PC.13 Jatuh Ke Dalam Rayuannya

Romance Series 17947

Rania sedang duduk santai di ruang TV dengan kedua temannya. Mereka sedang asik menonton ulangan serial lawas Friends sambil sesekali bergosip. Sitkom ini memang jadi kegemaran mereka walaupun sudah tayang jauh lama sebelumnya. Komedi lucu yang ditampilkan selalu membuat mereka terhibur.

"Nia, gimana perkembangan hubungan lo sama Reyhan?" tiba-tiba Sherly bertanya.

"Biasa aja.." jawab Rania sambil mengunyah kerupuk kentang dalam genggamannya.

"Gak ada kemajuan?"

"Entah lah.."

"Kok entahlah?!"

Rania melirik sebal ke arah Sherly. "Ya, mungkin ada kemajuan lah.."

Sherly mulai tersenyum. Rania ini memang harus dipaksa. Tapi syukurlah sekarang ini dia sudah mulai terbuka dan mau bercerita kepada dirinya dan Fitri.

"Terus gimana? Udah ada percikan bara api yang muncul?"

"Oh kalo itu mah udah muncul dari dulu.. Berapi-api terus tiap ngeliat dia.." jawab Rania datar.

Fitri ketawa mendengar obrolan kedua temannya itu. Dari dulu mereka ini memang suka ribut. Dia lah nantinya yang akan jadi penengah jika seandainya kedua gadis itu saling ngambekan.

"Ihh Nia..! Lo kan ngerti maksud gue.."

"Maksudnya gimana, Cah Ayu?" tanya Rania. Dia tersenyum tipis melihat Sherly yang mulai menunjukkan wajah sewot.

"Maksudnya lo udah naksir dia belom sih?"

"Ya belom lah.."

"Kok bisa? Emangnya si Reyhan gak ngeluarin jurus rayuan gitu?"

"Rayuannya gak mempan kalo sama gue.. Taktik dia tuh udah ada dalam genggaman gue mah.. Gak semudah itu, Cah Ayu.." sombong Rania menjawab.

"Sombong.. Gue bakal ketawa guling-guling kalo seandainya lo jatuh dalam rayuannya.." ujar Sherly sambil mencibir. 

"Gak bakal.." balas Rania keras kepala. Diambilnya lagi segenggam kerupuk kentang untuk dimasukkan ke dalam mulut.

"Gue juga mau ikutan ketawa guling-guling kalo misal Rania tergelincir dalam pesona rayuan Reyhan Muhsin.." celetuk Fitri dengan ketawa nyengir.

Spontan mulut Rania jadi tersedak mendengar apa yang diucapkan Fitri barusan. Cepat disambarnya gelas di atas meja untuk melegakan tenggorokannya. Fitri yang biasanya jadi pendengar dan suka membiarkan dia dan Sherly saling beradu argumen, sekarang mulai ikut ke dalam kancah keributan.

Sherly tertawa keras sambil memeluk Fitri. Tangannya bertepuk dengan gembira sambil sambil melempar tos kepada Fitri.

"Menurut lo kapan ya kira-kira kita bisa ketawa sambil gulingan?" tanya Sherly kepada Fitri di sebelahnya.

"Hmm.. Kalo menurut perasaan gue sih gak lama lagi.." jawab Fitri sambil melirik Rania.

Suara tawa Sherly kembali meledak, sedangkan Rania melotot sambil kembali meminum airnya. Panas terasa hatinya diketawakan kedua temannya itu. Tawa kedua gadis itu membuatnya bertekad untuk tak akan semudah itu menyukai Reyhan.

"Fit, lo kenapa sih jadi ikut-ikutan bawel kayak Sherly?" tanya Rania sebal. Wajahnya menunjukkan rasa tak puas hati.

"Sekedar memeriahkan, cin.." jawabnya ketawa.

"Lo gak usah ikut-ikutan Sherly deh, ntar bisa bawel beneran.. Satu aja udah repot apalagi dua.." ucap Rania merungut.

"Bukan gitu, cin.. Maksudnya itu, lo jangan terlalu sesumbar kayak tadi. Kalo misalkan lo nantinya menyukai Reyhan, kami semua pasti akan bersyukur banget. Begitu pun kalo seandainya rasa itu gak muncul-muncul juga, kami tetap akan mendukung elo. Jadi kalo Reyhan memberikan pendekatan berupa rayuan jangan lo anggap gombal juga. Gak mungkin kan dia jahilin lo lagi kayak dulu? Pasti gak bakal berhasil kan?" jelas Fitri panjang lebar. Sherly menganggukkan kepalanya menyetujui penjabaran dari Fitri.

"Kita akan tetap mendukung apa pun keputusan lo nanti, Nia.. Tapi tolong berpikiran lebih terbuka kali ini.." ucap Sherly menambahkan. "Gue becanda aja kok mau ngetawain lo.. Udah jangan cemberut lagi.."

Rania masih menayangkan wajah cemberutnya, tapi kemudian dia bergerak mendekati sahabatnya itu. Lengannya dilingkarkan mengucapkan rasa terima kasih.

"Bakal jadi apa gue ini kalo gak ada kalian bedua.. Kalian lah yang selalu memberi gue semangat di dalam keterpurukan gue.. Makasih Sher and Fit, untuk beberapa tahun ini yang udah sabar banget menghadapi gue.." suara Rania bergetar ketika mengucapkan itu.

"Sama-sama, sayang.. Lo juga pendukung kita di saat kita lagi susah.." ucap Sherly sambil tersenyum. Dileraikannya pelukan lalu mereka saling bersandar di sofa.

"Huah! Jadi laper lagi ya.. Gimana kalo kita buat mie rebus?" sahut Fitri kepada kedua gadis di sebelahnya.

"Mau..! Tapi Sherly yang harus buat, karna mie rebus buatan Sherly paling enak di dunia.." balas Rania penuh semangat.

"Makan yang laen deh, gue lagi males masuk dapur malam-malam begini.."

Rania membuat wajah memelas di depan Sherly. Matanya dikedip-kedipkan menarik simpati. "Lo mau kan Sher buatin mie rebus untuk kita?"

Belum sempat Sherly menjawab, suaranya dikalahkan oleh bunyi ponsel Rania yang bergetar di atas meja.

"Angkatlah.." sahut Fitri.

Rania masih mengulur waktu. Dipandangnya telepon yang berbunyi seakan meminta untuk dijawab.

"Gue bakal buatin mie rebus kalo lo jawab panggilan itu.." sambar Sherly sambil nyengir.

Rania melotot sebal sebelum mengangkat telepon itu. Dengan cepat digesernya tanda hijau di layar agar panggilan tak terputus.

"Ya.." sapa Rania singkat.

"Halo, sayang.." jawab Reyhan ramah.

"Halo Rey.." Rania membalas dengan sopan.

"Lagi ngapain yank?"

"Lagi nonton.." ujar Rania. Matanya bergerak memperhatikan Sherly dan Fitri yang berjalan menuju dapur.

"Nonton apaan?"

"Friends.. Sitkom jadul."

"Ahh, aku suka tuh serial itu."

Rania tersenyum mendengarnya. "Memang bagus kan sitkomnya.."

"He-eh.. Aku juga udah ngulang nontonnya.."

"Sama lah, aku juga.." ujar Rania sambil tertawa.

"Akhirnya ada juga kesamaan kita ya, yank?" ujar Reyhan dengan menggoda.

Hilang tawa yang menghiasi bibir Rania ketika mendengar itu.

"Hmm.." Hanya gumaman yang keluar dari mulutnya.

"Nanti bisa lah nonton bareng sama aku.."

Rania diam saja. Berat bibirnya mengeluarkan suara.

"Boleh, yank?"

"Iya, boleh.." Dipejamkannya matanya ketika mengatakan itu. Jawaban apalagi yang bisa diberi kalau bukan kata persetujuan?

"Thanks, Nia.." sahut Reyhan dengan senyum lebar.

"Hmm.."

"Kenapa sih bilang hmm terus dari tadi?"

"Gak kenapa-kenapa.. Kamu lagi ngapain?

"Lagi ngobrol sama calon masa depanku.."

"Ih Reyhan!" Ingin rasanya dijitaknya kepala lelaki yang suka mengganggunya itu. "Kamu lagi dimana?"

"Lagi di luar.."

"Belom pulang kerja?"

"Udah.. Tapi keluar lagi.."

"Ngapain?"

"Makan, sama temen.."

"Ohh.. Trus ngapain nelpon aku? Makan dulu sana.."

"Kangen, yank.. Kemaren gak bisa nelpon kamu, aku jadi kangen berat pengen denger suara kamu.."

Walaupun memang kedengaran gombal, tapi Rania tersenyum juga di dalam hati. Reyhan rutin meneleponnya sejak mereka pulang dari Puncak. Semalam lelaki itu absen meneleponnya, padahal Rania sempat menunggu sampai jam 11 malam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi tidur.

"Nia, sabtu besok mau kan pergi jalan?"

"Jalan kemana?"

"Kamu maunya kemana?"

"Ya gak tau, bingung juga.. Kamu maunya kemana?"

"Pergi nonton mau?"

Duh bakal gelap-gelapan, Rania punya cerita tidak enak menonton di bioskop bareng Reyhan. Hatinya bimbang.

"Yang lain deh, Rey."

"Ya udah, nanti kita jalan-jalan makan-makan aja.. Mau?"

"Iya lah.." Rania setuju juga.

"Yes! Aku gak sabar nih menunggu hari Sabtu.." ujar Reyhan penuh semangat.

Rania memutar bola matanya mendengar suara bahagia lelaki itu. Sedangkan dia sendiri cemas membayangkan akan kencan sesungguhnya dengan lelaki itu hari Sabtu besok.

"Ya udah, kamu makan dulu deh Rey.. Ini udah kemaleman lho.." ujar Rania.

"Iya.. Ketemu Sabtu besok ya.."

"Oke.."

"Mimpiin aku tiap malam, oke."

"Mmm.." Rania menjawab malas.

"Mmuahh!"

Rania terkejut, matanya terbelalak menatap telepon di tangan. Gila apa si Reyhan ini?

"Udah dulu ya, Rey.." balas Rania.

"Nia, belom..! Jangan matiin dulu, cium aku dulu.."

Rania memerah mendengarnya. "Kamu mau ditonjok?!"

"Enggak.. Aku maunya dicium kamu."

"Jangan harap.." ketus balasan dari Rania.

"Oh, mungkin kamu maunya dikasih ciuman yang asli. Begitu?"

"Enggak lah.."

"Kalo memang gak mau dikasih yang asli, cium aku sekarang.."

"Kamu kenapa sih, Rey??"

"Aku kangen, sayang.. Tadi maunya nyamperin kamu, tapi udah keduluan janji sama temen."

"Sabtu kan cuman dua hari lagi.."

"Terus? Mau kasih cium beneran hari Sabtu besok?"

"Reyhan! Aku marah nih.."

"Jangan dong.. Kalo kamu cium, aku janji akan tutup teleponnya.."

Rania diam saja. Dia buntu apakah mau melakukannya atau tidak. Sungguh rasanya kok seperti kekanak-kanakan.

"Sayang, cium dong biar aku nyenyak malem ini.. Udah beberapa lama ini gak lelap tidur aku karna kebayang kamu terus.. Boleh kan sayang?" ujar Reyhan merayu.

"Mmuah.!" Mata Rania membesar sejurus dia memberi ciuman itu. Dia spontan melakukannya karena terjerat rayuan gombal Reyhan.

Dari dapur kedengaran suara tawa kegelian. Rania menolehkan kepalanya ke arah itu, di sana dilihatnya Sherly dan Fitri sedang tertawa bersamaan. Duh, malunya.

Di tempat lain Reyhan tersenyum setelah merima ciuman dari Rania. Akhirnya usahanya berhasil juga setelah bersusah payah mencoba bahkan dengan ancaman. Reyhan menoleh ke belakang ketika merasa bahunya disentuh seseorang. Senyum diberikan kepada wanita di belakangnya.

"Mangsa baru?" ujar wanita itu beranjak menuju kursi di depan Reyhan.

Senyum Reyhan mati, ditatapnya wajah wanita itu dengan tajam.

"What?!" ucap wanita itu tak bersalah.

"Enggak.."

"Siapa lagi yang tadi? Pake ciuman segala.. Kayak bocah aja.." bibirnya mencibir.

"Mau tau aja.." ujar Reyhan santai.

"Pasti dong.. Kamu itu kan sayangnya aku.."

Reyhan tertawa datar mendengarnya. Feli memang sangat protektif terhadapnya.

*******

Dulu, waktu libur kuliah..

Rania dan Dimas sudah berencana untuk menghabiskan akhir pekan mereka bersama. Rania ingin mengajak Dimas jalan-jalan santai sambil menikmati kesejukan Kota Bogor yang dicintainya. Tapi Dimas maunya pergi menonton, karena film yang ditunggu-tunggunya sudah mulai ditayangkan di bioskop.

Dan siang itu Rania duduk di teras rumahnya sambil menunggu kedatangan Dimas, yang jarak rumahnya hanya selang dua rumah dari rumahnya. Rania sedang sibuk bermain dengan ponselnya ketika suara klakson mobil kedengaran di depan rumahnya yang menandakan kedatangan Dimas. Rania pamit kepada ibunya lalu berjalan menuju pagar rumah.

Dibukanya pintu mobil bagian depan sambil menyapa Dimas. "Lo lelet banget.."

Dimas tertawa melihat wajah cemberut Rania. "Sori, ada masalah tadi di rumah."

"Masalah apa? Jangan bilang ada hubungannya dengan abang lo.." ujar Rania mendecakkan lidahnya.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil mulai menjalankan mobilnya. Diliriknya Rania yang sedang mengetik pesan di ponselnya.

"Kirim pesan untuk siapa?"

"Iman.."

Dimas menganggukkan kepalanya sambil menyetir dengan santai. Rania sedang dekat dengan Iman sejak beberapa minggu ini. Dia memang belum pernah bertemu dengan Iman, tapi sepertinya sebentar lagi Rania akan memperkenalkan mereka karena gadis itu serius ingin menjalin hubungan dengan lelaki itu.

"Jadi ada masalah apa tadi di rumah?" ujar Rania setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Biasa lah.." gumam Dimas.

"Biasa gimana? Kalo yang gue tau nih sumber masalah di sana itu cuma bersumber dari satu orang.."

Tawa Dimas meledak ketika mendengar itu, matanya melirik ke kaca spion dalam sambil melihat ke belakang.

"Oh ya? Emang siapa sumbernya?"

"Ya Reyhan lah.." sahut Rania dengan cepat.

"Kok tau sih?"

"Haa, bener kan?? Apa lagi ulahnya sampe lo jadi terlambat keluar?"

"Hmm, dia pengen ikut.."

Rania terbelalak tak percaya. "Ikut kemana?"

"Ya ikut sama kita lah.."

"Ohh no no! Gak bisa! Mending gue di rumah deh kalo dia ikut. Syukur lo gak ngajaknya, Dim.."

"Tapi dia maksa, Nia.."

"Biarin aja lah.. Selain tukang ganggu dia memang tukang maksa.."

"Masa sih?"

"Iya, beneran.." Tapi Rania tiba-tiba tersentak. Suara yang menjawabnya bukan suara Dimas. Diputarnya badan ke belakang demi melihat si pemilik suara.

"Reyhan.." ujar Rania tidak percaya.

"Iya, ini aku Reyhan.." ujar lelaki itu dengan santai.

Rania berbalik, wajahnya merah padam memandang tepat kepada Dimas.

"Dim, kenapa ada dia?" ujar Rania ketus.

"Sori Nia, Bang Rey maksa ikut.."

"Ngapain dia musti ikut sih!"

"Aku gak ada temen di rumah.." ujar Reyhan..

"Diam.. Aku gak tanya kamu.!" sambar Rania dengan muka masam.

"Iya Nia, di rumah lagi gak ada orang.. Makanya Bang Rey mau ikut juga.. Kasian dia sendirian di rumah.."

"Dia kan bukan anak-anak lagi, Dim.." suara Rania masih ketus membalas. Lagian alasannya sungguh gak masuk akal.

"Iya tau, tapi apa gak bisa sekali ini aja kita ajak dia keluar?" Dimas meminta pengertian Rania.

Mimik wajah Rania tambah marah ketika melihat Reyhan yang menganggukkan kepalanya seolah mengemis simpati.

"Bisa rusak acara kita Dim kalo ada dia.."

"Aku janji hari ini gak akan nakal. Please, Nia?"

Rania mendelikkan matanya, kesal mendengar omongan Reyhan dimana dia bakal absen mengganggunya hari ini agar bisa ikut dengan mereka. Dia mendengus sebelum menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Sebal melihat wajah lelaki dibelakangnya itu.

Dimas memilih tidak bersuara dan tetap melanjutkan perjalanan mereka. Diliriknya Rania ketika gadis itu mengacungkan tinjunya kepadanya. Dimas menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat kemarahan di wajah Rania. Semua ini salah Reyhan, Dimas mendesah pelan.

Tetapi ternyata masalah tetap datang di hari itu. Reyhan bertingkah dengan tidak membiarkan Rania berjauhan darinya. Pada saat mereka pergi makan, lelaki itu memaksa untuk duduk di sebelah Rania. Saat mereka berjalan di dalam mall, Reyhan berjalan di bagian tengah di antara mereka. Membuat gadis itu sewot sepanjang jalan.

Yang lebih parah lagi ketika mereka sudah di dalam bioskop, sempat terjadi perdebatan di antara Reyhan dan Rania.

"Rey, kamu duduk di pinggir sini aja.." sahut Rania.

Mereka mengambil tiga tiket yang posisinya bersebelahan dengan lorong. Reyhan yang sudah duduk di kursi tengah bagian mereka menggelengkan kepalanya.

"Kamu kan yang maksa ikut kita? Sekarang berdiri dan pindah ke sebelah sini.." tunjuk Rania ke kursi di pinggir lorong.

"Aku berhak kan duduk dimana aja diantara ketiga kursi ini?" tanya Reyhan dengan tak peduli.

"Enggak! Kamu gak berhak, Rey..! Kamu hanya orang tambahan yang gak diharepin.. Pindah sebelum aku tambah marah nih.." ujar Rania membelalakkan matanya.

"Udah lah bang, ngalah aja kenapa? Malu lah diliatin orang.." sahut Dimas tak enak hati. Orang-orang di dalam bioskop memperhatikan mereka dengan rasa penuh ingin tahu.

"Gue gak bisa duduk di sebelah sini, posisi kursinya lebih ke pinggir kan dari layar.. Ntar mata gue bisa sakit nonton sambil miring-miring.." alasan keluar dari mulut lelaki itu.

Rania menatap ke atas sebelum mengalihkan wajahnya ke arah lelaki itu. Wajah tegangnya menatap Reyhan dengan geram.

"Yang bener aja?! Apa bedanya sih duduk di sebelah sini sama di sebelah sini? Sama aja perasaan..!" tangan Rania melambai di ke kedua kursi yang jadi perdebatan.

"Beda dong, Nia.. Aku ini lulusan teknik, pasti tau bedanya walaupun cuma berapa derajat aja.."

Rania mengurungkan niatnya mau membalas lelaki itu ketika mereka dihampiri petugas bioskop.

"Maaf Kak, silahkan duduk di kursinya.. Sebentar lagi filmnya akan dimulai.." ujar sang petugas.

Rania menganggukkan kepalanya dengan segan. Dia masih berdiri sambil memelototi Reyhan. Tapi lelaki itu berpura-pura tidak melihat dan membuat wajah tidak mau tau.

"Harap menjaga ketenangan ya, demi kenyamanan kita bersama." ucap si petugas sebelum meninggalkan mereka.

Tangan Rania terkepal dengan kencang, gatal sekali rasanya ingin menonjok wajah tak peduli itu. Akhirnya dihempaskannya juga tubuhnya di kursi yang tersisa. Disilangkannya tangan dengan cemberut sambil menatap marah ke layar bioskop.

Senyum miring terbit di bibir Reyhan melihat kekalahan Rania. Dia memang bertekad akan berdekatan dengan Rania seharian ini, sehingga Dimas pun tidak punya kesempatan untuk membantu Rania. Kemenangannya ini terasa manis setelah hatinya dibuat galau ketika mendengar kabar kalau saat ini gadis itu sedang dekat dengan seniornya di kampus.

Setelah setahun akhirnya bisa juga melanjutkan menulis novel ini:D Dan ternyata Rania berubah jadi plin plan:D:D 26082022

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience