Rania menghentikan mobil di halaman rumah kontrakannya. Suasana rumah hening tak kedengaran bunyi suara apa pun.
Tapi di garasi kelihatan sepeda motor Fitri dan Sherly terparkir dengan rapi.
Rania masuk ke dalam rumah dan melihat kedua gadis itu di ruang makan. Pelan-pelan Rania menghampiri Fitri dan Sherly yang kelihatan sedang menikmati makan malam mereka. Hatinya was-was ingin bertanya apa yang telah diocehkan Reyhan kepada mereka.
"Sini cin, makan dulu." senyum Fitri sejurus melihat Rania menghampiri mereka di meja makan.
"Nanti deh, gw belom laper.." jawab Rania terus duduk di sebelah Fitri. Dilihat dari gelagat kedua temannya itu seperti tidak ada yang mencurigakan. Tapi hati Rania masih takut untuk bertanya mengenai Reyhan.
"Tumben baru sampe.. Emang tadi telat berangkatnya?" kali ini Sherly yang bersuara.
"Enggak kok.. Kayak biasa abis makan siang." Rania yang tadi katanya belum lapar ikutan mencomot tempe bacem di atas meja.
"Ihh Nia, cuci tangan dulu sana." Fitri memukul pelan punggung tangan Rania.
"Terus kenapa baru sampe sekarang? Macet banget emang?" gumam Sherly. Dari tadi gadis itu sibuk menggigit tulang ayam.
Rania yang sedang mencuci tangan terdiam mendengar pertanyaan Sherly.
"Enggak kok.. Tadi gw mampir dulu ke tempat lain.." akhirnya Rania bisa menjawab.
"Ohh,.. Lo lapar kan? Ayo makan dulu.." ajak Fitri sambil menepuk meja disebelahnya.
Rania bergerak menuju meja makan, pelan diambilnya ayam geprek yang terhidang di depannya. Bagian dada tulang kesukaannya ternyata belum dihabiskan Sherly si hantu tulang. Gadis satu itu memang menyukai segala jenis makanan bertulang.
"Eh Nia, tadi Bram whatsapp gue nanyain lo udah sampe apa belom..." tiba-tiba Fitri bersuara.
"Ha? Ngapain Bram nanyain gue?"
"Katanya mau ngajak makan.. Lo di whatsapp gak jawab sih.."
"Ohh.. Iya,, gue belom sempat buka Whatsapp dari tadi." Rania mengelak dan menjawab pelan.
"Beneran belom sempet? Bukannya elo suka ngelak dari dia.." becanda Fitri sambil tertawa.
"Ihh Fitri! Enggak lahh..." cemberut Rania membalas ejekan Fitri. Daging ayam yang tadi hampir masuk ke dalam mulut akhirnya ditaruh di dalam piring. Gak mood membahas Bram!
"Terus kenapa selama ini ngelak mulu dari doi? Lo banyak alesan tiap kali si Bram ngajak keluar.."
"Ngaco deh lo Fit.."
"Elah, ngaco gimana.. Orang dia sendiri yang bilang kok.."
"Ooo.., lo jadi mata-mata dia nih sekarang?" suara Rania kedengaran tidak puas.
"Bukan lah cin.. Dia pernah bilang ke gue kalo lo sering menolak ajakannya pergi keluar.." jawab Fitri.
"Lagian ngapain juga gue jadi mata-matanya si Bram.. Dibayar juga kagak.. Kan gue liat sendiri di kantor, tiap kali dia ngajak makan siang atau ngajak jalan hampir selalu lo tolak." Fitri menjelaskan apa yang dilihatnya selama ini.
Rania dan Fitri memang bekerja di tempat yang sama. Bram atau nama aslinya Ibrahim adalah teman kantor mereka.
"Entahlah, gue gak bisa, beb.." Rania menjawab sambil menundukkan kepala. Ekspresi bersalahnya masih bisa kelihatan walaupun wajahnya tertutup sebagian rambut sebahunya.
Fitri menghela nafasnya pelan. "Lo tau kan kalo tuh laki suka sama lo, Nia?" Fitri menatap wajah Rania.
Rania mengangkat wajahnya memandang tepat kepada Fitri. Selama ini dia memang tau Bram menyukainya. Sebagai perempuan, dia bisa membaca gelagat yang dipancarkan lekaki itu.
Kali ini Rania ikut menghela nafasnya. Hatinya mulai tersayat pedih. Dia merasa tidak siap setiap kali ada lelaki yang mencoba mendekatinya.
Kenangan lama masih membelenggunya sampai saat ini. Setiap kali ada yang mendekat, dia selalu siap untuk melompat dan menjauh.
Dia pun sering bertanya dalam hatinya, apa sebenarnya yang diinginkannya. Apakah memang dia tidak menginginkan pernikahan dalam hidupnya?
Tidak!
Kenyataannya dia mendambakan itu semua. Mendambakan memiliki pasangan tempatnya berbagi suka dan duka, bahkan entah kenapa dia suka membayangkan ketika nanti bisa memeluk versi mini dirinya.
"Kalau suka katakan suka, kalo enggak ya langsung tolak." Fitri mulai bicara lagi ketika Rania tidak menjawab pertanyaannya.
"Sebenernya gue udah pernah nolak dia Fit..." jujur Rania menjawab Fitri.
"Lah, terus kenapa dia masih ngotot gitu?"
"Gue juga bingung, beb... Dia mau nunggu katanya.." kali ini lemah suara Rania menjawab
"Hmmph..." hanya itu suara yang kedengaran dari mulut Fitri. Dia tidak menyangka kalau ternyata Rania sudah pernah menolak Bram. Lelaki yang dipindahkan ke kantor cabang mereka delapan bulan lalu.
Selama ini Fitri dan Sherly memang jarang membahas masalah percintaan dengan Rania karena gadis itu suka menghindar. Mereka menghormati privasi Rania menyangkut yang satu itu.
"Terus gimana? Lo kasih kesempatan gak buat tuh cowok?" Sherly yang dari tadi diam dan mendengarkan akhirnya ikut mengeluarkan suara. Gadis itu bergerak menuju sinki untuk mencuci tangan.
"Enggak dong, Sher.. Gue gak mungkin membiarkan Bram ngabisin waktunya menunggu gue." tegas suara Rania menjawab.
"Udah dibilang belom kayak gitu ke orangnya?"
"Udah..."
"Terus tanggapannya gimana?"
"Ya itu tadi, dia bilang gak masalah menunggu.. Pusing gue..." terdengar keluhan keluar dari mulut gadis itu.
"Kenapa gak dicoba aja sih Nia? Mana tau ternyata rasa itu pelan-pelan bisa muncul. Bisa aja nanti hati lo terbuka lagi setelah mengenal dia lebih dekat. Lagian sepertinya dia lelaki yang baik." tiba-tiba Sherly memberikan ide kepada Rania.
"Gue bukannya gak mencoba, Sher.. Tapi gak tau kenapa hati gue menolaknya.. .." Rania menjawab dengan suara bergetar. Ada butiran air mata yang turun di pipi mulus gadis itu.
"Kenapa? Apa karena Iman?"
Rania diam tidak menjawab. Keheningan yang panjang diantara hanya diisi dengan suara isakan yang keluar dari mulut gadis itu.
Share this novel