4

Romance Series 1927

Lukijo bengong menatap wajah Gayatri seakan tiada percaya, tangan halus Gayatri mengusap butir keringat yang jatuh di pipinya.mungkinkah Gayatri benar-benar gila? deras tanya di hati yang melihat apa yang tengah di lakukan Gayatri padanya.
"aku buatakan minuman untukmu."
tunjuk Gayatri dengan tolehan ke arah angkringan di dalam pagar.
Lukijo tertunduk, Gayatri tidak gila kata yang terucap di bibirnya.perlahan memegang jemari Gayatri di wajahnya.
"aku takut tanganmu terluka."
pelan Lukijo mesem gugup.
"ayah dan ibu tengah ke pasar, hari inikan pasaran. Jadi mereka tidak tau aku membuatkan minuman untukmu."
senyum lebar Gayatri menggengam jari lukijo.
Lukijo serba salah.
"terima-kasih."
ucapnya tertunduk.
"tidak perlu."
sahut Gayatri meneliti wajah yang tidak berani manatapnya.
"bukan untuk minumanya."
Lukijo mengangkat wajahnya menatap mata Gayatri.
Gayatri menatap tanya dengan tersenyum.
"untuk senyum mu pagi ini."
mesem Lukijo menatap mata yang tengah berbinar, Hatinya berdegub kencang lirih indah di hatinya terasa menjalar membuatnya tiada mampu berlama-lama menatap mata Gayatri. Mimpikah dirinya, inikah awal cintanya dengan
wajah ayu di depanya? Mungkinkah semuanya? hatinya semakin tiada menentu menatap kering dedaunan basah di kakinya.
"masih malu-malu."
sindir Gayatri menatap lucu wajah salah tingkah di depanya.

"masih baru." Lukijo menahan dingin tanganya yang digenggam Gayatri.

"kalau sudah lama kurang ajar?"
dengan menarik hidung mini Lukijo.
Lukijo mesem tertahan.

"lihat keadaan." menahan tubuhnya yang seperti gemetar.
Gayatri tertawa kecil.

Suara mengembek menganggetkan keduanya.
Gayatri melepaskan genggaman tanganya, semilir tenang menyentuh rambunya, membelai perlahan di antara ceria wajahnya, senyumnya tiada lepas menghiasi pias ayunya.

"Gaya, sebaiknya kau di rumah saja, nanti Ayahmu..."

"Ayahku galak ya jo?"

Lukijo mesem, Ayah Gayatri memang keras dengan suara kerasnya seperti orang marah saja bila menyuruh atau berbicara dan sepertinya penduduk setempat sangat sungkan dan enggan bila mendekati Rumahnya, desas desus yang senter terdengar di telinga pada masanya Ayah Gayatri adalah seorang preman yang cukup di takuti, Mungkin benar karena Ia melihat begitu banyak tato di tangan dan kakinya mungkin juga itu bukanlah alamat jika seseorang itu berkelakuan buruk, namun kebanyakan para preman akan menghiasi tubuhnya dengan tato.

"biasa jo masih keturunan orang-orang majapahit."
Canda Gayatri.
"Pantas namamu Gayatri."
tawa kecil Lukijo.
"aku lihat kau sering di marahin Ayahku, seperti senopati marahin prajuritnya.,"
"hati-hati lho jo, Ayahku jika meludah, apa yang kena ludahnya langsung kebakar."
Jelas Gayatri.
"yang bener?pantas Ayahmu jarang meludah."
Lukijo seperti berfikir.
"dan awas ajian rawa ronteknya hampir mendekati level tertinggi."
Ucap Gayatri lagi.
"masa gaya? tapi kemarin aku lihat Ayahmu tertusuk paku berdarah?"
Lukijo kembali berfikir.
Gayatri tertawa kecil.
"berarti rawa ronteknya ke-delep di rawa gambut, jadi luntur terkena lumpur."

Lukijo tertawa menutupi giginya.
Gayatri tertawa kencang, namun segera menutup mulutnya dengan melihat kesekeliling dan rumahnya yang terhalang pagar kandang. lalu perlahan merebahkan keningnya di bahu Lukijo tertawa tertahan.
Lukijo terdiam kaku, terasa tiada berdaya tubuhnya menanggung rasa didadanya yang berkecamuk kencang, harum tubuh Gayatri seolah membiusnya menghentikan aliran darahnya. Hanya rasa yang sulit di ungkapkan, Mungkin semua, mungkinkah Gayatri yang ada di bahu. Perlahan meski terasa berat dan kaku tangannya bergerak membelai pelan rambut Gayatri, terasa halus sehalus debar yang merasuki kalbu, begitu Indah.

"Gaya?"
bisik Lukijo pelan.
Gayatri mengangkat wajahnya menatap Lukijo.
Keduannya bertatapan mencari kebenaran di mata yang beradu, mencari arti akan rasa yang begitu cepat tumbuh, benarkah semua perasaan yang tengah berbunga, Bisakah saling percaya bahwa rasa yang ada, adalah pilihan yang tepat untuk hati.
Lukijo meluruhkan tatapanya.
"aku tak bisa menatapmu lama."
ucapnya seperti berbisik.
"kau bisa."
senyum Gayatri mengangkat wajah Lukijo dengan memegang ke dua pipinya.
"aku tak bisa Gaya, aku tak bisa menatap sesuatu yang indah. Karena aku takut semua hanya mimpi."
tatapan Lukijo kembali luruh.
Gayatri tersenyum memeluk Lukijo.
"jika kau merasa bermimpi, biarkan aku ada di dalam setiap mimpi indahmu."
bisiknya pelan.
Lukijo mesem merebahkan segala debar hatinya dalam rengkuh yang hangat, sehangat mentari yang cerah menyinari di antara tanah basah yang mulai mengering. dedaunan karet yang mulai menari terbelai angin berdecak pelan mengipasi udara segar yang menyentuh relung yang tersentuh indahnya sebuah pengharapan. gemulai daun kering yang jatuh hinggap perlahan di rambut Gayatri. Lukijo mengambilnya , Gayatri tersenyum menatapnya.
"mungkin tiada yang percaya dengan kita jo, tapi alam merestui kita."
senyum Gayatri semakin lebar, memegang daun kering di tangan Lukijo.
"Gaya,gaya. Inikan hanya daun kering."
ucap Lukijo melihat pipi Gayatri.
"tak perlu bunga untuk memperingati hari ini, dan tak berguna berjuta ikat bunga yang indah yang andai orang berikan, jika untuk mengucapkan tentang hari kita. Cukup sehelai daun kering dari tangan-tangan alam yang menebarkannya, itu lebih dari berjuta bunga yang tumbuh indah dan harum yang ada di dunia ini."

Lukijo terpana mencoba memahami.
"Gaya?"
ucap hampir tak terdengar.
"mampukah sehelai daun kering menjadi bunga yang indah?"

"apa yang kau pijak jo?"
Gayatri balik bertanya.
Lukijo melihat ke kakinya.
"hanya dedaunan kering di atas tanah."

Gayatri tersenyum.
"ternyata ada banyak kehidupan di balik tiap helai daun di kakimu."

Lukijo memperhatikan kembali di sekitar kakinya.
terlihat olehnya beberapa semut yang tengah menarik-narik sesuatu masuk ke bawah helai kering daun seperti bersembunyi di ikuti kawanan lainya.

"bukankah alam memberikan segalanya?"
senyum Gayatri ikut memperhatikan.

"apakah alam memberiku cinta?"

Gayatri menarik hidung Lukijo dengan gemas.
"bukanya kau sudah mendapatkanya!"
gemas namun pelan juga kata yang terucap.

"idihhh-idihhh-idihhh!"
Gayatri sambil menghindari wajah Lukijo.
"mau nyosor?"

"siapa yang mau nyosor?"
"aku mencium bau farfummu,"
"seperti aku...,?"
Lukijo seperti berfikir ulang.
"kau pakai farfum ibumu?"

Gayatri tersipu malu dengan memeluk makin erat tubuh Lukijo.
"aku sudah lama tidak pakai farpum."
kesahnya pelan.
Lukijo membelainya kembali.
"jika aku mendapatkan cinta, lantas kau dapat apa?"

"iya juga, sial banget!"
Gayatri seperti menggerutu.
Lukijo tertawa kecil. menatap syahdu dedaunan karet yang bercanda di angin, menari riang di sinar mentari. tetes demi tetes getah karet yang jatuh di wadah batok kelapa yang di belah pinang rentet menancap di setiap batang-batang yang tumbuh berjajar. Lintah-lintah kecil seperti berkasur di helai daun kering yang menumpuk tersisih sapu lidi setiap pagi molet menjengkal tersengat sinar mentari. Debur lirih di kejauhan kian surut terbawa hari yang beranjak siang, hanya buih tertambat di pasir yang tak putih terinjak kail yang bercaping. harum sari air kelapa yang di rebus mulai tercium di atas wajan yang besar, bilah-bilah bambu seperti roda kecil pasti telah tersusun di atas nampan papan menanti masaknya air gula merah yang panas menuangi.
laju kendaran di jalan raya, salah satu jalan lintas yang membelah pulau sumatra kian sibuk terhiasi warna-warni kendaraan yang lewat di setiap liuk tikungan yang membuat mual dan pusing bagi yang tak biasa berpergian jauh.
Kepak lebar Elang di kejauhan hinggap di ranting tertinggi sebuah pohon di tengah hutan, terdengar resah induk ayam di dalam kandang mencari perlindungan bagi anak-anaknya.
Lukijo mesem baru kali ini menyaksikan, meski sang Elang begitu jauh, induk ayam seperti tahu bahaya yang tengah mengintai.
perlahan lirih suara di hatinya, Mampukah Ia menjaga Gayatri,Cinta dan hatinya.Mampukah Ia memberikan kebahagian untuknya?
sejenak memejamkan mata mengusir ketakutan dalam hati, menyakinkan kembali apa yang di katakan Gayatri.
****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience