2

Romance Series 1927

"Gaya!"
"Gaya,!"
Dengan langkah tergesa.
"Gayatri!"
wajah Lukijo semakin panik, menyibak semak yang hampir menutupi jalan setapak, suara kambing yang mengembek tiada Ia perdulikan. pikiranya hanya tertuju pada Gayatri yang hilang dari pandanganya, baru sebentar Ia meninggalkanya tadi untuk mencari rumput pakan Kambing.
"Gaya!"

kembali Lukijo memanggil dengan penuh harap akan ada jawaban yang terdengar. deru ombak semakin terdengar jelas, jalan setapak yang di lalui memang tengah menuju pantai.
Lukijo bergegas dengan wajah semakin panik, terlihat olehnya sosok tengah berbaring di bawah pohon kelapa.

"gaya!"
Dengan berlari mendekati sosok yang kenali.
"Gaya, gayatri?"
Lukijo memegang tangan Gayatri dengan menggerak-gerakkan bahunya.
"Gaya bangun Gaya."

seperti pulas Gayatri hanya diam dengan mata tertutup. Lukijo menoleh kesana-kemari dengan wajah penuh kepanikan.

"Gaya?"
Lukijo mendekati jarinya di hidung Gayatri, terasa hembus halus Nafas Gayatri di jarinya. Perlahan menghembus Nafas lega, ternyata Gayatri tengah pingsan. namun wajahnya kembali panik menatap wajah Gayatri, dengan segera berdiri melihat kembali ke sekeliling, tiada satu pun orang yang terlihat. kembali menatap wajah Gayatri, berfikir sejenak untuk membawa Gayatri ke tempat yang lebih teduh.namun jika harus membopongnya?
Lukijo menggaruk kepalanya, sepertinya belum pernah Ia membopong seorang wanita.
"Gaya bangun Gaya."
dengan kembali menggerak-gerakkan bahu Gayatri. Namun Gayatri tidak bergeming sedikipun.
"Gaya, pendekar masa pingsan?"
"malu dikit sama kambing, di panasin di terik matahari enggak pingsan."

Lukijo terduduk lemas, sesaat ada rasa menyesal di hatinya, untuk mengikuti ke mauan Gayatri untuk mengembala kambing di dekat pantai. Kambing yang biasanya hanya di kandang dan tinggal makan kini harus menyaksikan majikanya pingsan.

"Gaya-Gaya?"
"sudah aku bilang tadi,"
"kambing jangan di ajak refresing ke laut, akhirnya? Gaya sendiri yang pingsan."
wajah melas Lukijo melihat Gayatri.
Dan dengan debar di dada yang tiada menentu Ia pun mengangkat Tubuh Gayatri. Menyandarkanya di batang pohon Kelapa membelakangi sinar matahari, dan dengan perlahan mengipasinya dengan karung kandi yang di lipat, karung yang belum sempat terisi rumput pakan Kambing yang biasa Ia bawa bila mengarit. keringat dingin di kening Gayatri nampak membasahi hingga di pipinya.
Debur dan desir yang cukup kencang seperti memberi suara di ijuk-ijuk daun kelapa yang banyak tertanam, dengan semak dan rerumputan liar yang terhampar di dekat bibir pantai.
Rumah Gayatri memanglah tidak terlalu jauh dari laut hanya menyeberangi jalan lintas yang ada di sepanjang pantai.
Lukijo menoleh suara orang berbincang mendekatinya. terlihat olenhya dua orang lelaki dengan membawa senapan angin langsung berhenti berbincang ketika melihatnya.Dan dengan tatapan curiga memperhatikan Gayatri yang tersandar pingsan.
Lukijo tersenyum saat keduanya sudah berdiri di dekatnya.

"mas yang bekerja di Rumah Gayatri kan?"
Tanya salah seorang yang menggunakan celana panjang Taktikal.

"Iya Mas..,"
"Gayatri..."

"Gayatri memang begitu mas...?"

"Lukijo Mas."
senyum paksa Lukijo memperkenalkan dirinya.

"Gayatri memang begitu Lukijo, sering pingsan sendiri, selain itu kau pasti sudah tau sendirilah?"
Ucap seorang yang berbaju Rompi dengan celana Taktikal pula.
Lukijo menatap heran keduanya.
Keduanya hanya tersenyum bertatapan, lalu dengan memiringkan jari telunjuknya di kening melihat Gayatri.
"saran kami jika kau berjalan dengannya lebih baik hindari jurang di bibir pantai, atau jalan raya,"
"Takutnya saat Gayatri pingsan, kau tak sanggup memegangnya."

"karena dulu Gayatri pernah terjerumus di jurang sana."
lanjut yang memakai kaos oblong Army.

Lukijo melihat arah di mana tangan yang tengah menunjuk.Di jurang dengan pepohonan lebat bercampur pohon kelapa dan terlihat ombak yang tengah menghempas dinding jurang yang cukup tinggi, Kembali menatap Gayatri seperti tidak percaya dengan apa baru di dengar.

"jika tak sanggup menggendongnya , kau tunggu saja sampai Gayatri sadar."

Lukijo hanya tersenyum mengangguk.

"oke Lukijo kami tinggal dulu."
"Kami mau cari tupai."
Ucap keduanya menunjukan senapan angin masing-masing.

"Iya mas..."
angguk Lukijo membalas senyum keduanya.
menatap langkah kedunya dengan rasa penasaran dari apa yang telah di beberkan.
sepertinya Ia pun baru kali ini bertemu dengan mereka atau, karena Ia yang jarang keluar dari tempatnya bekerja, hingga banyak warga setempat yang belum Ia lihat dan kenal.
sesaat menghembuskan nafasnya pelan, kembali melihat wajah Gayatri yang semakin bermandikan keringat.

"Gaya."
lirih Lukijo dengan kembali duduk di dekat Gayatri. Ada binar yang terasa perih menatap wajah Gayatri, wajah yang mengingatkanya akan wajah yang begitu lama tidak pernah lagi Ia temui. wajah itu hampir mirip dengan wajah Gayatri.
Lukijo tertunduk mengusir perih yang telah hinggap di relung hatinya, menghembuskan nafas berat mendongakan wajahnya ke atas pohon kelapa yang tiada berbuah dengan suara lambai panjang dedaunanya.sebuah derigen plastik terikat di batang muda kelapa, menjadi wadah air sadapan kelapa. Batang kelapa yang berlubang lubang sebagai pijakan kaki untuk memanjatnya seperti saksi bisu dari langkah yang tidak mudah mengarungi kehidupan.
Lukijo kembali menatap wajah Gayatri tanpa lepas masih mengipasinya. Panas sinar mentari kian meninggi, pias wajah yang terpejam seperti menyiratkan ketenangan dalam mimpi yang fana.
Lukijo menoleh, suara senapan angin terdengar bersama burung-burung kecil yang berterbangan dari semak -semak rendah.Terdengar kembali suara senapan angin. Lukijo mesem melihat kembali wajah Gayatri, Ingin rasa hatinya menyeka butiran keringat di wajah Gayatri namun tiada lah mungkin Ia berani melakukannya, hanya berharap saja yang mampu Ia lakukan agar Gayatri cepat siuman. Sepintas wajah di hadapnya adalah wajah yang dulu pernah tersembunyi di balik kabut yang pekat yang pernah Ia harapkan, berharap saat kabut hilang akan nampak jelas wajah itu, namun kabut tiada pernah hilang semakin pekat dan saat kabut hilang wajah itu pun hilang , tiada pernah dapat Ia tatap meski sesaat.
kembali terdengar suara senapan angin, kini semakin jauh, dan suara kambing di dekatnya yang tertutup semak.
Lukijo menoleh ke suara kambing, Bibirnya tersenyum lebar mengingat kambing yang di pinta Gayatri untuk di gembalakan, se-ekor Kambing yang masih kecil itu pun hanya satu ekor saja, Gayatri beralasan lebih enak gendongnya bila nanti rewel.
Lukijo melihat wajah Gayatri lagi dengan tertawa tertahan dalam hati. Desir angin yang meyibak pelan rambut gayatri seperti lambaian mimpi yang mengajak masuk ke dalam larut di buaian damai, Mega yang cerah berarak perlahan menaungi laut, teihat burung kecil yang bermain di permukan lalu hinggap bersenda di tangkai pohon ketapang seakan tidak takut terjatuh di duri-duri tajam Pandan laut yang berjajar tumbuh di bawahnya. Aroma sedap dari sari air batang muda kelapa yang di rebus untuk di jadikan gula merah tercium terbawa angin.
Lukijo menghentikan gerakan tangannya, terlihat wajah Gayatri bergerak. dengan senyum senang Ia pun duduk menjauhi Gayatri.
Gayatri membuka matanya menatap silau ke arahnya.
Lukijo hanya mesem lebar.

"Kambing."
Ucap Gayatri pelan.

Lukijo menggaruk kepalanya mengulum senyumnya, sepertinya Gayatri belum puas dengan pingsannya, Buktinya malah mengatakannya Kambing.
"Gaya kalo masih ngantuk, pingsan aja lagi,"
"hari masih terlalu pagi untuk siuman."
sahut Lukijo pelan.
wajah Gayatri mendadak berubah murung.
"Jo, aku tadi memimpikanmu."
ucapnya seperti menyesali.
Lukijo mesem tertunduk.
"jadi mimpi buruk yang membuatmu siuman?"
"bagaimana rupaku di mimpimu? apakah berubah atau tambah parah?"
lukijo makin mesem tertahan.

Gayatri hanya terdiam, tatapannya tertuju ke arah pantai yang tertutupi tumbuhan pantai.Perlahan bangakit dari duduknya tersandar. Lukijo memperhatikan.

"apakah kau menyentuhku?"
dengan berjalan pelan. tanpa menoleh Lukijo.
Lukijo segera mengikuti.dengan wajah bersemu, meski mentari yang hanya bisa melihatnya.
"aku terpaksa, aku tak bisa membiarkanmu tergeletak di jalan,
"aku minta maaf."
ucap Lukijo seperti menyesali tindakannya.
"Gaya,?"
"aku minta maaf,sungguh aku tidak bermaksud ..
aku hanya membopongmu,"
"itu pun hanya sebentar, tubuhmu berat juga Gaya."
tambah Lukijo lagi merasa bersalah, dengan terus mengikuti langkah Gayatri dari belakang.
Hanya debur dan angin yang menanggapi penjelasan Lukijo, Gayatri hanya diam .
Terlihat ombak yang bergulung dengan buih putihnya seperti datang dengan cepat saat keduanya menginjakan kaki di pasir yang cukup putih dengan bekas jejak-jejak kaki kepiting kecil yang bersembunyi di balik pasir pantai. Batang dan ranting yang berserakan di pantai bergerak terhempas ombak yang menerpa.

"Pantas saja aku bermimpi buruk."
oceh Gayatri dengan duduk di batang pohon yang cukup besar, riak ombak kecil menyentuh kedua kakinya yang bersih.
Lukijo hanya berdiri di dekatnya menatap jauh di laut lepas.

"biasanya saat aku pingsan tak pernah bermimpi buruk."
lanjut Gayatri melihat Lukijo.
Lukijo mesem malu."gaya banget! ada orang di pegangnya langsung bermimpi buruk?" lirih di hatinya seperti ingin menutupi wajahnya bila Gayatri menatapnya, apalagi menatapnya dari samping , nampak sekali bulan sabit muncul diwajahnya belum lagi bila melihat bekas jerawatnya dan pasti Gayatri senyum.
Lukijo melirik pelan, benar saja Gayatri tengah tersenyum lebar.

"iya maaf, semua disinyalir karena unsur ketidak sengajaan."
pelan Lukijo mesem.

"hmmm! bahasamu!"
cibir Gayatri mencubit betis Lukijo.

"Alhamdulilah! semoga malam nanti mimpiku indah."
dengan mengusap betisnya yang tertutup celana jeans lusuhnya.
Gayatri tertawa kecil.

"duduk lho jo?"
Gayatri menepuk batang kayu yang di dudukinya.
Lukijo mengangguk, namun hanya menyandarkan pinggul belakangnya di cabang batangnya.
"aku kadang merasa pusing bila melihat ombak dan laut terlalu lama."
ucapnya mengusap keringat, terik mentari seperti membakar kepalanya.

Gayatri mesem.
"kau pasti muntah bila berada di tengah laut."
menatap lukijo.

"aku belum mencobanya."
mesem Lukijo.
"kapan-kapan kau harus mencobanya."
Gayatri mengambil kerikil kecil lalu melemparkannya ke laut tepat saat ombak terbawa angin
"hilang jo, seperti hidungmu."
tawa Gayatri
Lukijo ikut tertawa menanggapi sindirian Gayatri.
"Hidungku CNC, Ori buatan pabrik."
ucap Lukijo melihat ombak yang hampir mendekati kakinya.
"berarti PNP dong bila di pasang di kepala embek!"
tawa Gayatri mulai meninggi.
"harus di papas sedikit."
sahut Lukijo mesem.
Gayatri terkakak.
Lukijo mesem-mesem. Namun keduanya saling menoleh bertatapan lalu melihat ke arah suara mengembek keras di belakang mereka. Gayatri terbengong melihat kembali wajah Lukijo,lalu ngakak terkakak kembali. lukijo tetap mesem menutupi wajahnya sebatas matanya menutupi hidungnya. Gayatri terduduk menahan tawanya apalagi melihat Lukijo memanggil kambing yang tengah mengembek kepadanya dengan lambaian tangan.
****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience