Hari yang paling ditunggu oleh teman-teman kantornya adalah Annual Dinner dalam rangka ulang tahun perusahaan. Biasanya annual dinner ini diadakan di hotel. Sudah dua tahun ini acara diadakan di hotel yang sama. Hotel berbintang lima di pusat kota.
Yang menariknya walaupun Rania bekerja di kantor cabang, tapi mereka mengikuti acara yang diadakan oleh kantor pusat. Jadi walaupun ada beberapa cabang perusahaan di kota ini, mereka tidak membuat acara sendiri. Mungkin maksudnya agar kantor pusat bisa mengundang lebih banyak orang sekalian meminimalkan pengeluaran.
"Sherly beneran gak mau ikut?" tanya Rania.
Sherly yang sedang tiduran di ranjang Rania sambil main game di ponsel menatap Rania dengan bosan. Rania mendapatkan tambahan undangan untuk Sherly, tetapi gadis itu menolak.
"Males, kalian pasti bakalan sibuk pacaran…"
Fitri menggelengkan kepalanya. "Enggak kok.. Ayok lah ikut."
"Gimana mau ikut elo coba, Fit? Lo ketemu Jiro sekali seabad, sekalinya ketemu masa gue ikutan? Gue bisa dipelototin si Jiro nanti sepanjang malam.." sewot Sherly menjawab.
Rania tertawa mendengarnya. "Ya udah, ikut bareng gue aja.."
Sherly mencibir.. "Gue mau kasih kesempatan untuk pasangan baru.."
Rania tersenyum tipis sambil menggulung rambutnya dengan hair roller.
"Minggu depan kita jalan, oke. Seharian, sampe gempor.." sahut Rania.
"Serius ya," Mata Sherly mulai berbinar. "Minggu depan udah gajian, rekening gue pasti teriak-teriak minta dikosongin.."
"Hemat cin, hemat.." Fitri mengingatkan sambil mematut diri di kaca besar dan mendapat juluran lidah dari Sherly.
"Cepetan siap-siap.. Udah mau jam 7 nih.." Sherly menepukkan tangannya berlagak seperti mandor.
Kurang dari jam 7 Jiro sudah sampai di rumah mereka. Rania keluar memberikan kunci mobil dan STNK kepada Jiro. Mobil Rania malam ini dipakai oleh Jiro untuk mengantar Sherly ke acara perusahaan mereka. Sedangkan Rania nanti berangkat dengan Reyhan.
Fitri berangkat duluan, yang kata Sherly kemudian, tidak sabar mau berdua-duaan. Rania tertawa mendengar komentar itu, dicubitnya pipi Sherly dengan gemas.
Tepat jam tujuh Reyhan muncul di rumah Rania. Dengan sabar ditunggunya pujaan hatinya keluar sembari mengobrol dengan Sherly. Tak berapa lama Rania muncul di ruang tamu dengan senyum malu-malu. Sherly yang melihat tatapan terpesona Reyhan, menggelengkan kepalanya lalu beranjak ke dalam.
"Sayang, kenapa cantik sekali?" itu komentar pertama yang muncul dari mulut Reyhan. Rania jadi malu mendengarnya.
Dipandangnya sekali lagi. Rania memakai gaun red velved model A-line separas betis. Lengan baju tiga perempatnya menempel cantik di lengan langsing Rania. Yang membuat gaun itu makin menarik adalah terdapat tali di leher yang diikat menjadi pita. Ada sedikit celah yang memperlihatkan dada di bagian bawah lehernya.
Rania menyanggul rambutnya dan membiarkan sedikit rambut bagian depan yang sudah dibuat sedikit ikal menjuntai bebas. Sepatu yang dipilihnya kemarin benar-benar sesuai dipadankan dengan gaun yang dipakainya. Benar-benar sempurna. Secara keseluruhan penampilan Rania sopan dan tertutup, tapi ada aura seksi dan menggoda yang dipancarkannya. Sopan dan tidak terlalu seksi.
"Yank, kita kencan berdua aja yuk? Gak usah ke annual dinner."
"Mana bisa gitu.. Aku udah janji sama yang lain."
"Tapi aku gak bisa biarin kamu keluar seperti ini, yank.." desah suara Reyhan.
"Kenapa? Terlalu berlebihan?"
"Terlalu sempurna, sayang.. Nanti banyak yang naksir kamu.." kali ini nada cemburu yang dikeluarkan Reyhan.
Rania tertawa mendengarnya. "Gak mungkin lah. Banyak gadis-gadis cantik kok di sana nanti, yang berdandan lebih heboh dan seksi dibanding aku."
Reyhan mendesah keras, apakah Rania memang senaif itu? Semua mata lelaki pasti akan tertuju kepadanya, bukan karena dandanan atau pakaian yang seksi, tapi karena aura yang dipancarkannya. Anggun penuh percaya diri, tapi sulit untuk didekati. Hal ini lah yang menjadi daya tarik menurut lelaki.
"Aku pengen lariin kamu entah kemana.."
Dipukulnya lengan Reyhan dengan lembut. "Ayo berangkat.." katanya dengan tertawa.
Reyhan menggenggam tangan Rania menuju mobil yang diparkir di luar pagar. Dibukanya pintu mobil mempersilahkan Rania masuk.
"Kita gak telat kan, yank?"
"Enggak.. Acaranya masih 20 menit lagi.."
"Aku tunggu di cafe bawah ya.."
"Kamu gak apa-apa menunggu di sana?"
"Kan ada Jiro, aman lah itu."
"Kata Fitri dia mau keluar jam 9."
"Cepet banget? Bukannya acara sampe jam 12?"
"Mereka mau jalan dulu.."
"Ohh.. Terus kamu mau ikut sampe selesai?"
Biasanya Rania dan Fitri ikut sampai selesai karena di akhir acara ada door prize. Mereka pemburu hadiah dan sering menang.
"Aku keluar jam setengah sepuluh ya.."
Reyhan mengangguk. "Kabari aja kapan kamu mau pulang.."
Mereka sampai di hotel mewah itu tepat pada waktunya. Suasana ramai di lobby masih terlihat dengan kehadiran beberapa wajah yang dikenali oleh Rania.
Rania pamit kepada Reyhan seraya berjalan dengan anggun menuju lobby hotel. Dia sadar menjadi perhatian orang sekitar saat ini, tapi dia bersikap biasa saja dengan membalas senyuman yang dilemparkan beberapa orang.
Sesampai di lobby, dilayangkannya pandangan mencari Fitri yang menunggunya di sana. Rania tersenyum lega melihat Fitri melambai ke arahnya. Setelah berpamitan kepada Jiro, kedua gadis itu bergerak menuju ballroom di lantai tujuh.
Suasana ballroom sangat meriah malam itu. Meja bulat yang bisa memuat 10 kursi berjejer rapi di dalam ruangan. Meja dan kursi dihias dengan cantik. Di bagian depan ada panggung yang malam ini menampilkan penyanyi top Indonesia. Suara musik dari band pengiring menambah meriah suasana.
Rania dan Fitri mencari meja mereka sambil menyapa beberapa orang kenalan. Cahaya yang redup dan suasana yang ramai agak menyulitkan mereka mencari meja yang dituju.
"Nia..!" satu suara menyapa pendengaran Rania di tengah keramaian. Dipalingkannya wajah ke samping melihat Lani dan teman kantornya melambai beberapa meja dari tempatnya berdiri.
Terburu-buru mereka menghampiri meja tersebut karena MC sudah mulai melakukan check sound untuk memulai acara.
"Kenapa telat?" tanya Mba Corry
"Rania kelamaan dandan, Mba Corry." jawab Fitri sambil becanda.
Mbak Corry memperhatikan penampilan Rania. Dia takjub melihat penampilan gadis itu malam ini.Terlihat anggun dan menggoda.
"Kalau memang secantik ini hasilnya, sepadan lah dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan Nia untuk berdandan." Mbak Corry menyindir sambil tertawa.
Rania mencibir ke arah Mbak Corry. "Jalanan macet, Mba." jawabnya asal.
Digesernya tempat duduk yang masih kosong di sebelah Lani. Gadis itu tersenyum aneh kepadanya, senyuman yang terlalu cerah dan lebar.
"Apa?" tanya Rania dengan heran.
"Gak ada.. Lo cantik malam ini.." jawabnya masih dengan senyuman yang aneh.
Rania mendecakkan lidahnya. "Lo apa kurangnya.. Cantik dan seksi malam ini.." ujarnya. Tapi kemudian matanya melihat satu goody bag di atas meja.
"Lo udah ambil souvenir, Lan?" tanyanya.
"Udah.. Kalo ngambilnya pas pulang suka rebutan."
"Dapat apa aja?"
Lani mengambil goody bag itu lalu menyerahkannya kepada Rania. Di dalamnya ada tumbler, gantungan kunci, pulpen, boneka kecil dan handuk olah raga. Nama perusahaan mereka tercetak di semua souvenir tersebut.
"Huaa.. Bonekanya lucu.." Rania mendekatkan boneka itu ke wajahnya. Diusapnya boneka itu sebelum meletakkannya kembali ke dalam tas.
"Pstt, Nia!" Lani mencolek lengan Rania. "Lo jangan liat ya.."
"Lihat apa?"
"Pak Erick," lanjut Lani. "Dari tadi liatin lo mulu.." Lani berbisik diantara kerasnya suara MC menyambut kedatangan mereka.
