"Reyhan udah datang.." Sherly berlari sambil melapor.
"Pelan-pelan atuh, Sher.. Tar kalo jatuh roknya kan bisa robek." Fitri mengingatkan sambil memperbaiki selendang Rania yang tersangkut di bahu.
"Iya, tau.. Tapi Reyhan udah di bawah."
"Gimana? Cakep gak dia?" tanya Fitri sambil tersenyum.
"He-eh. Gak nyangka ya Nia, akhirnya lo jadi juga dengan si musuh bebuyutan." goda Sherly sambil tertawa.
Rania membuat muka cemberut sebelum akhirnya ikut tersenyum. "Gue seneng banget kalian ada di sini hari ini." ujarnya sambil memeluk lengan Sherly.
"Oh, ini momen yang gak akan mungkin gue lewatkan, selain pernikahan lo nanti pastinya.. Best moment of the year loh ini.. Jatuhnya sang Ratu Jomblo ke dalam pesona dan rayuan Sang Musuh."
"Udah kayak judul FTV aja." Fitri tertawa lebar.
Rania tertawa kesal, dicubitnya pinggang Sherly dengan gemas. Malu juga rasanya ketika diingatkan akan dilamar oleh mantan musuhnya. Musuh yang ternyata walaupun masih suka usil tapi tidak menyakitkan hati lagi seperti dulu. Reyhan yang dikenalnya kali ini sangat perhatian, humoris dan romantis.
"Siapa sangka seminggu yang lalu belum ada tanda-tanda akan dilamar, eh tiba-tiba karena badai dan hujan malah lamaran seminggu kemudian.."
Seminggu yang lalu. Annual dinner. Di tangga darurat dengan Pak Erick dan Reyhan. Tidak di sangka sudah seminggu peristiwa itu terjadi. Sudah seminggu yang lalu juga dia mengajak Reyhan menikah. Saking sibuknya Rania sampai mengira kalau hal itu sudah lama terjadi.
"Ayo gadis-gadis, saatnya turun." ujar Tante Marni yang merupakan adik dari ayahnya Rania.
Mereka membantu Rania berdiri lalu merapikan kerutan di baju gadis itu. Masing-masing mereka membimbing tangan Rania di kanan dan kiri.
Reyhan melihat gerakan dari arah tangga. Diangkatnya kepala dengan cepat lalu melihat Tante Marni membimbing Rania diiringi oleh beberapa kerabat yang sedang menuruni tangga. Gadis itu menebar senyum saat pengiringnya mengatakan sesuatu yang lucu.
Mata Reyhan tidak bisa beralih sejak Rania muncul dari atas tangga. Gadis itu mengulurkan tangannya kepada Tante Marni yang berjalan duluan satu anak tangga di bawah Rania. Dilihatnya Rania menggunakan kaftan putih berbahan ringan. Kaftan ini adalah baju lebaran Rania tahun lalu. Simpel tapi terlihat menawan dengan dandanan tipis di wajah. Rania menyanggul sederhana rambutnya, di telinganya menggantung anting mutiara warna putih. Walaupun tertutup selendang putih di kepala tapi bisa terlihat jelas. Penampilan Rania tidak berlebihan dan terlihat polos. Reyhan menyukainya.
Di dasar tangga ayah menyambut Rania lalu membimbing anak gadisnya menuju kursi. Rania duduk diapit kedua orang tuanya. Di hadapannya Reyhan mengedipkan matanya kepada Rania dengan diapit orang tuanya juga. Rania membelalak tapi kemudian tersenyum geli melihat tingkah Reyhan.
Reyhan hanya memakai baju koko warna putih, celana abu-abu terang dan peci hitam. Mereka memang tidak mempersiapkan khusus pakaian untuk lamaran, malah sebenarnya menginginkan acara yang sederhana. Namun kedua ibu mereka berkeras mengadakan acara lamaran yang lebih tertata rapi. Acara lamaran ini hanya dihadiri oleh kedua keluarga besar mereka, tapi jumlahnya mencapai empat puluhan orang juga.
Kakak sepupu Rania yang bertindak sebagai MC memulai acara lamaran itu. Acara yang penuh keakraban dan kekeluargaan itu berlangsung dengan santai. Reyhan beberapa kali sempat jadi bahan becandaan keluarganya ketika tidak menjawab pertanyaan MC akibat terlalu terpukau dan tidak bisa mengalihkan matanya dari memandang Rania.
Ketika acara pemasangan cincin tiba, kakak sepupu Rania memintanya berdiri menuju gerbang bunga. Dengan dituntun ibu, Rania berjalan dengan tersenyum malu. Kemudian Mama Rina bangun meminta sesuatu dari Reyhan. Lelaki itu merogoh sesuatu dari sakunya lalu menyerahkannya kepada mamanya.
Mama Rina berjalan ke arah Rania dengan menebar senyum kepada seluruh anggota keluarga. Digenggamnya tangan Rania ketika sudah berada di dekat gadis itu. Kotak cincin yang ada di dalam genggaman Mama Rina menarik perhatian para hadirin.
Dengan perlahan dibukanya kotak itu. Di dalam kotak tersebut tersemat sebongkah cincin bertatahkan permata putih. Bentuknya yang sederhana tapi mewah membuat Rania tersenyum.
Mama Rina mengeluarkan cincin tersebut lalu menyarungkannya di jari manis Rania. Segumpal air mata bertakung di mata indah gadis itu saat cincin sudah melekat sempurna di jarinya. Air mata tumpah ketika Rania mencium tangan Mama Rina dan tangan ibunya.
Mama Rina menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Rania. "Sudah.. Jangan menangis.."
"Terima kasih, Ma.. Telah memilih Rania untuk menjadi calon menantu Mama.."
Mama Rina menganggukkan kepalanya lalu memeluk gadis di hadapannya. Hari itu merupakan salah satu hari yang paling membahagiakan di dalam hidupnya.
*******
Persiapan pernikahan Rania dan Reyhan selama empat bulan ini mengalami pasang surut. Mereka sempat ngambek-ngambekan akibat tidak sepakat atas beberapa hal. Hal kecil sebenarnya, tapi karena ketegangan yang makin meningkat membuat hal kecil tersebut jadi dibesar-besarkan. Tetapi begitu, akhirnya mereka bisa untuk bersepakat dan menyelesaikan masalah yang timbul.
Dua minggu menjelang hari pernikahannya rasa mulas di perut mulai menghampiri Rania. Dia takut persiapannya bakal berantakan. Sebenarnya Rania agak tertekan karena di sela-sela persiapan tersebut, jadwal kerjanya sedang padat-padatnya. Sudah seminggu ini kantor cabangnya didatangi audit internal. Kedatangan mereka yang mendadak tanpa pemberitahuan membuat cabangnya bak dilanda angin ribut ketika para auditor meminta bertumpuk-tumpuk berkas kepada mereka.
Bahkan Rania harus lembur mencari berkas yang disimpan di gudang di lantai 4. Para auditor meminta berkas tahun yang lalu kepadanya. Sedangkan dia hanya menyimpan berkas enam bulan terakhir di ruangannya. Tiap bulan Rania pasti menyetor berkas paling lama di ruangannya untuk di simpan di gudang, agar tersisa tempat untuk menyimpan berkas terbaru di bulan itu.
"Lo lembur juga, Nia?" Treffi dari bagian kredit menyapanya sambil merangkul clipboard.
Rania mengangguk sambil mengacungkan clipboard yang dibawanya. "Terpaksa lembur," jawab Rania dengan pasrah. "Mana gue lagi sibuk banget, ini baru nyelesein laporan awal bulan."
"Memang aneh, datang kok di awal bulan. Udah jelas kita lagi sibuk membuat laporan yang seabreg itu.."
"He-eh. Berkas lo banyak yang diminta, Trep?"
Lelaki itu melambaikan satu lembar kertas A4 yang berisi penuh daftar permintaan dokumen. Rania membalas dengan melambaikan dua lembar kertas yang dijepit di clipboard.
Treffi bersiul melihatnya. "Semangat deh, lembur semaleman."
Rania lalu beranjak menuju rak tempat menyimpan berkas pekerjaannya. Kemudian dia mulai bekerja, ditariknya dus. Dus-dus itu sudah diberi kode agar memudahkan untuk menemukan dokumen. Walaupun sedang konsentrasi bekerja tapi dia mendengar beberapa suara lain memasuki gudang.
"Pantesan lampu ruangan lo masih nyala, lembur ternyata."
Rania melirik ke samping melihat Lani yang sudah berdiri di ujung lorong.
"Sepertinya semua orang lembur malam ini," balas Rania. "Gue sampe harus batalin janji sama Reyhan."
Lani tertawa jahil. "Ngomong-ngomong soal Reyhan, barusan dia ada di bawah tuh.."
"Ha?? Masa sih?" balas Rania tidak percaya.
"Iya.. Wandi tadi nelepon ruangan gue. Dia cariin elo. Katanya Reyhan nunggu di bawah.."
Rania berbalik bermaksud meninggalkan ruangan itu. Dia baru sadar kalau dirinya lupa membawa ponsel di dalam saku.
"Heyy, tunggu dulu.." tahan Lani. "Reyhan udah balik kok.." terangnya.
"Yakin lo?"
"Iya.. Gue cek lagi ke Wandi, mau bantuin dia cariin elo.. Waktu itu Wandi bilang kalo Pak Rey udah pulang. "
"Gue lupa bawa ponsel.." desah Rania dengan sedikit kesal.
"Gakpapa lah.. Reyhan ternyata bawain kita makanan.."
"Makanan?"
"Iya.. Makanan untuk kita.."
"Untuk kita?" Rania sedikit bingung. "Maksudnya untuk lo juga?"
"Bukan cuman buat gue.. Buat kita semua.. Segedung ini.." Lani nyengir melihat Rania yang sedikit linglung.
"Masa sih?" suara Rania kedengaran ragu.
"Iya.. Dia bilang makanannya buat kita yang lagi lembur.."
Rania tersenyum lebar mendengarnya. Tidak menyangka Reyhan akan membelikan mereka makanan. Sering sekali lelaki itu melakukan hal-hal yang tidak terduga sebagai bentuk perhatian darinya. Perhatian kecil dari lelaki itu selalu saja berhasil membuatnya tersenyum.
*******
Di sela-sela kesibukannya bekerja, Rania menyempatkan diri mengantar undangan pernikahan kepada teman-teman kuliah dan sekolah yang menetap di Jakarta. Tugas ini sangat memakan waktu, perlu dua hari di akhir pekan untuk Rania mengedarkannya karena harus mengunjungi satu persatu rumah kenalannya. Syukurlah Sherly menemaninya dan mengemudi selama dua hari itu.
Undangan untuk teman-teman kantornya mulai diedarkan seminggu sebelum Rania cuti. Kebanyakan dari mereka terkejut menerima undangan itu, tapi ada juga yang antusias karena sebelumnya sudah mendengar kabar angin mengenai rencana pernikahan Rania. Termasuk Pak Bram.
Pak Bram membaca undangan yang baru saja diulurkan Rania. Dibacanya kata-kata dalam undangan itu dengan perlahan. Rania memaksakan diri memberikan senyum ketika menunggu Bram menyelesaikan meneliti undangan di tangannya. Diperhatikannya wajah datar Pak Bram, yang sejak beberapa bulan ini seperti menjauhinya.
"Nikahnya hari Sabtu minggu depan ya." tiba-tiba Pak Bram bersuara memecah keheningan.
Rania yang tersentak menganggukkan kepalanya. "Datang ya, Pak Bram." sambungnya.
"Acaranya di Bogor, jauh juga.." Dari nadanya sepertinya Pak Bram hanya memberi alasan.
"Iya, Pak Bram.. Kalo Pak Bram ada waktu datang ya.."
Pak Bram hanya diam sambil sesekali mengusap permukaan undangan. Rania jadi tidak betah berlama-lama di ruangan itu.
"Kalo gitu saya permisi dulu, Pak.." Rania berdiri sembari memberikan senyuman basa basi kepada atasannya.
"Rania, tunggu!"
Rania membalikkan badannya. "Ya?"
"Duduk dulu."
Dengan kening berkerut Rania kembali duduk di atas kursi yang ditinggalkannya barusan. Ditunggunya Pak Bram bersuara, tetapi lelaki itu hanya menatapnya tak berkedip.
"Ada apa, Pak Bram?" tanya Rania. Heran melihat sikap Pak Bram.
Perlahan Bram membuka laci mejanya. Tangannya terulur mengambil sesuatu dari dalam sana.
"Saya rasa ini punya kamu." Bram mengulurkan sebuah tusuk konde kepadanya.
Mata Rania membulat terkejut melihat benda yang diulurkan itu. Tusuk konde dari plastik itu ukurannya kecil dengan hiasan berbentuk bulu burung merak di ujungnya. Tentu saja Rania mengenali tusuk konde itu. Tusuk konde itu digunakannya ketika menghadiri annual dinner empat bulan yang lalu.
"Dimana Bapak menemukannya?" tanya Rania dengan suara bergetar.
Bram menatapnya cukup lama sebelum menjawab. "Di tangga darurat.."
Wajah Rania pucat. Dia teringat ketika Pak Erick menarik rambutnya sehingga membuat konde itu terlepas dari sanggul rambutnya. Bagaimana Pak Bram bisa ada di sana? Apakah dia melihat kejadian waktu itu?
"Kenapa tusuk konde ini ada sama bapak?"
"Saya yang memungutnya dari sana." Lugas suara Pak Bram.
Rania memejamkan matanya. Mungkinkah Pak Bram melihatnya waktu itu?
"Apakah Pak Bram melihatnya?" Rania bertanya untuk menghilangkan rasa penasaran di dalam hati.
"Melihat apa, Nia?"
"Melihat saya.. Apakah bapak melihat saya disana?"
Pak Bram meneliti wajah Rania dengan tajam sebelum menggelengkan kepalanya. Suara desah lega keluar dari mulut Rania. Berarti Pak Bram tidak melihatnya. Syukurlah, bisik Rania di dalam hati.
"Kamu ngapain disana?"
"Ha?"
"Tusuk kondenya kenapa bisa jatuh di tangga darurat? Kamu ngapain di sana?"
"Oh itu," Rania mencoba merangkai kalimat untuk dijadikan alasan. "Waktu itu saya mau ke toilet, tapi harus ngantri.. Saya memutuskan mau pakai toilet di lantai bawah, tapi liftnya gak muncul. Jadi saya terpaksa lewat tangga darurat."
Pak Bram tidak menanggapi alasan yang diucapkan Rania. Diambilnya tusuk konde yang tergeletak di atas meja, diputarnya ke depan dan belakang seakan menilai benda itu.
"Jadi kondenya jatuh karna kamu lari ke bawah?"
Seakan mendapat bantuan, Rania mengangguk dengan mantap. "Betul Pak, saya buru-buru jadi kondenya lepas."
"Hmm," respon Bram, sebelum mengulurkan lagi tusuk konde itu. "Ini ambil kondenya.. Hati-hati jangan sampe jatuh lagi."
Rania menerimanya dengan gemetar, seakan tusuk konde itu adalah saksi atas peristiwa malam itu. Digenggamnya dengan erat untuk mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba muncul ke permukaan.
"Tapi dari mana Bapak tau kalo ini milik saya?" rasa penasaran yang tadi sempat singgah akhirnya terucapkan juga.
Senyum kecil terbit di permukaan wajah Pak Bram. Agak sinis kelihatan dalam pandangan Rania.
"Saya ada di lobby ketika kamu datang waktu itu.." jelas Pak Bram. "Kamu berjalan masuk menuju Fitri. Dan waktu itu kamu berdiri membelakangi saya. Yang langsung menarik perhatian saya saat itu adalah konde yang tersemat di rambut kamu. Berkilau ketika ditimpa cahaya lampu gantung.."
Tusuk konde dalam genggaman terasa menusuk kulitnya. Rania tidak sadar sudah begitu erat menggenggamnya. Bibirnya terkatup rapat melihat wajah sendu atasannya itu.
"Terima kasih sudah mengembalikan barang milik saya, Pak Bram.." tercekat suara Rania sambil menatap Pak Bram.
Pak Bram hanya mengangguk kecil. "Oh, Nia.."
"Ya, Pak?"
"Kalo kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk memintanya.." seketika Pak Bram mengambil berkas di atas mejanya lalu mulai meneliti isinya.
Itulah kalimat terakhir Pak Bram sebelum dia keluar dari ruangan atasannya itu. Dahi Rania berkerut karena dia tidak mengerti maksud ucapan Pak Bram. Tapi dia segera kabur dari sana sebelum dicecar dengan pertanyaan yang lain.
Share this novel