalo percaya sama Bang Arya, ingat satu pesan penting ini.. Ikhlaskan, dek.. Ikhlaskan semua yang terjadi.. Insya Allah, hati Nia akan tenang dan gak akan sakit lagi ketika mengingat almarhum.."
Tangisan Rania semakin menjadi. Hatinya ingin memberontak, tapi sepertinya pikirannya mantap untuk mengikhlaskan.
"Bang Arya.., tolong bantu Nia.." sayup-sayup kedengaran suara Rania setelah mereka terdiam cukup lama.
Arya menghembuskan nafasnya dengan keras. Hatinya lega mengetahui Rania mau menerima nasehatnya..
"Pasti! Abang akan membantu Nia melewati ini semua.. Bang Arya akan selalu ada untuk adik kesayangan abang ini.."
"I love you, Bang Arya.."
"I love you more, princess.."
Rania tersenyum mendengar jawaban abangnya.
"Bang Arya…"
"Iya dek?"
"Nia janji akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.."
"Alhamdulillah.. Ketika Nia ditimpa masalah, ingatlah Allah selalu ada. Dia lah sebaiknya tempat untuk mengadu."
"Iya. Makasih udah mencerahkan Nia, bang.."
"Oke, adek sayang.."
"Bang Arya, mengenai Reyhan…"
Arya terdiam. Melihat keadaan adiknya barusan, sebenarnya dia sudah memutuskan untuk mengurungkan niatnya membicarakan Reyhan.
"Kenapa dengan Reyhan?"
"Mmm.. Apakah Nia harus memberikan kesempatan buat Reyhan?"
"Kenapa tidak? Walaupun dia suka membuat Nia kesel, tapi sebenarnya dia lelaki yang baik.. Selama abang berteman dengan dia, dia tuh orang yang tulus dan setia.."
"Masa sih dia begitu?!" Ada nada tak percaya di sana.
"Makanya kenal dulu sama dia.." jawab Arya sambil bercanda.
"Baik, Nia akan mencoba mengenal teman abang itu.. Tapi kalo dia macam-macam, Nia gak akan diam aja.. Tinju Nia ini udah lama gak latihan, bang.. Jadi jangan salahkan Nia jika seandainya hal itu terjadi.."
Arya ketawa mendengar perkataan Rania. Pandai-pandai Reyhan lah nanti bagaimana caranya memenangkan hati adiknya itu.
"Iya, jitak aja kalo dia masih aja nyebelin.."
"Tapi bang, ini bukan berarti Nia setuju untuk menerima Reyhan.. Maksudnya Nia ingin menjalaninya aja dulu.. Saling kenal dulu. Seandainya kami gak cocok, Nia berhak untuk menolak.." tegas suara Rania mengeluarkan pendapatnya.
Arya diam mencerna kalimat adiknya. Bimbang memberikan keputusan karena dia bukanlah yang paling berhak. Tapi demi kebaikan adiknya disetujuinya juga.
"Oke oke.. Abang sangat berharap Nia mau membuka hati lagi untuk mengenal orang lain.. Di sini tuh maksudnya, Reyhan.."
"Baiklah abang.. Nia juga akan mencoba.."
"Bagus.. Mmm, jadi siapa yang mau ngomong sama ibu? Nia yang ngomong sendiri atau abang aja?"
"Abang aja deh, Nia takut diceramahin ibu.."
"Iya deh. Tapi nanti kalo misal ibu mau ngomong sendiri sama Nia, Nia harus jelasin, oke?"
"Oke..!"
*******
Itu isi pembicaraannya dengan Bang Arya dua minggu lalu. Sedikit banyak telah membuka pikirannya.
Kedua keluarga mereka setuju dengan keinginan Rania untuk mengenal Reyhan dahulu tanpa ada paksaan untuk dia langsung menerimanya. Untuk itu Rania sangat bersyukur karena diberikan keluarga yang penuh pengertian.
Rania duduk bersandar di kursi kerjanya. Tangannya mengeluarkan ponsel yang tersimpan di dalam dompet. Pelan-pelan dibukanya aplikasi whatsapp, jarinya membuka pesan yang dikirim Reyhan sepuluh hari yang lalu.
'Thanks sayang..'
Pesan ini dikirim tepat dua hari setelah Rania setuju untuk mengenal Reyhan lebih dekat.
Pesan itu tidak dibalas oleh Rania. Dan Reyhan pun diam sejak itu. Tapi sepertinya sekarang lelaki itu mulai bergerak.
Rania menghela nafasnya. Dia berharap diberikan kesabaran dan hati yang kuat ketika nanti berhadapan dengan Reyhan.
Seperti kata abangnya, dia semestinya bersyukur dijodohkan dengan Reyhan. Orang yang sudah mengenalnya sejak dulu dan tau sejarah hidupnya. Jadi dia tidak perlu harus berlemah lembut keayuan di depan lelaki itu.
Sekali lagi Rania menghela nafas, kali ini agak kuat. Ponselnya diletakkan di atas meja, kursi kerjanya digeser ke depan. Rania kembali menjalani rutinitasnya.
Seneng bisa update bab baru lagi setelah vakum 6 bulan:D 24062021
Share this novel