Rania terkejut tapi tidak berusaha menoleh untuk mencari si pemilik nama. Ditatapnya Lani agar bisa mendengar lebih jelas omongan gadis di sampingnya itu.
"Tadi Pak Erick nanyain lo.."
"Oh ya? Terus?"
"Gue bilang belom datang."
"Mau apa dia?" Rania bertanya dengan penasaran.
"Gak tau. Terus dia tanya lo duduk di meja mana.. Gue bilang di sini.."
"Dia tanya apa lagi?"
"Gak ada, habis itu si bapak langsung pergi.."
Rania mendesah lega. Dia berharap agar Pak Erick tidak mengganggunya lagi.
"Pak Erick dari tadi melototin lo.. Kayak mau ditelan bulat-bulat.."
"Lani! Jangan becanda bisa ga?"
"Nanti lo liat deh.. Pak Erick duduk di sebelah kiri meja Komisaris."
"Gue gak mau lihat.." tolak Rania tegas.
"Gimana kalo Pak Bram? Dari tadi juga melototin elo.."
Rania memejamkan matanya. Malam yang paling ditunggu para karyawan ternyata jadi malam yang kurang menyenangkan baginya kali ini.
*******
Rania menyarungkan sepatu tumit tingginya lalu menyambar buku cek dan tumpukan berkas di atas meja. Perlahan dibukanya pintu sebelum melangkah ke lantai atas. Setelah kejadian di Sendok Garpu semalam, baru hari ini dia berkesempatan bertemu dengan Pak Bram. Diketuknya pintu kaca ruangan Pak Bram lalu masuk setelah diberi isyarat anggukkan oleh atasannya itu.
"Pagi, Pak Bram.." sapa Rania dengan ramah.
Pak Bram menatap Rania cukup lama sebelum menganggukkan kepalanya. "Pagi, Nia.."
Buku cek yang ada dalam pelukan diletakkan di atas meja Pak Bram. "Saya mau minta tanda tangan untuk cek, Pak.."
Pak Bram mengulurkan tangannya mengambil buku cek, memeriksa isi yang terkandung di dalamnya sebelum menurunkan tanda tangan di tiga lembar cek yang sudah diisi.
Rania mengambil buku cek itu lalu meletakkan beberapa berkas yang dibawa tadi di pinggir meja untuk diperiksa dan disetujui Pak Bram nantinya. Mereka membahas pekerjaan selama beberapa saat.
"Nia.." Pak Bram tiba-tiba bersuara nyaring sambil menyandarkan tubuh di sandaran kursi.
"Iya, Pak?"
"Annual dinner minggu depan.. Kamu mau pergi sama saya?"
Rania terkejut sambil menatap Pak Bram dengan mata terbelalak.
"Kenapa terkejut begitu?"
Rania berdehem sebelum bersuara. "Maaf, Pak…"
"Maaf apa? Maaf karna terkejut atau maaf karena apa?"
"Maaf, Pak Bram.. Saya tidak bisa menerima ajakan Pak Bram."
"Kenapa? Karena laki-laki di rumah makan kemarin?"
Rania terdiam mendengar nada suara Pak Bram yang sedikit tegang. Malu karena adegan tergelincir itu disaksikan oleh atasannya.
"Iya, Pak. Karena dia.."
"Saya yang duluan mengajak serius, tapi orang lain yang dapat," kesal suara Pak Bram. "Apa kurangnya saya, Nia?"
"Enggak, Pak.. Pak Bram gak ada kurangnya." Rania buru-buru menjelaskan.
"Tapi masih aja ditolak sama kamu.."
"Masalahnya ada di saya, Pak. Diri saya yang masih banyak kekurangan.."
"Saya bersedia menerima dan menunggu.. Sudah sangat jelas saya katakan waktu itu.."
Rania memejamkan matanya. Pak Bram memang baik, tapi dia hanya menganggap atasannya itu sebagai rekan kerja.
"Tapi hati gak bisa dipaksa, Pak.. Saya tidak memberi kesempatan kepada Pak Bram karena hati saya memang masih tertutup ketika itu."
"Jadi sekarang hati kamu sudah terbuka untuk lelaki itu."
Rania menganggukkan kepalanya. "Iya.."
Pak Bram menarik nafasnya dengan keras. "Baik lah.. Saya juga tidak akan memaksa kalo orangnya gak mau.. Saya males dengan hubungan yang rumit kayak gitu.."
Rania tesenyum datar tapi dalam hati lega mendengar pernyataan atasannya.
"Semoga hubungan kalian langgeng. Kalo enggak, laki-laki itu harus siap saat saya merebut kamu darinya.." ujar Pak Bram dengan bercanda.
Rania tersenyum tipis, sadar jika Bram bercanda untuk mengobati luka hatinya.
*******
Suara gemuruh tepuk tangan di ruangan itu mengejutkan Rania dari lamunannya. Terlalu jauh pikirannya berkelana sampai-sampai Presdir sudah selesai menyampaikan pidatonya. Tangannya ikut memberi tepukan walaupun tidak memperhatikan isi pidato barusan.
Diarahkannya pandangan ke depan untuk menumpukan pikirannya ke acara malam ini. Pak Presdir sudah berjalan menuju meja VVIP tepat di depan panggung. Matanya berkelana memperhatikan sekeliling sambil tersenyum sampai tatapannya terhenti di sosok yang sangat ingin dihindarinya.
Pak Erick memperhatikannya dari meja di depan sana. Saking terkejutnya dia tidak mampu untuk mengalihkan pandanganya. Tatapan tajam lelaki itu berubah lembut ketika dia menghadiahkan senyum kepada Rania. Rania membalasnya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata lain yang menatap mereka dengan rasa cemburu yang mengumpul di dada.
Selesai sesi pidato dari beberapa pejabat yang berkepentingan, tiba saatnya untuk makan malam. Rania dan teman-temannya memutuskan mengambil giliran terakhir agar lebih nyaman dan tidak perlu antri terlalu lama. Diperhatikannya staf hotel yang sudah mulai mengantarkan makanan ke beberapa meja VIP. Keuntungan menjadi VIP, makanan langsung diantarkan ke meja mereka, beda dengan karyawan biasa yang harus antri di meja prasmanan.
"Gue mau makan banyak malam ini.." sahut Chika dengan semangat.
"Pasti jiwa anak kost lo meronta-ronta saat ini kan, Chik?" balas Lani dengan mengejek.
"Iya, namanya juga makan gratis.."
"Jangan-jangan lo bawa tupperware untuk diisi nanti.." Fitri bersuara sambil tertawa.
"Ihh, gak segitunya juga kali, Fit.. Kita sesama anak kost jangan saling menjatuhkan dong.." bibir Chika cemberut, membuat yang lain jadi tertawa.
"Katanya kemaren mau bawa plastik.. Jadi Chik?"
Chika melemparkan tinjunya ke arah Emir yang duduk di seberangnya. "Kapan gue ngomong gitu?!"
"Kemaren kan, lo ngomong gitu.."
"Mana ada? Lo salah orang kali..!"
"Ohiya, gue lupa.. Yang ngomong itu Cici anak marketing.."
Meja mereka heboh dengan guyonan dari teman-temannya yang memang gak ada malu-malunya.
Makanan yang disajikan untuk acara malam ini memang menyelerakan, sampai Chika benar-benar menambah porsi makannya. Mereka makan dengan lahap sambil sesekali memuji hidangan di dalam piring.
Teman-teman Rania yang sudah duluan selesai makan beranjak untuk mengambil hidangan penutup. Mereka membawa beberapa gelas dan mangkuk dessert agar yang lain tidak perlu berdiri. Sup buah, puding roti, panna cotta dan beberapa jenis dessert itu memang menarik, tapi Rania menginginkan mango sago yang sedang dimakan teman di meja sebelahnya.
"Ambil sendiri..! Gue ogah ke sana lagi. Malu diliatin sama pelayannya.." sahut Chika ketika Rania mengatakan dia mau makan mango sago.
"Idih, siapa juga yang nyuruh lo ngambil lagi. Gue nih yang ambil sendiri.." Rania berdiri sambil tersenyum mengejek ke arah gadis itu.
Rania berjalan perlahan menuju meja yang menghidangkan makanan penutup. Tapi di tengah jalan dia dihentikan oleh sesama Finance dari cabang lain. Rania duduk sebentar dan mengobrol dengan teman-teman yang hanya ditemuinya ketika ada acara-acara tertentu.
Setelah itu dia kembali mengatur langkah meneruskan niatnya mengambil mango sago. Rania menunggu dengan sabar ketika staf hotel di balik kaunter membuatkan pesanannya. Ternyata dessert ini lumayan laris mengingat meja kaunter sekarang ini hanya berisi gelas-gelas kosong yang sedang diisi ulang oleh staf tersebut.
"Rania Andriana.. Kamu cantik sekali malam ini..."
Rania terkejut mendengar suara lelaki yang sedang menyapanya. Dipalingkannya kepala ke samping melihat Pak Erick yang sudah mendekatinya.
"Pak Erick…" hanya itu yang bisa diucapkannya. Dia terpaku melihat tatapan Pak Erick yang menelitinya dari atas sampai ke bawah. Tatapan lelaki itu berhenti di beberapa tempat sebelum akhirnya menikam matanya.
"Kamu berdandan cantik begini untuk saya, Rania?"
Share this novel