Pagi itu Rania sedang berjalan menuju pantry ketika dihentikan oleh satu suara yang memanggilnya.
"Nia, mau kemana?" sapa Pak Yudi dari dalam ruangannya. Pintunya kebetulan tidak tertutup.
"Pantry. Napa, Pak?"
"Mau ngapain?"
"Yah, kayak biasa. Beli cabe, kentang, ikan…"
"Ihh, beli cabe kok di pantry?"
Rania tertawa geli. Sengaja mau becandain Head Marketing mereka pagi-pagi itu.
"Ada apa, Pak Yud?"
"Gue barusan cek email. Dana untuk acara awal bulan udah disetujui pusat, tolong bantu cairkan ya."
"Siip.. Nanti saya bukakan ceknya." Rania memberi tanda jempol.
"Apa pun yang mau lo buat di pantry, gue juga mau." ujar Pak Yudi sambil nyengir.
"Saya mau buat teh hijau, bapak mau?"
"Ogah! Buatin Indocafe aja.."
"Mana Ari? Bukannya tiap hari dia wajib buatin minuman?"
"Ada kok, tapi gue cuma minta diantar air putih aja.. Kali ini gue mau kopi buatan lo, Nia."
Rania tersenyum sambil mengangguk, lalu beranjak dari depan pintu ruangan Pak Yudi.
Di depan pintu pantry dia berhenti. Dilihatnya Bram sedang membuka tutup lemari kabinet satu per satu. Rania menaikkan alisnya, heran dengan kelakuan bosnya itu.
"Pagi, Pak Bram.." sapa Rania.
Bram menolehkan kepalanya, terkejut mendengar suara gadis idamannya menyapanya pagi-pagi begini.
"Eh, pagi, Nia." balas Bram.
"Pak Bram lagi ngapain? Lagi cari sesuatu?"
"Mmm, saya lagi cari makanan."
"Makanan? Pak Bram ada titip dibelikan sarapan?"
"Bukan, bukan.. Biasanya di pantry kan ada camilan. Biskuit atau wafer gitu. Saya lapar banget." ujar Bram malu-malu.
"Oooh.. Mungkin udah habis, Pak. Kita belanja tiap tanggal lima." jelas Rania.
"Wah, iya kah?" Bram menggaruk kepalanya.
"Bapak belom sarapan?"
"Belum.. Tadi saya bablas tidurnya. Mana jam sembilan nanti saya mau teleconference sama pusat."
Rania melirik jam di tangannya. Sekarang jam 08:42. Berarti 18 menit lagi sebelum acaranya dimulai.
"Saya ada stok roti. Nanti saya antar ke ruangan Bapak."
Mata Bram berbinar menatap gadis di depannya. "Buat saya?"
"Iya." jawab Rania dengan senyum tipis.
"Thanks Nia, akhirnya saya bisa sarapan juga."
"It's ok, Pak."
"Kamu mau ngapain di sini?" tanya Pak Bram.
"Mau buat teh."
"Boleh sekalian buatin saya kopi?"
"Lah, kan office boy tiap pagi narok kopi di ruangan bapak?"
"Iya, udah saya habisin tadi. Mau ngopi lagi biar ga ngantuk.."
Rania geleng-geleng kepala. "Pasti abis begadang.."
Bram ketawa mendengarnya. "Iya, kebablasan maen game.. Lupa kalo pagi ini ada meeting."
Rania geleng-geleng lagi. "Ya udah, saya buatin dulu kopinya.. Nanti saya anter ke ruangan bapak.."
"Mmm, mau ditemenin?"
Rania terdiam. Sudah beberapa lama ini Bram agak menjauhinya. Sejak kejadian makan siang dulu. Sejujurnya dia suka keadaan seperti itu, berkurang gangguan dari Bram.
"Daripada nemenin saya, gimana kalo sekalian bapak yang buat kopinya?"
Bram nyengir menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia mau Rania yang membuatkan kopi untuknya.
"Cangkirnya kok tiga?" Bram heran melihat Rania mengeluarkan tiga buah cangkir dari dalam lemari.
"Satu buat saya, satu buat Pak Bram, satu lagi buat Pak Yudi." ujar Rania sambil jarinya menunjuk tiap-tiap cangkir.
"Loh kok Pak Yudi juga?"
"Iya, minta dibuatin juga sama kayak Bapak.."
"Hey, ngadi-ngadi tuh Pak Yudi." sahut Bram agak sedikit kesal.
"Kalo gitu Bapak juga ngadi-ngadi dong?"
Bram langsung ketawa sambil menggaruk kepalanya.
"Bapak balik dulu aja sana.. Nanti saya anter sekalian sama rotinya." Rania mengusir Bram. Tangannya menjangkau bungkusan kopi dari dalam lemari kabinet.
Bram sebenarnya belum mau beranjak. Hatinya sangat senang karena kali ini bisa ngobrol santai dengan Rania. Tapi membayangkan nanti disuruh membuat kopi sendiri akhirnya dia mengalah juga.
"Buat yang enak ya.." Sempat Bram mengusik sebelum berlalu.
*******
Rania sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya ketika Lani mengetuk pintu ruangannya lalu masuk ke dalam.
"Berisik banget sih di sini.." kata gadis itu.
Rania hanya tersenyum, tangannya sibuk merobek kertas voucher yang baru selesai di print. Ruangannya memang lagi ribut dengan suara printer deskjet Epson, sudah begitu dia menambah hingar dengan menghidupkan musik di perangkat komputernya.
"Kebiasaan aneh.." cibir Lani.
"Biarin.. Lo mau ngapain di sini? Kalo cuma mau menggosip mending pergi deh.. Gue lagi sibuk berat.." usir Rania.
"Ckk.. Mau kasih ini nih.." ujar Lani sambil menyodorkan satu lembar formulir kepada Rania.
"Emang mau belanja bulanan? Kan belom tanggal lima?" Rania heran membaca formulir permintaan dana untuk belanja bulanan. Belanja bulanan ini jadwalnya tiap tanggal lima sampai tanggal sepuluh. Tapi Lani yang jadi PIC biasanya langsung belanja di tanggal lima ketika anggaran turun.
"Pak Bram yang suruh, katanya stok di pantry udah habis.."
Terdengar keluhan keluar dari mulut Rania.
"Mana bisa say? Kan belom tanggal lima, mau pake duit dari mana coba?" tolak Rania.
"Iya, tau.. Tapi bukan gue yang minta, bapakmu itu lho.."
Rania mendelikkan matanya mendengar kalimat Lani barusan.
"Bapak elo tuh, kan kalian dekat.."
"Lo mau deket sama dia juga gakpapa.." Lani nyengir menatap gadis yang duduk di depannya.
"Makasih, lo aja deh.." balas Rania dengan sewot.
"Lo gak tertarik gitu? Ganteng begitu tuh laki.."
"Lo ambil deh kalo memang tertarik.."
"Kok gue? Gue kan udah punya pacar.."
"Putusin aja, jadian sama Pak Bram.."
"Ihh ngaco..!"
"Kok ngaco? Bukannya elo yang bilang kalo Pak Bram itu tajir, punya kerjaan bagus, udah punya rumah sendiri.. Trus lo lagi kan yang bilang, siapa pun yang jadian sama Pak Bram bakal beruntung banget karna orangnya baik, perhatian dan romantis. Ayoklah.."
"Nia..! Elo ngasal. Gue udah ada Andre!"
Rania ketawa melihat wajah sewot Lani. Biar gadis itu merasakan bagaimana rasanya dijodohkan dengan orang yang kita anggap sebagai teman biasa.
"Apa kurangnya sih Pak Bram dibandingkan pacar lo itu? Masih bisa bersaing lah dia.." usik Rania lagi.
"Udah ahh, kita bukannya lagi bahas gue.. Ini gimana ceritanya uang belanja gue nih?"
Rania diam menatap formulir yang sedang digenggamnya. Tanggal lima masih seminggu lagi. Dia bisa saja mengeluarkan dana cadangan yang masih banyak sisanya, tapi ya harus melalui persetujuan Pak Bram dan Kepala Cabang.
"Gini deh, gue keluarin untuk belanja seminggu aja.. Tapi lo minta persetujuan Pak Bram dan Pak Rudy.."
"Siip.. Kalo Pak Bram mah aman aja.. Pak Rudy ini nih yang pasti bakal ngomel.."
"Pasti ngomel lah, nambah beban perusahaan aja.. Tapi nanti pasti bakalan disetujui juga, kan Pak Bram udah tanda tangan duluan.. Pak Rudy mah ngikut aja kalo Pak Bram udah setuju.."
Lani ketawa mendengar perkataan Rania. "Bener juga ya.. Pintar lo Nia, pantesan Pak Bram suka.."
Tangan Rania bergerak ke kotak tupperware yang berisi permen. Diambilnya satu lalu dilemparnya ke gadis yang nyengir di depannya itu.
"Mulai lagi.." ujarnya sewot.
Lani tertawa ngakak melihat wajah cemberut Rania. Dibukanya permen yang dilempar tadi lalu dimasukkan ke dalam mulut.
"Ganteng dan cantik.. Cocok banget.." Lani masih berusaha memancing Rania. Tapi gadis itu hanya menaikkan alis matanya memandang Lani.
"Buruan sabet daripada keduluan yang lain.." ujar Rania santai.
Lani mendecakkan lidahnya. "Atau lo beneran tunangan sama lelaki yang waktu itu?"
Alis Rania langsung berubah jadi mengkerut mendengar omongan Lani.
"Udah udah, balik sana.. Gue sibuk.." usir Rania.
"Ciee.. Ada yang malu.. Berarti beneran lah nih?"
Rania menghela nafasnya dengan tidak sabar.
"Beneran apa?
"Laki-laki kemaren itu.. Tunangan lo?"
"Bukan."
"Pacar?"
"Bukan ihh.."
"Terus siapa dong?" cecar Lani dengan suara menuntut.
"Ya bukan siapa-siapa.." balas Rania mengelak.
"Boong banget! Gak mungkin lah lo disamperin sampe ke Sendok Garpu gitu kalo bukan siapa-siapa.. Terus elonya juga manut aja waktu disuruh keluar.."
Sial. Lani ini memang cocok jadi detektif. Jiwa keponya membuat dia mengetahui hampir semua cerita orang-orang di kantor ini. Pengorek handal anak ini.
Rania hanya diam tidak menjawab Lani. Diabaikannya gadis itu dengan pura-pura sibuk mengecek hasil cetakan printernya.
"Aha! Mungkin aja laki-laki itu orang yang dijodohkan keluarga lo, Nia.. Gak mungkin banget deh lo rela dan ikhlas ngikutin tuh laki kalo bukan karna perjodohan.. Pasti lo takut dilaporin makanya ngikut dia.. Iya nggak?" tanya Lani penuh semangat. Matanya berbinar-binar menanti jawaban Rania.
Rania yang tadi diam, melebarkan matanya memandang Lani. Dia shock! Kok bisa-bisanya gadis kepo ini menebak dengan benar. Ditenangkannya gejolak di hati sebelum mengusir gadis yang tidak mau keluar dari ruangannya itu.
"Udah ah, balik sana.. Lo gak ada kerjaan apa gimana sih?"
"Gue kan kerja nih, barusan ngasih form mau minta duit.."
"Minta tanda tangan dulu baru balikin ke gue.. Ingat ya Lan, belanja cukup untuk seminggu aja.. Nanti kalo lo belanja bulanan lagi, dibagi dua deh stoknya, biar gak kehabisan kayak sekarang.."
"Ihh pelit banget.."
"Bukan pelit, beb.. Ini kan udah ada anggarannya, cukup besar pula. Kita di sini yang harus pinter ngatur gimana caranya stok dapur dan kebersihan masih tersedia sebelum di restok.. Paham?"
"Iya deh.. Kalo yang pegang duit udah ngomong, yang lain gak boleh bantah.." sindir Lani sewot.
"Belajar hemat dari sekarang, beb.. Biar dapat bonus gede." balas Rania sambil ketawa.
"Emang bisa?"
"Ya bisa lah.. Kalo lo bisa menghemat pengeluaran perusahaan, sedikit banyak bisa menghasilkan laba yang nantinya akan berpengaruh ke jumlah bonus yang akan lo terima." terang Rania dengan cepat.
"Iya juga ya.."
"Memang iya.. Jadi optimalkan dana belanja yang jujur aja udah segede gaban itu tanpa harus menambah di tengah bulan. Bisa ya, beb?"
"Gue sih bisa aja, yang laen tuh tiap sebentar nyamil.. Heran gue.." balas Lani mencibir.
"Caranya ya kayak yang gue bilang tadi dibagi aja stoknya.. Isi kembali pantrynya setiap dua minggu.." ujar Rania sambil ketawa.
Lani memgangguk-angguk setuju. "Udah ah, gue mau balik.."
"Ya udah balik, lo nambah-nambah berisik aja di sini.."
"Iya deh.. Btw, good luck buat perjodohannya.. Calon lo gak kalah ganteng dari Pak Bram.." usik Lani sambil tertawa.
"Lani..!" Rania melotot sambil menayangkan tinju di depan muka. Merah padam mukanya menahan malu.
"Jadi gagal lah rencana gue, ya kan?" ujar Lani tersenyum sambil berdiri mau keluar dari ruangan Rania.
"Eiit..! Buang dulu sampah permen lo. Makan iya, buang sampah gak mau.. Gue jitak nih.." sewot suara Rania.
Lani langsung berbalik menuju keranjang sampah di samping belakang meja Rania. Sebelum keluar dijangkaunya kotak permen di atas meja.
"Upah, karena gue udah baik hati buang sampah ke tempatnya.."
Di saat Lani sibuk memilih berbagai rasa permen di dalam kotak itu, tiba-tiba muncul pesan pop up di layar monitor Rania. Suara musik yang mengalun tidak bisa meredam bunyi pesan yang masuk barusan.
'Nia, kopi buatan kamu enak banget.. Mau lah dibuatin tiap hari..' - Pak Bram
Lani yang berdiri di samping Rania bisa melihat pesan itu dengan jelas. Mata gadis itu terbuka lebar membaca pesan yang muncul di layar monitor. Seketika senyumnya muncul lebar sekali.
"Ciee, ada yang jadi tea lady pribadi Pak Bram.." usik Lani.
Rania hanya bisa cemberut melihat reaksi Lani, seperti orang yang menang lotre aja gaya temannya itu. Diabaikannya gadis itu dengan menekan-nekan tombol di atas keyboard.
Lani keluar dari ruangan Rania sambil menari berputar-putar. Suara tawanya masih kedengaran walaupun gadis itu sudah meninggalkan ruangannya. Rania menepuk dahinya dengan gemas. Apes sekali rasanya karena Lani ikut membaca pesan itu. Dia kan terkenal sebagai tukang gosip handal di kantor ini.
Share this novel