16

Romance Series 1927

Lukijo mengusap wajahnya dari keringat hangat yang membasahi, entah sudah seberapa jauh Ia berjalan menyusuri jalan. Kemana Ia melangkah Ia pun tidak tahu, Alamat yang di berikan Gayatri padanya sudah Ia temukan, Sebuah Rumah di dekat pasar dengan warung makan yang ternyata milik saudara kakak iparnya sudah lain berpenghuni karena sudah di jual. Dengan kembali mengusap keringat matanya melihat sebuah warung makan di seberang jalan, lalu melihat Tasnya. Nasi yang di berikan Gayatri belum sempat Ia sentuh, perutnya pun mulai terasa lapar. Kembali melangkah sementara senja akan segera habis berganti malam.
Hamparan padi yang masih menghijau yang tumbuh di lahan yang tidak terlalu luas membuat matanya tertuju pada sebuah gubuk di tengahnya , sesaat menghetikan langkahnya seperti berfikir sejenak, hari akan malam Ia tidak mungkin kembali ke Rumah Gayatri dan Ia pun tidak ingin kembali kebukit secepatnya, Ia ingin mencari pekerjaan lain. Dengan memegang tali tasnya Ia pun menuruni jalan ke persawahan yang sedikit menurun dari jalan raya, melompati saluran air kecil di pinggir sawah berjalan menyusuri pematang yang terarah ke gubuk kecil.
Lukijo meletakan Tasnya di atas balai berbilah papan dengan beralas tikar plastik yang tidak menutupi semua papan, terlihat juga bekas botol air mineral kosong tergeletak di sudut gubuk dan remehan nasi, Sepertinya siang tadi ada yang menempatinya, mungkin pemiliknya pikirnya sambil mebersihkan rememah nasi dengan tangannya, mengamati dinding gubuk yang tertutup karung-karung plastik yang hanya sebatas leher saat orang duduk di lantainya.
Perlahan membuka isi tasnya, dengan mengamati hijaunya dedaunan padi di sekelilingnya, hijau itu seperti yang ada di Bukit bahkan lebih hijau di Bukit namun sayang hijau yang tumbuh terselip kebencian yang tidak kunjung usai.
Lukijo mengalihkan angannya dengan membuka bungkusan dari dalam tasnya, semua yang ada dan pernah terjadi di Bukit tengah Ia lupakan biarkan hilang tertutup kabut yang turun.
perlahan membuka Nasi yang di bungkus kertas yang biasa terdapat di rumah makan, mesemnya mengembang melihat daun pisang yang di gunting kecil berbentuk hati berada di atasnya.
"Gaya-gaya" senyumnya melihat apa yang di buat Gayatri untuknya, dengan senyum semakin lebar membuka plastik yang berisi sambal goreng telur dadar sebagai lauknya.Tanganya terhenti saat akan mecampurkan sambal di atas nasi, seperti takut merusak lambang cinta yang ada.
"Gaya, aku ingat padamu,"
"sedang apa kau saat ini?"
Dengan mengambil daun pisang di atas nasi, menatapnya di depan wajah.
"sungguh aku rindu padamu, biasanya sore seperti ini aku melihat senyummu." lalu dengan amat Perlahan meletakkannya di atas tas.
menggelengkan kepalanya pelan seperti mengingat sesuatu yang lucu atau sesuatu yang memberikan kesan mendalam, sambil mencampurkan sambal goreng telur dadar di atas nasi, perlahan memakannya. sesakali menatap hijaunya dedaunan padi yang berdesik ramai saat angin menerpanya. terlihat belalang hijau hinggap di ujung daun di depan gubuk.
Mentari hanya tersisa di sela-sela dedaunan pohon peneduh dipinggir jalan raya dan tidak akan lama lagi akan tersapu mega hitam yang menyelimuti.
Lukijo meneguk air putih di dalam botol minuman mineral berukuran sedang yang juga sengaja di bawakan Gayatri untuknya.
Lukijo mesem setelah membersihkan sampah makannya, Baru kali ini Ia di perhatikan sedemikan rupa oleh wanita meski hanya sekedar memberinya bekal yang biasanya hanya Si Mboknya yang sering memberinya bekal jika Ia pergi. Tapi Gayatri, cara Gayatri seperti Si Mboknya.
Lukijo menyandarkan kepalanya di tiang gubuk, menatap jauh di seberang persawahan di atap-atap Rumah yang tidak terlalu rapat, sepertinya sebuah perkampungan.
"Gaya esok aku harus ke mana?"
"Andai kau disini."
Lukijo memejamkan matanya dengan berbisik di hati.
"Aku berjanji Gaya, Aku tidak akan menyerah,"
"Aku akan mencari pekerjaan di sini,"
"Karena dirimu adalah semangat langkah ini."
Lukijo membuka matanya berbisik pada mega yang mulai menghitam sempurna.
"Andai kau disini."
Dengan mata yang mulai berkaca. Lirih begitu deras mengalir menyesakkan dada, begitu sesak bila mengenang semua tentang Gayatri.
"Andai kau disini."
Lukijo sambil membaringkan tubuhnya dengan berbantal Tas yang berisi pakaianya.
"Biarkan aku melihat senyum-mu, menyandarkan rasa letih di hatiku di genggam kasihmu, agar esok aku mampu menatap mentari lagi,"
Lukijo menghela nafanya dalam.
"Agar Aku mampu menapak lagi,"
"Gaya, Aku mencintaimu, Aku sayang padamu."
Bisik hati seperti menyeruak menembus kelamnya malam, tiada terlihat hijaunya dedaunan padi hanya desik dan derik yang terdengar dan suara mesin kendaran di jalan raya. Tiada terdengar gemuruh samudera seperti saat malam di Rumah Gayatri. Samudera kini begitu jauh, tiada tercium aroma gula hanya tercium belalang sangit yang hinggap di dalam gubuk. Bintang-bintang mulai nampak di balik-balik tirai angkasa sebagai permata alam pengusir lara angan saat menatapnya dan juga sebagai wadah menabur angan akan cinta di hati di saat sendiri dan menepi.
Sepi di tengah sawah dalam gubuk kecil berselimut kasih dalam dinginnya rindu, Hanya asa yang di tanam dalam akan esok hari dalam melangkah, untuk bertahan menaruh tumpuan dalam lemahnya hati untuk menyongsong waktu yang datang. Hanya wajah kekasih menjadi penyemangat dalam setiap depakan rintangan, Mungik esok akan terasa sulit di tempuh, namun bayang senyum seorang kekasih menjadi bulatnya tekad untuk terus berlari,meski luka di cadas yang tajam.
Lukijo menepuk nyamuk yang menggigit tanganya dan dingin mulai terasa menggigit pula.
membuka tasnya mengambil sarung yang biasa Ia pakai berselimut,Memeluk tubuhnya dengan sarung. Sorot lampu mobil di jalan yang terkadang menjadi penerang dalam gubuk, letih seperti menggerogoti tubuhnya, namun matanya sulit sekali untuk terpejam, Hanya bayang wajah Gayatri yang menghiburnya seperti obat dalam keletihan.
Lukijo kembali mesem dalan gelap, sesuatu tengah menari di benaknya.
"Kok, bisa iya jo, aku suka padamu?"
ingatnya ketika Gayatri bersandar di bahunya menatap samudera lepas di suatu senja.
"Aku juga heran, Kok bisa,?"
"jika Aku suka padamu mungkin wajar."
Jawabnya saat itu.
"Gaya, jangan-jangan kau beneran gila?"
Ucapnya lagi.
Gayatri hanya tertawa dengan menarik hidungnya.
"Aku memang gila!"
gereget Gayatri saat itu.
Lukijo menepuk di dekat telinganya suara dengung nyamuk mengusik ingatannya.meng-hela nafasnya dalam, lalu tersenyum mengusik gelap, Mengenang wajah kekasih yang kini terpatri di hati begitu indah di rasa, senyumnya manjanya, lembut belainya hangat kasih sayangnya selalu menimbulkan rindu di setiap saat, dan rasa sedih bila mengingat hal buruk yang menimpa. Jika rindu di Bukit seperti kabut yang dingin, kini rindu yang bertahta di atas langit begitu hangat terasa, karena rindu kini ada yang memiliki, ada hati yang di miliki. Hanya jalannya yang sulit. Hanya berharap dan akan terus berharap jalan yang akan dilalui esok jalan terbaik dalam langkahnya, dari cinta dan cita.
*****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience