Seperti biasa jika tidak ada halangan, Rania dan Fitri selalu pergi dan pulang kerja barengan. Sore ini mereka mau mampir dulu ke supermarket untuk membeli bahan makanan.
Baru saja meninggalkan parkiran kantor, pemandangan kemacetan sudah tersaji di depan mereka. Fitri memutar radio agar mereka tidak jenuh menempuh perjalanan pulang yang cukup membuat lelah.
"Cin.."
"Hmm.."
"Laki-laki tadi siang…"
Rania menolehkan wajahnya ke sebelah. Dilihatnya Fitri menayangkan wajah penuh keraguan.
"Kenapa?"
"Namanya Reyhan kan?"
"Iya."
"Namanya mirip sama musuh bebuyutan lo dulu."
"Ya..."
"Emm.. Apakah dia musuh lo yang legendaris itu?"
Rania mencengkeram setir mobil dengan erat.
"Ha-ah.."
Benar. Fitri memang sudah menduganya.
"Ooh.." Fitri membulatkan bibirnya sambil kepala diangguk-angguk. "Selain sebagai musuh, dia jadi apa lo sekarang?"
Rania menggigit bibirnya kemudian mengalihkan wajah ke arah depan. Gara-gara aksi lelaki itu tadi siang, sekali lagi dia dijadikan bahan gosip di kantor. Pop up di komputernya dibanjiri pesan masuk dari teman-temannya yang penasaran. Rania membalas pesan tersebut agar tak berlarutan, tapi tidak menjelaskan yang sebenarnya.
"Oke, gakpapa kalo gak mau kasih tau.. Itu privasi lo." Fitri memberikan senyum kepada sahabatnya yang kelihatan sedang berpikir.
"Ibu…"
Kalimat Rania terputus ketika bunyi klakson kendaraan di belakang memaksa mereka untuk bergerak. Rania memajukan mobilnya dengan pelan menyusuri kemacetan di jalan itu. Fitri dengan sabar menunggu Rania memulai pembicaraan.
"Ibu.." Rania kembali menolehkan wajahnya ke arah Fitri. "Ibu ngejodohin gue sama Reyhan.."
Ekspresi terkejut tapi antusias sahabatnya itu membuat Rania cemberut.
"Whaatt?!! Serius lah cin." ujar Fitri sambil ketawa.
"Dua rius!" balas Rania. Tangannya meluncur ke pinggang Fitri. Dicubitnya pinggang temannya itu yang tidak berhenti ketawa
"Ibumu tau kan gimana hubungan kalian sebelum ini?"
"Ya tau lah, orang gue sering ngadu ke ibu karna diusilin Reyhan."
Meledak tawa Fitri ketika mendengar apa yang barusan dikatakan Rania. Dia sungguh gak mengerti kenapa ibu Rania menjodohkan pasangan ini. Seperti mustahil saja menyatukan mereka.
"Terus elonya gimana? Terima gak?"
Rania diam mengerutkan bibirnya. Jari yang berada di atas setir diketuk sambil berpikir.
"Awalnya gue nolak.." pelan Rania menjawab. Sejurus kemudian dia melengoskan wajah ke jendela di sampingnya.
Fitri menjerit memahami maksud perkataan Rania dan mulai bertepuk tangan. Diguncangnya tubuh Rania agar menghadap ke arahnya.
"Nia..! Lo serius?! Alhamdulillah.. Akhirnya temen gue yang cantik ini mulai move on." ucap Fitri sambil menadahkan tangannya.
"Nia, liat gw sini." Kali ini bahu Rania ditarik agar menghadapnya.
"Gimana perasaan lo cin?" tanya Fitri dengan senyum tenang.
"Campur aduk.. Jujur gue pengen menolak, tapi di satu sisi gue juga gak tega membuat ibu kecewa.. Bayangkan, ini Reyhan si pengacau itu lho.. Biang onar masa dijodohin sama gue." jelas Rania dengan sebal.
Fitri hanya bisa nyengir mendengar penjelasan temannya itu.
"Rania temenku yang comel dan baik hati, pasti ada kebaikan dan kelebihan lelaki itu yang belom lo lihat dari diri dia saat ini. Karena selama ini lo apes banget digangguin dia, makanya bawaannya marah mulu.. Apa pun yang menyangkut Reyhan lo udah emo duluan."
"Trus maunya elo, gw tuh menari joged joged waktu dia gangguin gue. Gitu?"
"Ihh mauu.. Mau banget liatnya.. Lo sih gak santai nanggepin kelakuan si Reyhan itu." masih kedengaran sisa tawa dari suara Fitri.
"Ckk.."
"Nia, denger.. Gue yakin keluarga lo gak mungkin sembarangan nerima Reyhan untuk dijadiin sama elo.. Mereka pasti udah mempertimbangkan hal ini masak-masak.. Gue yakin ada something special yang mereka lihat dari diri seorang Reyhan yang menurut mereka bakal cocok sama anaknya ini. Tapi hal itu belom lo temuin saat ini..
"Hmm.. Mungkin sih Fit."
"Sebagai teman yang sangat menyayangi lo, gue minta agar lo lebih terbuka dan berpikiran lebih positif.. Ikhlas memulai sebuah hubungan.. Insya Allah pintu hati lo akan dibukakan oleh Allah SWT."
Rania hanya diam ketika mendengar apa yang dikatakan Fitri. Tapi dalam hati dia menyimpan baik-baik nasehat temannya ini.
"Tapi ya lo nya jangan pasif.. Lo harus aktif mengenal pribadi lelaki itu.. Salah satu caranya ya komunikasi yang lancar. Bisa juga dengan ngedate bareng, luangkan waktu bersama.." Fitri membuka satu-satu jarinya saat memberikan nasehat kepada Rania.
"Duh, gw cuma bisa berharap agar gue gak nyiram minuman ke baju Reyhan kalo misal jalan bareng dia.. Ngebayangin deket dengan dia aja kok jadi geli-geli sebel ya.."
"Bagus. Lebih banyak geli daripada kesalnya.. Gak ada masalah lah itu." ujar Fitri sambil nyengir.
"Eeww!" Rania mecibir ke arah Fitri. Temannya itu sepertinya benar-benar gak melewatkan kesempatan untuk becandain dia.
"Jadi kapan tanggalnya? Nanti gue harus jadi pagar ayu ya. Trus semua baju, tas, dan sepatu lo yang sponsorin." Fitri berkata sambil tangan ditopangkan di bawa dagu.
"Tanggal apaan? Belom sampe sana kali cin.. Gue setuju untuk kami saling mengenal dulu. Kalo misal gue merasa gak nyaman, gue berhak untuk memutuskan hubungan itu."
Fitri melongo menatap Rania yang sedang konsen menyetir.
"Beneran??"
"Iya, beneran."
"Hmmm…"
"Kenapa 'hmm'?"
"Hmm, menurut feeling gue nih ya, gue liat kok lo cocok ya sama musuh lo itu.. Uhmm, kalo misal jadi, jangan lupa sponsorin yang tadi. Oke?" Fitri mengacungkan jempolnya, alis pun digerakkan naik turun.
"Ihh, ngadi-ngadi.. Ayok turun, kita udah sampe." ujar Rania, lalu mengambil dompet dan telepon genggam dari dalam tas. Fitri cemberut sambil menarik tasnya dari kursi belakang.
***
Keadaan dapur malam itu udah seperti orang mengadakan pesta besar. Segala macam bahan makanan diletakkan di atas meja dan di atas kaunter dapur. Kedua kompor digunakan untuk memasak makanan malam ini.
Rania dengan menggunakan celana pendek terus rambut dicepol kelihatan sedang sibuk mengaduk masakan di wajan. Keringat mulai muncul di keningnya yang mulus.
"Nia, gue jadi gak enak nih cuman liatin lo masak.."
"Gakpapa cin.. Tadi kan lo udah bantu bersihin sayur trus kupas bumbu juga."
"Gue bantu deh, biar cepet selesai.. Lagian tunangan lo gak bakal tau kok kalo gue bantuin.." ujar Fitri yang siap-siap bangkit dari kursi makan.
"Tunangan siapa..??" Satu suara kedengaran menyapa Rania dan Fitri.
Kedua gadis itu terkejut melihat kehadiran Sherly yang dengan santai berdiri menatap mereka.
"Loh, lo udah pulang, Sher? Kok gak kedengeran bunyi motor?" tanya Fitri.
"Ya gak mungkin kedengeran lah kalo kalian asik ngegosip.." Sherly mengecilkan matanya menatap Fitri. "Barusan gue denger ada yang ngomong tunangan. Siapa yang tunangan?"
"Lo salah denger kali.."
"Gak mungkin.. Telinga gue ini tajam, bisa denger dengan jelas suara orang walopun lagi ngobrol dari jarak 100 meter."
"Lah kalo emang tajam pasti lo denger dong apa yang kita berdua omongin."
Sherly cemberut melihat gelagat temannya yang main tarik ulur. Matanya kemudian dialihkan ke arah Rania yang sudah kembali menghadap wajan. Gerakannya kaku mengaduk sayur capcay yang sedang dimasak.
"Nia, tadi kalian ngobrolin apa sih? Ada tunangannya segala?"
Tangan Rania berhenti mengaduk sayur, tapi dia tidak menolehkan kepalanya menatap Sherly.
"Aaaa.. Kalo gak ada yang mau cerita, gue ngambek aja!" Sherly bergerak meninggalkan dapur. "Jangan panggil makan nanti, biar aja gue kelaperan trus sakit perut trus kalian merasa bersalah..!"
Gila.. Drama banget nih anak, pake ngambek segala. Fitri geleng-geleng kepala melihat drama tak menjadi itu.
"Sher, sini duduk.." Rania memanggil Sherly sambil menepuk sandaran kursi makan.
Dengan gaya ogah-ogahan yang dibuat-buat, Sherly menuju meja makan. Dilihatnya Rania yang berdiri di dekatnya menatap dengan diam.
"Apakah ada masalah?" tanya Sherly kepada Rania, yang masih diam menatapnya.
"Iya, ada masalah.. Besar banget."
"Apa yang terjadi?" tanya Sherly lagi sambil menatap temannya silih berganti.
"Masalahnya adalah, ibu ngejodohin gue dengan seseorang.."
Sherly melongo kemudian menutup mulutnya dengan tangan.
"Ini seriusan?"
"Iya, beneran cin.." jawab Fitri.
"Emang Rania setuju? Selama ini kan dia suka ngelak dari laki-laki.."
"Masih kenalan dulu.."
Sherly melompat ke arah Rania.. Bahu Rania diguncang-guncang.
"Niaa, my babyy.. Selamat sayang.. Alhamdulillah, gue seneng mendengarnya.. Ini adalah perkara yang baik, Insya Allah akan menghasilkan suatu kebaikan juga.." ujar Sherly dengan mata berkaca-kaca. Pipi Rania ditepuk pelan seakan memberikan semangat.
"Jadi siapa laki-laki yang beruntung itu? Gue yakin dia pangling melihat kecantikan temen gue ini.."
Rania berbalik bermaksud ingin menyalin sayur ke dalam mangkuk. Tapi sebenarnya dia tidak sanggup menyebutkan satu nama keramat itu kepada Sherly.
Sherly mengalihkan matanya kepada Fitri, tapi gadis itu cuma nyengir..
"Musuhku adalah kekasihku…" ujar Fitri masih nyengir.
"Apa itu? Musuhku adalah kekasihku apa sih?" berkerut-kerut wajah Sherly memikirkan maksudnya.
Tapi sejurus kemudian mata Sherly membesar, mulut terbuka, lalu kedua tangan naik untuk menutup mulut.
"Tolong.. Tolong jangan katakan lelaki itu adalah orang yang gue pikirkan saat ini.." ujar Sherly dengan suara yang siap meledak.
Fitri makin nyengir lebar karena Sherly berhasil menebaknya.
"Ayoklah, bukan Reyhan kan??"
"Gak salah lagi, memang bener dia.."
"Haaaa…" ketawa Sherly meledak keluar.
Share this novel