PC.18 Ayo Kita Menikah

Romance Series 17947

"Reyhan, kamu mau menikah dengan aku?"

Rania memejamkan matanya mengingat ajakan beraninya tadi malam. Wajah terpaku tak percaya lelaki itu sempat membuatnya tersenyum dalam hati. Reyhan yang selalu punya ide untuk mengganggunya terdiam tak berkutik. Walaupun hanya sesaat.

"Sayang, aku gak percaya ini.. Tentu saja aku mau menikah dengan kamu.!" ujar Reyhan keras.

Rania tersenyum malu melihat gelegat Reyhan. "Aku tau kamu pasti gak menolak.. Ayo kita menikah."

"Ini serius kan Nia?"

Rania menganggukkan kepalanya dengan pasti, membuat jiwa Reyhan melayang karena bahagia. Dia seakan tak percaya mendengar kalimat itu dari mulut Rania. Dia yang dari dulu mengkhayalkan akan melamar Rania malah keduluan gadis itu. Rania melamarnya! Reyhan berteriak kegirangan di dalam hati.

"Rania, lihat aku," ujar Reyhan menanatap tepat di mata Rania. "Kalo kamu berniat coba-coba mending katakan sekarang. Karena sekali kamu setuju, aku gak akan pernah melepaskan kamu. Tidak akan pernah! Kamu mengerti?" Reyhan mengguncang tubuh Rania pelan.

Reyhan bimbang ajakan ini hanyalah imbas dari kejadian tadi. Reyhan takut Rania tidak sadar dengan ajakannya hanya karena dia telah menyelamatkan gadis itu.

Anggukan kepala penuh kepastian dari Rania membuat mata Reyhan berkilat penuh kelegaan.

"Kita harus menyegel perjanjian ini agar kamu gak lupa." ujar Reyhan sambil menatap bibir Rania.

"Gimana caranya?"

"Begini…" jawab Reyhan lalu menyatukan bibirnya dengan bibir Rania.

Ciuman Reyhan kali ini lebih menuntut sehingga membuat tubuh Rania bergetar. Tubuhnya bergayut di dada bidang Reyhan sambil meremas kemeja lelaki itu. Reyhan memperdalam ciuman mereka, mendesak Rania untuk membuka bibirnya. Bibir Reyhan bermain di sepanjang bibir Rania sehingga membuat Rania tak berdaya. Akhirnya Rania menerima desakan lidah Reyhan yang meluncur mulus masuk ke dalam mulutnya lalu kemudian mempermainkan lidahnya.

"Lupakan yang tadi.. Kamu hanya akan mengingat aku.." bisik Reyhan di bibir Rania.

Respon Rania berupa desakan agar Reyhan memperdalam ciuman mereka. Reyhan menurut. Dia ingin berteriak kepada dunia bahwa dia akhirnya bisa memiliki Rania.

Rania mengusap bibirnya yang saat ini terasa sensitif. Ciuman mesra Reyhan semalam benar-benar membuatnya bagai di awang-awang. Ciuman pertama adalah untuk menenangkannya sedangkan yang kedua untuk mengecapnya sebagai hak milik lelaki itu.

"Nia.." suara Fitri memanggilnya dari luar kamar.

Rania terkejut lalu melepaskan usapan di bibirnya. Dibiarkannya Fitri masuk ke dalam kamar diikuti oleh Sherly.

"Lo baik-baik aja, cin?" tanya Fitri cemas.

Semalam Reyhan meneleponnya meminta Fitri membawakan tas Rania. Lelaki itu mengatakan semuanya baik-baik saja dan meminta Fitri melanjutkan rencananya pergi jalan dengan Jiro. Reyhan bahkan tidak mengatakan Rania ada dimana sebelum mengakhiri panggilan itu.

Anggukan dari Rania membuat Fitri lega.

"Lo pergi kemana semalam?"

Rania ragu untuk mengatakannya dan otaknya sedang berusaha mengarang cerita agar Fitri tidak khawatir.

"Apakah ada hubungannya dengan Pak Erick? Dia juga menghilang ketika lo gak ada.."

Wajah Rania berubah pucat melihat Fitri. Dicengkeramnya bantal di sampingnya sambil menatap Fitri dengan ketakutan. Sejak Reyhan mengantarnya pulang dia menolak memikirkan Pak Erick. Dia berusaha membuang ingatan dan melupakan perbuatan lelaki itu.

"Ada apa, Nia.. Cerita lah.." bujuk Sherly. Dia pun heran karena semalam Rania pulang lebih cepat dan buru-buru masuk ke kamarnya sambil mengatakan kepalanya pusing.

"Kata Lani," sahut Fitri. "Pak Erick gak muncul lagi di ballroom sejak saat dia melihat bapak itu gak ada di mejanya."

Rania terkesiap. "Lani tau?"

Fitri menganggukkan kepalanya. "Dia yang ngasih tau gue, cin."

Rania mengeluh ketika matanya mulai berkaca-kaca.

"Ada apa sebenernya, Nia?" desak Sherly dengan cemas. "Apa memang ada hubungannya dengan Pak Erick?"

Rania menatap temannya sebelum menganggukkan kepalanya. Air mata mulai merembes di wajahnya mengingat kelancangan Pak Erick. Adegan semalam berputar di dalam pikirannya saat ini. Dia benar-benar tidak menyangka Pak Erick berani melakukan hal itu kepadanya.

"Lo mau cerita?" tanya Fitri hati-hati.

Rania menggeleng.

"Ya udah, gakpapa," balas Sherly. "Terus lo dimana ketemu sama Reyhan? Soalnya hp ada di tas kan."

"Tangga darurat."

"Ha? Lo ngapain di sana? Ngumpet?"

"Bukan," bergetar suara Rania. "Pak Erick..."

"Pak Erick kenapa?" sahut Sherly karena kalimat Rania yang tergantung.

Spontan Fitri dan Sherly memeluk Rania ketika gadis itu mulai menangis. Mereka bingung apa sebenarnya yang terjadi dengan Rania.

Dengan isakan yang tertahan Rania menceritakan kejadian yang menimpanya tadi malam. Wajah Fitri dan Sherly tegang dan alis mereka berkerut geram mendengar apa yang sedang dituturkan oleh Rania. Fitri mengusap punggung Rania untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Jadi Reyhan datang menolong lo?" tanya Sherly.

Rania mengangguk. "Iya.." jawabnya.

"Dan dia memukul si Erick keparat itu?"

"Iya."

"Bagus.. Semoga Reyhan memukulnya dengan keras. Biar lurus lagi otaknya itu!" sahut Sherly berapi-api.

"Lo gak mau ngelaporin Pak Erik, cin?"

"Gak usah lah," Rania menggeleng. "Lagian gue jarang banget ketemu dia."

Sherly menggeleng-gelengkan kepalanya. "Menurut gue, lo harus ngelaporin si bapak itu, Nia. Dia udah melakukan pelecehan loh.. Orang yang kayak gini gak boleh dibiarin begitu aja.. Nanti bisa ngelunjak."

"Dia gak akan berani lagi mengganggu gue," terang Rania yakin. "Itu mungkin karena dia cemburu gue lagi deket sama Reyhan. Gue pun juga gak sering kok bertemu Pak Erick, jadi gak perlu melaporkan dia."

"Ckk.." decak Sherly.

Rania menatap wajah tak setuju Fitri, sama seperti wajah tak setuju Reyhan tadi malam. Lelaki itu meminta agar dirinya melaporkan Pak Erick, tapi Rania menolaknya dengan alasan yang sama dengan yang diberikannya kepada Sherly dan Fitri. Dengan berat hati Reyhan menerima walaupun dia tidak puas.

"Orang kayak gini tuh harus dikasih pelajaran dulu biar jera. Biar gak ngulang lagi, atau biar gak ada korban baru lagi." Sherly masih belum puas.

"Udah lah, Sher. Semoga aja memang karena bapak itu khilaf." kata Fitri dengan gelengan pelan sebagai kode agar Sherly tidak menekan Rania.

Sherly mendengus sebelum akhirnya diam tidak melanjutkan perdebatan.

Fitri bergerak ke meja rias Rania. Diambilnya tas dan goody bag yang tadi diletakkannya di sana ketika masuk ke kamar Rania.

"Ini tas lo. Dan goody bag.."Ā 

Senyum mulai muncul di wajah Rania karena Fitri membawakan souvenir annual dinner untuknya.

"Syukur lo ambilin untuk gue, Fit.."

"He-eh. Gue ambil kupon lo dari dalam tas."

Rania tertawa sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Digesernya goody bag itu kepada Sherly. "Lo mau yang mana?" tawarnya.

Sherly menolak. "Gue kan memang dapat undangan, jadi tadi malam kuponnya gue titip sama Fitri." ujar Sherly tertawa.

"Sip lah, gue gak perlu berbagi sama elo.." canda Rania. Dialihkannya matanya ke layar ponsel, mencek pesan dan panggilan yang masuk sejak semalam. Tiba-tiba tubuhnya kaku membaca satu nama di kotak masuk yang mengirimkan pesan kepadanya. Dibacanya pesan itu dengan wajah tegang.

"Kenapa?" tanya Fitri.

Rania mengangkat wajahnya, mengulurkan ponsel kepada gadis di depannya. Fitri dan Sherly dengan rasa penasaran membaca pesan tersebut.

'Rania, saya minta maaf atas perbuatan saya tadi. Saya tidak bermaksud melakukan itu. Saya khilaf. Tolong maafkan saya.' - Pak Erick

*******

Feli mengangkat ponsel yang berbunyi nyaring di telinganya.

"Ada apa sih, Rey? Masih pagi ini.!" Feli menjawab dengan ketus.

"Cepetan siap-siap.. Temenin gue keluar."

"Ogah! Gue masih ngantuk.."

"Ayuk lah Fel.. Cerah banget nih buat joging.." Reyhan tertawa.Ā 

"Rey, masih jam-," Feli mengintip jam di layar ponselnya. "Belom jam 8! Gila kamu, Rey!" gadis itu berteriak histeris.

Reyhan tertawa mendengar omelan Feli. Dia sangat bahagia pagi itu jadi dia punya waktu untuk meladeni omelan ketus gadis itu.

"Aku udah mau jalan.. Cepetan siap-siap.."

"Tunggu..!" Feli sempat menghentikan sebelum Reyhan menutup panggilan.

"Ada apa?"

"Kita mau kemana?"

"Sarapan. Setelah itu temenin gue beli cincin.."

Feli bingung dengan maksud Reyhan. "Cincin?" ujarnya.

"Iya.." jawab ReyhanĀ 

"Cincin apa?"

"Cincin tunangan."

Feli tersentak kaget mendengarnya. Dia tidak sadar ketika Reyhan sudah memutuskan panggilan telepon mereka.

*******

Pagi itu Rania terbangun di dalam kamarnya di rumah ibu. Udara Bogor yang sejuk terasa makin menggigit ketika fajar mulai menyapa. Digelungkannya tubuh di dalam selimut tebal meminta untuk kembali melanjutkan tidur. Tapi otaknya yang mulai aktif menolak untuk membuatnya terlelap.

Rania mendesah pasrah sambil telentang di atas ranjang. Ditatapnya langit-langit kamar dan kembali teringat kenapa saat ini dia berada di rumah keluarganya.

Hari Jumat semalam Reyhan menjemputnya untuk pulang ke Bogor. Setelah sarapan mereka bergerak meninggalkan Jakarta. Mereka mengambil cuti di hari itu agar punya lebih banyak waktu di rumah. Keluarganya menyambut dengan gembira kepulangannya kemarin. Ibu bahkan tidak henti-hentinya memeluk dan mencium pipinya. Sinar bahagia di mata ayah tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Rania tersenyum tulus melihat kebahagian di wajah orang tuanya.

Bunyi alarm di kamarnya yang sepi mengejutkannya dari lamunan. Rania mematikan alarm yang menunjukkan pukul 04.30 pagi. Disibaknya selimut seraya melangkah ke dalam kamar mandi.

Sejam kemudian dia beranjak meninggalkan kamar menuju lantai bawah untuk membantu ibunya menyediakan sarapan. Dia baru saja akan memegang palang besi ketika berhenti di anak tangga. Tatapannya memperhatikan ruang tengah yang sudah dihias cantik.

Deretan kursi yang sudah dihias berjejer sambil berhadapan. Ditatapnya wardrobe di dekat dinding yang bertuliskan 'Reyhan Melamar Rania'. Ya, hari ini adalah hari dimana Reyhan akan melamarnya.

Rania melanjutkan niatnya untuk ke dapur ketika ibu melihatnya dari bawah.

"Kamu udah bangun, nak?" Ibu berjalan melintasinya menuju pintu samping.

Ibu tidak melihatnya mengangguk karena sudah berjalan duluan. Diikutinya Ibu dengan rasa penasaran.

"Ibu lagi ngapain?" teriak Rania di dasar tangga.

"Petik tomat.." sahut ibu sayup-sayup.

"Wuih, lebat banget tomatnya," takjub kedengaran suara Rania melihat dua batang tomat yang berbuah lebat di halaman samping rumahnya. "Pasti dikasih micin lagi, kan?" tebak Rania.

Ibu tertawa mendengar tuduhan anaknya walaupun itu memang benar. "Memang terbukti kok, sayang. Lihat deh, rawitnya juga berbunga lebat." pamer Ibu sambil tertawa.

Ibu memang suka menyiram tanamannya dengan MSG. Dua kali sebulan pasti disiram dengan micin. Hasilnya memang tanamannya menjadi dengan cantik.

"Ibu mau masak apa?"

"Kak Melly yang mau masak sarapan. Katanya mau buat bihun goreng spesial.."

"Beneran?" wajah Rania berbinar cerah. Bihun goreng spesial berarti ada campuran potongan ayam, udang, bakso ikan dan telur orak arik. Makin lengkap ketika diberi pokcoy dan wortel. Bihun buatan Kak Melly memang paling juara.

"Bener," jawab Ibu. "Ini bawa dulu tomatnya ke dalam.. Ibu mau bersihkan ini sebentar.."

Rania mengambil keranjang dari tangan ibu lalu berbalik menuju dapur, membantu kakak iparnya membuat sarapan pagi itu. Sarapan spesial di hari spesial.

Waktu berjalan lambat setelah sarapan karena tidak ada yang bisa dilakukan oleh Rania. Ibunya sudah memesan katering untuk acara nanti siang. Kesibukannya pagi itu hanyalah membalas pesan Reyhan yang mengeluh merindukannya. Rania tertawa ketika mengingat kata-kata Reyhan kemarin yang mengatakan kalau dia tidak akan menemui Rania sampai saat lamaran. Sekarang lelaki itu mengatakan dia merasa jauh dari Rania walaupun sebenarnya dekat.

Suara nyanyian Fadhlan mengalihkan pandangan Rania dari layar ponselnya. Keponakannya itu bernyanyi dengan keras di halaman depan dengan disambut oleh suara sorakan dan tepuk tangan. Perlahan Rania bangun dari kursinya dan berjalan ke depan.

Tawa muncul di bibirnya melihat Sherly dan Fitri yang baru saja sampai, bertepuk tangan dengan semangat memancing Fadhlan agar bernyanyi dengan lebih keras. Jiro, yang memutuskan memperpanjang liburnya seminggu lagi di Jakarta, menggelengkan kepalanya melihat kedua gadis di depannya yang sedang menggoyangkan tangannya dengan heboh. Sedangkan Fadhlan seperti anak yang kesurupan bernyanyi dengan suara ngerock.

Digendongnya keponakannya itu sambil menghampiri Sherly dan Fitri. Dipeluknya kedua sahabatnya itu dengan tersenyum.

"Ayuk masuk.." ajak Rania.

Tapi Sherly menggeleng sambil menunjuk ke samping kiri dengan mulutnya. Lucu melihatnya melakukan itu berulang-ulang. Fitri sampai terbahak melihat ekspresi di wajah Sherly.

"Lo ngapain sih, Sher?"

"Ituu.." ujarnya sekali lagi memonyongkan bibirnya ke arah rumah sebelah.

"Reyhan," balas Fitri. "Duduk di balkon rumahnya sambil ngintip ke sini.."

"Ha? Masa sih?" Rania membalikkan badannya melihat kelibat Reyhan di balkon rumahnya. Dia mendekati pagar agar lebih jelas melihat rumah lelaki itu. Ternyata memang Reyhan sedang mengintip mereka dari atas balkon rumahnya.

Ketika melihat Rania, tawa muncul di bibir Reyhan lalu lelaki itu menyatukan kedua tangan sambil membuat tanda 'love'. Sherly dengan iseng membalas tanda love itu, tapi mendapat gelengan keras dari Reyhan. Kemudian Sherly memberi tanda tinju sebelum menarik masuk Rania yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience