1

Romance Series 1927

Langkah Kaki mulai terasa berat menyusuri jalan yang mulai menanjak berbatu, belum lagi terik matahari kian menusuk kulit membuat sengal nafas tidak beraturan, hauspun kian menari di kerongkongan menggelitik gatal.
"Gayatri-gayatri.?"
Ucap suara hati sambil menahan ludah dengan pusing melihat gerumunya kelapa muda yang berjajar di pinggir jalan.
"sudah nama seperti putri,"
"kini raib entah kemana?"
"kenapa pakai acara minggat segala?"
Ucap di hati semakin menjadi dengan menarik keras sehelai daun ilalang.
Kepak rentang sayap burung berwarna coklat muda tiba-tiba terbang melintas melewati beberapa pohon kering yang mati, dan rindang pohon rambutan. lalu hilang dalam hijaunya semak belukar.Sebuah Rumah kecil dengan atap Asbes di kelilingi beberapa pohon Rambutan menyadarkan rasa letih karena berjalan.
Sudah sejak pagi tadi Lukijo mencari Gayatri, pergi tanpa pamit kepada kedua orang tuanya.
Lukijo menatap lemah Rumah beratap asbes dengan dinding bercat putih, perlahan mengusap keringatnya. Kemana lagi Ia harus mencari Gayatri, sedangkan Rumah terakhir yang Ia tanyakan yang tiada lain adalah Rumah Pamannya Gayatri pun tidak mengetahui akan keberadaan Gayatri.
Matahari yang berada tepat di atas kepala dengan berjalan menyusuri jalan yang biasa di lalui gerobak sapi. Panas Matahari bukan suatu kendala baginya, tapi mencari keberadaan Gayatri itu yang membuatnya pusing.
Baru setengah Tahun Ia ikut keluarga Gayatri yang beternak Kambing. Bekerja mengurusi Kambing-kambing seperti halnya ketika di Bukit memilihara kambing sendiri, kini Ia harus tinggalkan. Hijau yang masih melekat di tangan seperti yang tumbuh di setiap pinggir jalan di Bukit.
Perlahan menatap silaunya Matahari dengan kembali berjalan dengan mengusap keringat yang sampai membasahi bibir tebalnya. Debu yang lekat menempel di jari-jari kaki bersandal jepit yang juga hampir putus saat tersandung batu dan akar-akar rumput yang menutupi tengah jalan, hanya bekas roda gerobak yang tidak di tumbuhi rumput liar.
"Gayatri" Kembali hatinya berbisik. Terbayang sejenak wajah dingin Gayatri saat menjabat tanganya, tiada kata apalagi senyum. Hanya anggukan tiada arti di wajah Gayatri saat Ia memeperkenakan diri.Saat itu pun sempat berfikir bahwa Gayatri tidak bisa berbicara. Belum lagi sikap yang begitu angkuh terhadapnya. Ia juga sempat berfikir bahwa dirinya lah yang paling tidak gaul, senang menyendiri, paling tidak bisa berbicara panjang lebar, namun melihat Gayatri...

Lukijo kembali mengusap keringat yang mengalir di ujung hidung super mininya seperti bulan Sabit yang melengkung di waktu malam. Wajah Gayatri kembali mengusiknya, seharusnya Gayatri tampil dengan penuh kepercayaan diri dengan paras cantik yang dimilikinya seperti kebanyakan gadis pada umumnya.
Lukijo menoleh kebelakang, suara lonceng kecil di leher sapi melenyapkan angannya. Terlihat gerobak sapi menuju ke arahnya, seorang lelaki bercaping duduk di atasnya dengan bermuatan rumput di belakangnya. Lukijo segera menyingkir dari jalan .
"Pak." sapanya melihat wajah lelaki di atas gerobak, dengan tersenyum sedikit menutupi giginya yang tidak rata. lelaki yang penglihatannya berumuran dengan Bapaknya itu tersenyum lebar mengangguk. Lukijo memperhatikan gerobak yang tengah lewat di depannya.
"Gaya,"
"Tri.."
Kata terpisah terucap cepat di bibirnya melihat sosok di belakang gerobak duduk bersandar di tumpukan rumput dengan menutup wajah dari sinar matahari menggunakan dedaunan singkong. Dan yang di panggil tidak menoleh sedikit pun, hanya lirikan mata, itupun begitu cepat seolah tidak ingin melihat.
"Gaya...,"
"Gaya-gaya,eh! Tri...."
Lukijo mengikuti gerobak yang berjalan pelan dengan tatapan tak lepas dari Gayatri.
"Di suruh pulang sama Bapak...,"
"keluarga pada cemas mencarimu."
melihat dedaunan singkong yang makin menutupi wajah Gayatri.
"Pak, Boleh ikut naik di belakang?"
Ucapnya kepada lelaki yang empunya gerobak, melihat tiada respon dari Gayatri.

"ya boleh naik saja!"
Sahut yang punya gerobak dengan tersenyum lebar.
Lukijo tersenyum senang, segera memegang pintu penutup belakang gerobak, namun belum sempat kakinya meloncat untuk menaikinya sandal jepitnya terputus, alhasil membuatnya jatuh tersungkur.
Gerobakpun langsung berhenti mendengar suara mengaduhnya.
Lukijo meringis bangun, menatap malu ke arah Gayatri yang sepertinya tiada ekspresi juga sementara pemilik gerobak tengah tertawa kepadanya.
"pelan-pelan Nak..."
di sela tawanya.
Lukijo mesem.
"justru tadi karena pelan-pelan Pak..,"
"Coba tadi lebih cepat."
Dengan naik ke atas gerobak menenteng sandal yang putus meringis melihat jemari kakinya yang lecet.
Kembali gerobak melaju perlahan seiring tawa yang belum reda, jalan yang tidak rata membuat guncangan di tubuh meski duduk di rerumputan.

Wajah yang masih sembunyi dari sinar matahari
tiada juga bersuara hanya sedikit memperhatikan.
Lukijo menoleh mencoba tersenyum kepada Gayatri yang tengah melihat kakinya. Terik yang kian terik seperti membakar perih di kaki namun lebih perih melihat wajah Gayatri begitu sadis meliriknya.
Lukijo tertunduk menapaki jalan yang tertinggal pelan, pohon-pohon kelapa yang tumbuh di ladang lapang bercampur pepohonan lain laksana menyimpan angin yang berhembus membuat tubuh bermandikan keringat hangat.
Dan seperti suara petir yang datang seketika membuat jantung lepas terjerembab, Gayatri tiba-tiba tertawa keras.
Lukijo menoleh heran dan takut, langsung melihat daun singkong yang di pegang Gayatri. Hatinya berdecak cepat, andaikata daun itu adalah daun kelor, ingin rasanya Ia mengibaskannya ke Gayatri.
Teringat ada yang mengatakan kepadanya bahwa Gayatri mengalami gangguan jiwa, dan kini Ia melihat sendiri. Tanpa sebap, bila pun sebabnya karena melihat Ia terjatuh, bukanya itu telat, seharusnya semenjak tadi.

Lukijo pun menoleh ke depan nampak Bapak pemilik gerobak asyik tiada terusik terus menghalau sapinya seperti tidak mendengar keras suara tawa di belakangnya. Dengan rasa aneh Ia pun kembali menoleh Gayatri, rasa takut makin menghimpit kalbu tapi kenapa bulu kuduknya tidak berdiri? pertayaan di hatinya dengan tubuh terdiam kaku. Tiba-tiba Gayatri terdiam menatapnya tajam, hatinya makin berdesir pecah di tatap sedemikan rupa, Lalu Gayatri kembali tertawa dengan memukul-mukul daun singkong ke wajanya.

Lukijo semakin ciut, bagaimana bila tawa itu saat malam? sepertinya Kambing-kambing di belakang Rumah bubar tidak beraturan.

perlahan Lukijo menahan nafasnya pelan-pelan dan dalam dengan merebahkan tubuhnya di -tumpukan rumput hijau menatap pilu Gayatri, tiba-tiba hatinya merasa iba.
Lima bulan yang terlewati baru kali ini Ia melihat dan mendengar Gayatri tertawa,sungguh dan sumpah di antara rasa senang dan ngeri, mungkinkah Gayatri benar-benar sakit? kilat tanya seperti menjelma di angkasa hati.
Kembali Gayatri memukul wajahnya, Ia pun hanya tersenyum membiarkanya.
Butir-butir keringat yang jatuh dari rambut sampai pipi Gayatri yang halus hampir membasahi bibirnya yang....

Lukijo langsung mengusir angannya dengan duduk kembali menatap jalan yang tidak rata penuh kerikil dan lumpur kering yang menumpuk di sisi jalan bekas roda-roda gerobak yang berban mobil bekas.

"Lukijo-Lukijo!"

Lukijo tersentak tertahan tidak berani menoleh. ucapan dengan di sertai tawa yang aduhai menyeramkan di siang bolong cukup membuat kejut sebuah tanya, benarkah barusan suara Gayatri?
"aduhhh!"
Kali ini Ia terpaksa mengucapkan suara pamungkas orang kesakitan, Gayatri memukulnya dengan tangkai batang daun singkong.Dan bukanya menyesal membutnya sakit Gayatri makin cekikikan.

"Biarkan Gayatri puas tertawa,"
"dirimu yang pertama membuatnya tertawa Nak.."

Lukijo menoleh arah suara di depan. lalu menatap ngeri Gayatri lagi.

"Sepertinya bukan karena dirimu jatuh, coba tanya kan langsung pada Gayatri."

Lukijo kembali menatap Bapak di depanya.
"Pak sebenarnya Gayatri ini sakit atau gila toh Pak..?"
Ucap perlahan.
"Aduhhh!"
Gayatri kembali memukulnya
"Maksudku sakit gila Pak..?"
serunya namun kepada Bapak pemilik gerobak.
dan yang di tanya hanya tertawa menyahuti.
Lukijo menatap lemas jalan yang tertinggal di belakang mendengar tawa Gayatri dan Bapak di depanya.
"Coba saja tanyakan padanya.."
Terdengar Bapak pemilik gerobak berucap masih dengan sisa tawanya.

Lukijo menoleh pelan takut Gayatri.
"Bagaimana tanya-nya?" desir suara di hati.
Bukanya selama tinggal di Rumah Gayatri Ia sering menyapa atau bertanya jika tengah atau sedang melakukan sesuatu, dan yang pasti jawabanya selalu sama, tatap mata tajam dan bibir yang bungkam. Kalau pun berbeda hanya menguap yang Gayatri lakukan, dan sekarang di suruh bertanya?
Lukijo menelan ludah melihat Gayatri lalu melihat pedih luka di jemari kakinya.
Terdengar suara benda yang jatuh di sisi gerobak, Lukijo tersentak menoleh, ternyata kelapa kering yang jatuh.Gayatri ngakak parah dengan menunjuk ke arah wajahnya.

"Kenapa kelapa jatuhnya ke bawah Nak...?"
Suara dari depan Gerobak.

Lukijo menoleh, sepertinya pertanyaan itu sering kali Ia dengar.
"kalo ke atas pesawat Pak.."
Sahutnya pelan.

Gayatri makin ngakak.

Lukijo menggaruk pelan rambutnya mendengar tawa Gayatri seperti nyaris tanpa rem tangan.
"Kena Gaya Pak.."
Ucapnya melirik Gayatri.
Bapak pemilik gerobak menoleh ke padanya.
"Gaya apa Nak, di lengakapi jawabanya."

Lukijo tersenyum tertunduk, seperti ragu mengatakan apalagi Gayatri kini melihatnya.

"anu Pak...,"
"kena Gaya itu.."
di antara ragu dan takut melihat Gayatri sebegitu rupa menatapnya.

"tidak ada Gaya itu Nak.."
Pemilik gerobak lagi.

"itu lho Pak gaya banget,"

Gayatri melotot.

"maksudku gayatri Pak, eh gaya gravitasi bumi Pak."
jelas Lukijo mesem.

Gayatri makin melotot.

"Tapi ada juga Pak benda yang kalo kita lempar ke atas, enggak turun lagi,"
"tidak
mengalami gaya tri, eh gaya gravitasi bumi."
Ucap Lukijo lagi masih mesem-mesem takut.

"mana ada Nak, kecuali di luar bumi."
geleng pemilik gerobak.

"ada pak, soalnya aku pernah mengalaminya,"
"waktu itu pas main bola pak,bola yang aku tendang memang ke atas, tapi enggak turun ke bawah pak.."
terang Lukijo

Gerobak terhenti, pemilik gerobak menoleh heran.
"mustahil Nak.."

"sungguh pak!'
Lukijo menoleh Gayatri, lalu pemilik gerobak.
"kalau tidak aku panjat dan di ambil pakai galah, bolanya tidak bakal jatuh ke bumi."
Lukijo meyakinkan sorot mata Gayatri.
lalu dengan mesem paksa tertunduk seperti malu menatap bola matanya.

Kembali Gayatri tertawa ngakak.
Lukijo menoleh miris, degub di jantungnya seirama guncangan Gerobak.
Lalu melihat kembali kepada Bapak pemilik gerobak, seperti ingin kembali bertanya tentang Gayatri. namun diam seperti menjadi pilihan yang terbaik, jika dapat Ia rasakan Bapak pemilik Gerobak lebih banyak mengetahui keadaan Gayatri yang tersimpan rapat di balik Caping Gunungnya. Terbukti sepertinya sang Bapak ateng-anteng saja melihat atau mendengar polah Gayatri yang bisa di bilang memang sakit...

"Aduh!"

Kembali Gayatri memukul wajahnya, meski pelan.

"jelek banget sih jo!"
seru Gayatri dengan menatapnya.

Lukijo terpana, ada orang gila bisa mengejek orang lain? jangan-jangan Gayatri sakitnya kumat-kumatan? bisik hatinya ngeri membayangkan seandainya benar perkiraanya, bagaimana Ia menghalau Gayatri pulang nanti, alangkah repotnya.
Namun bibirnya bergerak tersenyum. menoleh ke depan, melihat sang Bapak yang anteng menghalau sapinya untuk berjalan.

"tidak usah ngayal!"

Lukijo langsung mengulum senyumnya.
"kini hanya itu yang aku bisa."
sahutnya pelan ke arah Gayatri.
"khayalan terkadang mampu membuatku menemukan sesuatu yang tak pernah bisa ku miliki."

Gerobak terhenti, seiring tolehan dari depan.
"namun khayalan semakin membutamu kehilangan dirimu sesungguhnya Nak..."

Lukijo menoleh.
"Benar Pak, jangankan dalam khayalan bahkan dalam kenyataan."

"bersyukur Nak dengan semua yang kau miliki saat ini, karena itu lah kenyataan."

"iya Pak, terimakasih."
sahut Lukijo. kembali menatap jalan sempit yang kembali tertinggal dengan Gerobak yang kembali berjalan.

Gayatri terdiam mengikuti tatapan Lukijo, senyum kecil tersimpul saat sesekali menoleh ke arah wajah Lukijo. Batang-Batang pohon kelapa seakan melangkah menjahui di putaran roda Gerobak sapi yang berputar perlahan.
silau dan terik mengibas panas udara yang menyengat. kicau di kejauhan terdengar nyaring di hening bibir yang terdiam, terpaku menusuk dalam angan masing-masing, hanya suara sapi yang menarik beban yang menanggapi.
*****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience