14

Romance Series 1927

"Jo, Kami tidak bisa memperkerjakan mu lagi jo."
Bu Kartini dengan wajah berselimut kecewa.
"iya harus bagaimana lagi, mulai sepi jo. untuk sementara waktu kambing-kambing yang tersisa biarlah Bapak saja yang mengurus."
Sambung Pak Maulana dengan nada pelan, yang biasanya begitu keras.
Lukijo tertegun, menundukan wajahnya tiada berani menatap keduanya. Ia pun sudah mengiranya semua pasti akan terjadi, sayangnya Ia pun belum sempat untuk memberitahukan semuanya, sekiranya kedua orang tua Gayatri sudah mengetahui apa yang tengah terjadi.
"iya Pak, Bu...,tidak apa-apa. Terimakasih juga kepada keluarga yang sudah menerima aku bekerja dan tinggal, dan mohon maaf jika kerja aku banyak malasnya."
mesem lukijo perlahan.
Pak Maulana tertawa kecil.
Lukijo mesem-mesem, hatinya mendadak gusar wajah Bu Kartini tiada seperti biasanya yang selalu ramah dan murah senyum padanya.Kini terlihat tidak menyukainya seperti begitu membenci. Berbeda sekali dengan Pak Maulana yang terlihat kasar dengan bicara dan perbuatan, kini begitu ramah dan bebicara pelan meski suara khas orang sumatra masih kental di lidahnya.

"Mungkin pagi kau sudah boleh pulang, atau mencari pekerjaan lain jo, kami sudah menyiapkan uang pesangon untukmu, tapi yaaa.. tidak banyak juga,"
"Kau-kan hanya bekerja mengurus kambing."

"Bu...?"
Pak Maulana dengan suara seperti di tahan,.menoleh Bu Kartini.
Bu Kartini segera bangkit dari duduknya dan langsung pergi tanpa seutas senyum dan dengan wajah masamnya menuju Kamar Gayatri.

"Jo, maafkan Bu Kartini iya jo."

"Tidak apa-apa , memang adanya yang di katakan Ibu."
Mesem Lukijo lagi.
Pak Maulan menghela nafasnya. melihat fotonya dan Gayatri saat kecil yang masih tergantung di dinding Rumah. lalu menghembuskan nafasnya pelan melihat Lukijo.
"Akan kemana Kau Jo?"
senyum Pak Maulan kecil.
Lukijo tertunduk mesem, Detik jam dinding besar di sudut ruangan seperti debar di hatinya.
"mengikuti kata hati Pak, kemana pun,"
"Selama ada yang menerima diri ini."
Lukijo menatap Pak Maulana yang tengah mengisap Rokok kreteknya. Kepulan di bibirnya yang tersenyum menebar di antara angan-angan lampu hias di tengah ruangan.
"Terkadang kata hati juga bisa membuat kita salah arah dan langkah jo."
Pak Maulana dengan memasukan abu rokok dalam asbak kaca.

"kecuali di saat hati kita tenang Pak, meski salah akan pengalaman dalam langkah Pak."
mesem Lukijo lagi.
Pak Maulana tertawa tertahan.
Lukijo hanya mesem, Tawa Pak Maulana mengingatkan-nya pada Gayatri, Tiba-tiba getar lirih kembali mengusik jauh di lubuk hatinya. Ada rindu yang mulai terjaga, rindu yang tidak lama lagi akan menjadi duri di setiap malamnya ,Rindu yang hanya tinggal rindu kembali seperti masa yang telah lama berlalu. Masa dimana rindu bertahta sepi di puncak Bukit yang hijau. Rindu yang tiada akan pernah berujung madu, rindu yang hanya dapat di rasakan yang tiada akan pernah dapat di lepaskan, seperti mimpi yang terbawa kemanapun kaki melangkah, hanya mimpi. Esok kesunyian hati kan terukir kembali dalam mengiringi langkah, Bukan cinta yang tidak dapat di miliki yang akan membuat langkah terseok rapuh, tapi untuk melupakan sebuah wajah di hati.
Pak Maulana kembali mengepulkan asap rokoknya. Lukijo mesem memperhatikan.
"Pak, aku mengemas pakain dulu."
Lukijo mendengar suara Bu Kartini dari dalam kamar Gayatri seperti tengah berdebat.
Pak Maulana pun menoleh ke arah Kamar dan mengangguk.
Lukijo segera meninggalkan Pak Maulana dengan bergegas ke luar Rumah, masih terdengar olehnya suara Gayatri dan Ibunya dari dalam kamar. Lukijo menghela nafasnya pelan, menatap angkasa malam dengan bulan yang masih tertutup awan. Debur samudra begitu keras terdengar seperti menghantam dedaunan karet di belakang kandang, suara mengembek pun menyahuti. Lukijo menatap satu-persatu kandang kambing di sisi kanan dan kirinya, lalu bergegas ke belakang angkringan di mana pakian-nya berada, perlahan membuka pintu yang berukuran hanya seukuran pintu WC.
Lukijo segera mengambil Tas punggungnya yang tercantol di paku di dinding papan, memasukan satu persatu pakiannya yang Ia tumpuk di dalam kardus, perlahan menatap setiap dinding kamar, papan-papan yang tersusun rapat. Tiada satu pun benda terpajang hanya tas, dan jam dinding kecil. Kamar yang di buat Pak Maulana dan dirinya ala kadarnya, cukup hanya untuk tidur sedangkan makan dan minum, mandi Ia melakukanya di Rumah Pak Maulana. Perlahan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Debur kembali terdengar bergemuruh suara-suara dedaunan begitu riuh. Berat di mata mulai merasuki, sesaat memejamkan matanya.Kelam terasa berdesir seiring waktu yang beranjak pelan mengukir langkah di atas mimpi.
Debur dan angin terus berdatangan meramaikan malam membawa hawa dingin di setiap detik jam yang terlewati, semakin larut semakin menggema semakin kencang angin dingin yang terbawa. Suara binatang pengerat dan sayap-sayap binatang malam yang mencari makan senter terdengar rapat di pohon pisang dan pagar-pagar kandang. suara gemeretak dari ranting dan daun kering yang terinjak musang sering terdengar pula di balik pagar kandang. Suara jarum jam mengikuti waktu yang kian beranjak larut tiada bergeming di papan yang kering.
Lukijo tersentak dari tidurnya, menatap cepat ke arah jam dinding. Wajahnya mendadak cemas, ternyata sudah cukup lama Ia ketiduran. segara mengambil senternya dan langsung keluar kamar dengan tergesa, Sudah jam 2 malam. Sementara Ia masih punya tanggung jawab menjaga kambing-kambing di kandang sebelum esok tiba.
segera senternya Ia arahkan ke dalam kandang, jantungnya hampir copot, kaget bercampur takut saat menoleh ke dalam angkringan. seorang wanita menguraikan rambutnya tengah duduk termenung menatap malam dengan bulan yang masih separuh.
Lukijo mendekatinya mengetahui Gayatri yang tengah duduk. Gayatri menolehnya dengan sedikit senyum.
"Gaya, sudah larut malam."
dengan berdiri di dekat Gayatri.
Gayatri menarik tangannya untuk duduk.
Lukijo menghela pelan nafasnya, Mata Gayatri berkaca-kaca.
"Gaya, angin malam akan membuatmu sakit nantinya."
mesem Lukijo.
"Aku sudah lama sakit, lebih baik aku sakit selamanya."
Gayatri merebahkan kepalanya di bahu Lukijo.
"Gaya, kau tak boleh berkata seperti itu...,"
"Yang sakit saja ingin sembuh, masa yang sakit ingin sakit terus?"
Lukijo seperti berbisik.
"jo, aku memikirkan mu."
Gayatri dengan meremas jemari Lukijo.
Lukijo mesem kembali.
"terimakasih, baru kali ini ada yang memikirkanku sampai tak bisa tidur."

Gayatri langsung menarik hidung Lukijo.
Lukijo meringis tertahan.
"aku juga memikirkan mu Gaya,"

"tentang apa?"
Gayatri menggerakan kepalanya.

"jika aku memikirkan ayunya parasmu, Kurasa ada kalanya aku merasa jemu,"
"Namun jika aku memikirkan Indahnya hatimu, tiada akan pernah habis dan jemu aku memikirkannya."
mesem lukijo.
Gayatri tersenyum, mengangkat kepalanya menatap Lukijo.
"cukup membuatku tersanjung."
gemes Gayatri menarik kembali hidung Lukijo.
kembali Lukijo meringis.
"Aku tak menyanjungmu, aku hanya mencintaimu."
Ucap Lukijo setelah meringis, dengan meluruhkan tatapanya atas Gayatri.
Gayatri tersenyum lebar dengan perlahan memeluk erat Lukijo.
Lukijo serba-salah menatap lepas ke arah kandang.
"Gaya, bagaimana jika orang tua mu melihat kita."
Bisik Lukijo melirik Rumah Gayatri.
"Bagaimana jika mereka tahu?"
wajah Lukijo seperti takut.
"bukankah mereka sudah tahu?"
Gayatri makin erat memeluk Lukijo.
"iiiyaaa, tapi Gaya?"
"senterku, senterku hidup Gaya."
Bisik Lukijo lagi.
"Biarkan saja."

Lukijo terdiam, membiarkan Gayatri memeluknya erat, Ia pun ingin untuk yang terakhir kali bersama Gayatri akan menjadi sebuah perpisahan yang manis dalam hidupnya. Tangannya sedikit gemetar saat membelai pelan rambut Gayatri.sayang, hanya kata sayang yang menggema di lubuk hati setiap kali tangannya membelai rambut halus gayatri.
" Gaya, kau tak perlu meyakinkan mereka, tentang kita." pelan Lukijo dengan masih membelai.

"kenapa?"

Lukijo menghela Nafasnya.

"kenapa?"
Gayatri kembali bertanya.

"Apakah mereka tidak menceritakan padamu?"

"tidak, tentang apa?"
Gayatri membenamkan wajahnya di leher Lukijo.

"tentang segala keburukan ku di atas kekurangan ku. tentang kepayahanku akan langkah yang rapuh menuju kebahagian,"
"bagaimana aku mengajakmu ikut serta dalam langkah, jika aku sendiri begitu payahnya menujunya."

"Aku juga payah."
Ucap Gayatri menyahuti.
Lukijo mesem.
"Gaya, bolehkan aku mencium kening mu?"
Lukijo masih membelai Gayatri.Gayatri segera mengangkat wajahnya ,tersenyum menatap Lukijo.
"Bagaimana sentermu masih hidup?"
Gayatri melirik ke bawah.
Lukijo mesem malu mengangguk.
Gayatri menggerakan tangannya.
"Gaya?"
Wajah Lukijo tegang.
"Gaya?"
wajah Lukijo semakin tegang. Gayatri mengarahkan senter yang masih menyala ke arah Rumahnya.
"Gaya?"

Gayatri tersenyum, lalu mematikan senter. meletakan-nya di sebelah Lukijo, lalu kedua tangan-nya melingkar di leher Lukijo mendekatkan keningnya di bibir dan hidung Lukijo.
Dengan debar yang semakin kencang Lukijo menyentuh mesra kening Gayatri, meluapkan rasa cinta dan sayangnya. Gayatri memejamkan matanya.
Debur samudera terasa hening, hanya debur samudera hati yang bergemuruh membawa buih-buih di tepian kasih. Hangat semilir yang kian merasuk di dalam dada kian hangat saat kasih berpadu, menciptakan pusaran rasa hingga jauh terbangkan angan.
Lukijo melepaskan kening Gayatri dari bibir dan hidungnya, menatapnya getir.
"Gaya, esok aku...."

"Aku tahu."
senyum Gayatri.
"Setelah memelukmu, ku rasa kau memang harus pergi."
Tatap Gayatri dengan senyum semakin lebar.
Lukijo membelai mengusap halus pipi Gayatri.
"percayalah padaku."
Gayatri lagi.
"Aku tak mengerti?"
Lukijo menghentikan usapan-nya.
"meski kau surut, kau akan tetap melihatku."
senyum lebar Gayatri, dengan kembali memeluk Lukijo.
"Gaya?"
"Gaya, apa kau kumat lagi?"
Lukijo berbisik.
Gayatri mengangguk.
"aku memang gila."
sambil menahan tawanya di bahu Lukijo.
Lukijo hanya menarik nafasnya dalam.
Sepertinya Ia akan lebih repot lagi berurusan denga kedua orang tua Gayatri.
"Gaya-Gaya." suara hatinya memikirkan apa yang akan terjadi nantinya.
***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience